Sebuah Gubuk yang Lebih dari Kampus



Aku, pernah menemui guru yang tidak cukup serius mengajar, tiba-tiba memberi nilai 100 bulat di rapor, alasanya agar kelak bisa mulus mendaftar sekolah ke jenjang selanjutnya.

Pernah pula, akibat dari sistem sertifikasi, ada guru yang lebih mepioritaskan sertifikat, ketimbang mengajar. Pernah pula ada yang malas mengajar kelas kami, sampai sering bolos (ijin tidak) ngajar.

Yang paling lucu, pernah ada, Sang Guru jarang sekali masuk kelas, tidak sama sekali ada materi yang disampaikan, tidak sama sekali kami paham. Tiba-tiba suruh nulis nilai sesuka hati. Ah, toh nilai lebih penting, jadi tidak mengapa, kan ya?

Ada pula instansi yang mengejar mati matian akreditasi, mengejar angka dan nilai, sampai lupa esensi; mengajar. Itu berlanjut hingga ke peserta didik, yang mereka inginkan adalah angka, ijasah, gelar, kehormatan, dan gengsi, sampai lupa esensi; belajar.

Instansi pendidikan kadang lebih terasa seperti 'pabrik', orientasinya adalah pasar, produknya adalah ijazah, konsumennya adalah siapapun yang butuh ijazah, terutama anak-anak muda nan belia. Tidak terasa aku menjadi konsumen sudah hampir 18 tahun; sedari TK sampai kuliah. 18 tahun yang lebih banyak hambarnya.

Namun di sisi lain juga sangat berharap banyak melalui instansi pendidikan. Akan selalu senang menyebut tempat orang-orang belajar itu sebagai balai pendidikan, tempat dimana kamu tidak perlu dites untuk masuk, selama kamu punya kemauan untuk balajar ya silahkan datang.

Buat apa tes? Yang tujuannya hanya menyaring orang-orang pintar. Pertanyaanya kemudian kenapa mepioritaskan orang-orang pintar untuk diajar. Yang Bodoh, pasti lebih butuh, kan?

Imaji soal pendidikan seperti itu terngiang-ngiang karena Novel Laskar Pelangi, yang merekam sekolah kumuh, tidak punya seragam, bahkan bangunan doyok mau ambruk.

Namun gurunya tidak pernah bolos. Gurunya tidak membuat garis hirarki dan tetap dihormat parai murid. Gurunya tidak memandang muridnya mesin yang disiapkan untuk industri. Gurunya memandang murid adalah pohon, yang hanya perlu diberi pupuk terbaik, tanah terbaik dan air terbaik, biarkan tumbuh semaunya.

Meski fiksi, novel itu juga merekam realitas. Satu yang berhasil direkam Laskar Pelangi, sebuah keikhlasan. Seng guru ikhlas mengajar, Sang murid ikhlas belajar.

Pandangan semacam ini terlalu utopis, mungkin memang hanya ada di Novel, tidak ada di dunia nyata. Sampai aku bertemu dengan orang yang sebut saja namanya Darwis, di KBBI Darwis adalah penganut sufi yang sengaja hidup miskin, sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan jiwa. 

Darwis punya segalanya di kepala. Ia memang orang yang sangat cerdas, berwawasan luas, pemikirannya kadang nakal, dan pembaca buku yang tekun.

Ia punya gubuk, yang cukup menampung ribuan buku di dalamnya. Gubuk itu tidak mewah, namun sudah ratusan orang belajar di sana. Darwis tidak peduli siapa yang datang, asal ia punya niat belajar, pasti akan diajari.

Darwis bisa saja kaya, andai ia mau membisniskan kelasnya, jika saja setiap siapa yang datang belajar, dipungut SPP. Namun ia enggan, orang yang datang ke sana belum tentu banyak uang. Ia datang ke sini pengen belajar, kalau dipungut biaya, lah kalau ternyata miskin? Sudah miskin, bodoh pula.

Gubuk itu sudah berhasil menjadi balai pendidikan, karena satu hal; mendasari setiap kegiatan belajarnya denagn keikhlasan mengajar, dan sang murid juga ikhlas belajar.

Gubuk yang tidak punya LCD proyektor, kursi, dan Ac ini, nyatanya berhasil mengalahkan kampus, yang sejak dulu tunduk dengan industri dan tren pasar, hingga lupa bahwa kampus itu punya setidaknya tiga fungsi; membentuk 'nilai', membentuk nalar (logika) yang benar (runtut), dan membangun jejaring sosial.

26 Maret 2021
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain