Ruang Publik



Dulu, kampung banyak ruang kosong; kebun, latar omah, sawah, sampai sungai. Ada masanya saya suka mbolang, ikut-ikut program TV judulnya Bocah Petualang. 

Bersama teman-teman menyusur kebon. Kebon milik orang kampung; di penuhi jambu mete, singkong, tebu, dan pring. Siang hari habis pulang sekolah SD, kalo sudah pulang pantang tidak membawa buah tangan. 

Sangat lumrah kita memanjat pohon, ambil buah lalu pulang. Kalo sedang baik, kita teriak-teriak mohon ijin ambil buah ke pemilik kebun. Kalo lagi nakal, kita bodo amat sama pemilik kebun, ambil tinggal ambil. 

Kalo lagi nakal, dilalah pemilik kebon terkenal galak. Kita engga berani nembung, jadi biasanya bagi tugas, ada yang manjat ada yang dibawa ngawasi, kalo ada pemilik teriak "seng due, seng duwe!!", dengan sigab teman teman langsung turun, mereka sangat sigab, mirip kethek; gampang saja manjat, gampang pula lompat ta karuan dari pohon.

Bagianku? Jelas bukan manjat, mentalku dulu tidak tangguh buat manjat. Jadi jatahku dibawah memberi aba-aba. Selain itu takut juga dengan Bapak, kalo ketahuan manjat, saya suka sungkan. 

Yahh, meski nakal, toh warga tidak pernah marah besar karena ulang kami. Sebagaimana kultur kampung, setiap apa yang ada di kebon, entah itu buah bahkan daun, semisal daun landing. Mesti dengan senang hati dibagi. Mereka merasa hasil panen dari kebun dan sawah juga milik tonggo teparo. 

Ruang publik di kampung tidak sama di kota, yang kebanyakan terencana seperti taman dan stadion (manahan misal). Di kampung apapun bisa ruang publik, dan bagi anak-anak ruang publik (yang juga ruang kosong) adalah ruang bermain. 

Saya dan teman teman  yang tumbuh tahun 2000an tidak pernah membatasi ruang gerak. Selagi ada lahan kosong, kita buat main apapun; candak-candakan, sim-siman, bal-balan, tidak lupa gelud antar geng. 

Jika dipikir-pikir, cukup beruntung tumbuh di ruang publik yang nyata seperti itu. Saya bisa dengan sadar mengeksplorasi apapun; menanam singkong, ternak doro, mancing lele di sawah, buat lapangan bola di kebon, sampai tengak-tengok di bawah cagang ting. 

Saya beruntung ruang publik, yang juga ruang bermain kami, jelas dan tidak samar oleh ruang maya, yang semakin ke sini, menjadi semu nan tipis; mana yang maya dan yang nyata.
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain