Irfan Afifi: Saya, Jawa, dan Islam

Ada yang bingung memahami dirinya, mau pakai identitas yang mana. Misal bagi orang Jawa, kadang dihadapkan pada satu pilihan, yang sebenarnya tidak perlu dipilih, karena bukan pilihan juga. Mau jadi Jawa, apa mau jadi Islam. Seakan tidak bisa menjadi Jawa sekaligus Islam.

Ini meresahkan banyak orang, sebab sulit kiranya meninggalkan identitas Jawa sepenuhnya, guna menjadi Islam yang 'kaffah' atau Islam yang 'murni'. Semangat yang 'murni' ini kadang terkesan menghapus segala identitas diri sebagai orang Jawa, termasuk juga tradisinya.

Apakah menjadi 'murni' itu berarti harus menjadi orang yang sama sekali berbeda dan baru? Atau tafsir kita mengenai yang 'murni' itu tidak memberi ruang bagi kita untuk tetep memiliki identitas sebagi orang Jawa.

Lebih jauh lagi kemudian, Nancy K. Florida dalam buku Jawa-Islam di Masa Kolonial, Jawa dan Islam sebenarnya secara sengaja dipisah oleh para akademisi Javologi yang disponsori oleh pemerintah Kolonial.

Setidaknya pemisahan itu sejak Perang Diapanegara berakhir, mereka merasa perlu memisahkan Islam dari masyarkat jawa, sebab bagi pihak kolonial Islam lah yang dipandang memberi stimulus perlawanan yang dahsyat, melalui pemahaman mengenai jihad melawan penindasan (penjajahan, kolonialisme, imperialisme).

Islam dan Jawa terlanjur dianggap terpisah sampai hari ini. Hingga membuat kita jadi gaduh, mempertetangkan antara islam sebagai agama tauhid dengan tradisi jawa yang dipenuhi oleh TBC (takhayul, Bid'ah, dan Curafat).

Keresahan itu pula yang dirasa oleh Irfan Afifi. Ia merasa terguncang ketika dihadapkan pertanyaan dalam diri. Kehidupannya sebagai orang Jawa (tradisional) dan santri semakin membuat gejolak dalam dirinya penuh. Ia berusaha mencari dirinya di antara dua identitas yang sama kuat; Islam dan Jawa. Keduanya ia lakoni sedari kecil ketika bertumbuh di kampung.

Maka Irfan Afifi menelusuri secara serius, bahkan barangkali terlalu serius, mengenai krisis dirinya, Islam, dan Jawa. Ia menuruti ego dirinya untuk menjawab pertanyaan yang meresahkan itu.

Lalu berusaha menjawab melalui bacaan-bacaan yang serius pula. Kemudian ia tuliskan dalam bentuk esai, yang oleh penerbit Tanda Baca diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Saya, Jawa, dan Islam. Buku yang melankolis.

Kebetulan, saya punya dua, pada kesempatan lalu saya ketemu mas Irfan Afifi di satu acara, lalu membeli bukunya di tempat berlangsungnya acara itu, dengan maksud kepingin mendapat tanda tangan, dan yang lebih penting ngobrol sebentar dengan mas Irfan terkait Islam dan Jawa, yang saya ngerasa topik ini berkaitan dengan skripsi yang sedang saya kerjakan.

Namun di hari sebelumnya saya terlanjur membeli buku di toko online. Pesanan sudah berusaha saya batalkan, namun tampaknya ditolak oleh si penjual. Buku kemudian terlanjur datang di rumah, tentunya kondisinya aman. Mungkin lebih baik saya jual saja. 
Penulis/Jurnalis

إرسال تعليق

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain