Membaca Jangan Diambil Beban, Bukan Juga Kesia-siaan


Satu kali, waktu SMP atau mungkin SD kelas 6, aku bersama bapak belanja ke Luwes, swalayan yang tidak terlalu besar di Nusukan, Surakarta. 

Di tempat mainan, ada buku yang dijual murah, oleh bapak disarankan mengambil buku pintar komputer dan buku MS. Word. Buku soal cara mengetik MS Word tipis, dibuat khusus untuk anak-anak. 

Aku sejak dulu memang sedikit sok. Kalau urusan komputer sama ketik mengetik mah ini urusan gampang. Maklum bahkan waktu SMP aku sudah bisa bongkar pasang CPU Komputer, detail dengan komponen di dalamnya pun tahu. Jadi buat apa, kan? 

Akhirnya, aku ambil buku tipis untuk anak-anak, perihal cara mengoperasikan Internet. Nah, di sini sebenarnya ketahuan, bahwa aku teramat sangat bodoh, kasarnya gob..... ah tidak sopan

Di perjalanan pulang, batin sudah menggebu-gebu, bakal bisa internetan ki. Aku pikir dengan membeli buku mengenai tips menggunakan internet, PC di rumah bakal langsung bisa dibuat googling, main FB, sampai Youtube-an. 

Setelah mengikuti dengan cermat step by step, lah kok engga bisa. Baru aku sadar, bahwa kenapa komputer-komputer di warnet itu bisa nyambung internet, yaa karena terkoneksi dengan jaringan LAN. Lahh pie, langsung kecewa berat!

Lain waktu di tempat yang sama, ketika SMA, masih di ruang yang sama pula. Ada obral buku murah, sangat murah, bahkan untuk ukuran anak SMA itu tetep murah. Satu buku aku pandang dengan serius, tertulis judulnya Sababun Nuzul dari Mikro Hingga Marko: Sebuah Kajian Epistimologis. Gokil, buku berjudul panjang nan serius itu mengikat batin.

Aku pikir dengan buku ini bakal bisa meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Allah. Tentu saja aku yang masih SMA, kepingin menjadi anak sholeh. Bukankah itu doa orang tua kita, "semoga menjadi anak yang sholeh, berguna bagi nusa dan bangsa."

Namun babarblas, aku baca sangat pelan sampai mengeja, tetap saja engga paham, sama sekali. Baru aku sadar, ini buku hasil disertasi atau tesis, buku yang terlalu serius dan sulit dibaca oleh anak SMA, kan. 

Mengingat diriku bukan dari pesantren, meski dari sekolah Islam sih, Muhammadiyah, cuma itu bukan jaminan bisa paham yang begini-begini. Ini sekaligus menandakan (lagi) kebodohan diri ini. Ironi.

Lain waktu, aku masuk ke perpustakaan sekolah, perpus yang mayan dekat dengan kantin, dua tempat itu sangat kontras, kantin ramai, sangat teramat ramai, sedang perpustakaan teramat sepi. Pikirku, yang kala itu menghayati puisi-puisi Khalil Gibran dan Chairil Anwar, bahwa keterasingan dan kesepian itu keren. 

Maka anggapanku terhadap perpustakaan itu keren, sebab itu satu-satunya ruangan yang paling terasing dan sepi. Kasihan.

Di perpus aku ambil buku lama, kertas sudah menguning, judulnya gagah betul; Muhammad. Penulisnya Muhammad Husain Haikal. Karena tidak boleh dipinjam, aku baca saja di tempat. Baca halaman pengantar tidak paham, halaman demi halaman makin pening, tambah pusing, apalah itu ada istilah orientalis muncul di halaman awal. 

Aku coba cari tahu, ah mungkin orang-orang barat yang belajar Islam. Terus kenapa disoal, duh tambah pusing, belum sempat aku baca isi buku, baru pengantar saja, sudah tidak paham. Ini tanda kebodohanku yang kesekian kali.

Dekatkan Dulu Bacaan, Masalah Paham Belakangan

Aku bukan dari keluarga yang gemar membaca, bukan. Budaya membaca di rumah hampir tidak ada, hampir ya. Sebab di rumah ada rak bersusun 3, rak yang sedang. Di rak itu ada buku-buku pelajaran SD, kebanyakan buku bapak. Mengingat bapak adalah seorang guru SD, bacaannya tidak jauh dari itu. Yang ditemui dari rak itu kebanyakan bacaan anak lawas. Sayang, buku-buku itu entah ke mana.

Pernah satu ketika, aku gaya ngambil satu buku tipis di rak. Sambil membaca aku jalan kaki ke SD--yang memang tidak seberapa jaraknya itu, paling 300 meter dari rumah. Momen ini yang teringat ketika bersama buku, cuma itu sewaktu kecil. Yang Ini juga berarti, sebenarnya keluarga kami tidak dekat dengan buku.

Termasuk rumah nenek, yang juga seorang guru, tidak terdapat buku bacaan di sana, sama sekali. Seingatku, hanya buku panduan sholat. Sampai sekarang buku itu masih ada. dan aku pun tidak pernah membacanya. 

Mungkin bisa dibilang, kedekatan dengan buku dimulai ketika SMA, ketika tertarik membaca buku Laskar Pelangi. Apa yang di rasa membaca buku Andrea Hirata di tahun 2014, ya tentu bahagia. 

Ternyata membaca buku bisa menyenangkan juga. Selama ini stereotip di kepala ku ketika membaca buku itu bosan, garing. Mungkin sedari kecil sudah terlanjur berpikiran kalau membaca itu semembosankan membaca buku pelajar LKS yang buram itu. 

Jangan diambil Beban

Satu yang kemudian aku tangkap dari membaca buku, jangan diambil beban. 

Ketika membaca berubah menjadi sebuah tuntutan itu malah sangat menyiksa. Masa-masa kuliah sering aku habiskan dan terkesan maksa membaca buku yang berat-berat, ada yang enjoy, ada yang bikin pusing, "ini maksudnya apa." 

Iya, tetep aku nikmati momen ini, sebab di masa-masa seperti ini sebenarnya lebih banyak nggaya baca buku filsafat dan ngomong yang berat-berat, biar orang pada bilang "wah, intelektual".

Haus pujian dan kebanyakan gaya semacam itu malah membuat aktivitas membaca buku menjadi garing. Tidak segirang waktu SMA dulu. Namun tetap ada buku-buku yang menyenangkan dibaca waktu kuliah. 

Yang paling membekas bukunya Clifford Geertz judulnya Agama Jawa, meski banyak celah untuk dikritik, buku ini menurutku sangat detail membicarakan soal masyarakat Jawa, tentu dalam perspektif Antropologi. 

Termasuk bukunya Kuntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, buku ini menurutku ya sangat detail, malah terasa lebih detail jika dibanding dengan Geertz, sebab Kuntjaraningrat punya kedekatan budaya dengan Jawa itu sendiri. 

Semakin menyenangkan ketika ketemu novel berjudul Para Priyayi yang ditulis Umar Kayam, ini seperti mengonfirmasi bacaan sebelumnya. Malai dari sini, aku mencoba membaca lebih banyak mengenai Jawa.

Buku lain yang ditulis oleh Ross Tapsell, soal Oligarki Media, benar-benar membuka mata kalau media di Indonesia tidak demokratis sama sekali. Pada akhirnya, kadang terlampau kapitalistik. 

Bukunya Ross yang berbasis riset ini semakin menyenangkan dan sebab setelah dibanding membaca bukunya Ade Armando soal kapitalisme media, diterbitkan Kompas. 

Aku ya kagum dengan Janet Stalee yang menulis Mediating Islam, ia melakukan riset terhadap media besar di Malaysia dan Indonesia untuk mencari semacam pertemuan para Jurnalisme dengan Islam sebagai ideologi. 

Satu lagi buku yang berharga menurutku soal sejarah Tempo, judulnya Within War. Stalee menulis dengan riset media fenomenal Tempo dari dalam meja redaksi, tentunya turut menghadirkan Gunawan Mohamad di buku itu. 

Setelah lepas dari motif agar terlihat "intelektual", membaca menjadi lebih natural dan terasa kembali menyenangkan. Selama membaca itu diambil beban agar terlihat ini itu, atau agar menjadi ini itu, membaca malah menjadi kekangan, dan akan kembali ke stereotip awal, bahwa membaca itu membosankan.

Bukan Juga Kesia-siaan

Dari kegiatan membaca yang tidak dipaksakan, atau secara sadar kita lakukan. Dampak paling kerasa adalah berpikir logis dan runtut. Kenapa bisa gitu?

Buku kan menggunakan bahasa tulisan. Jelas berbeda dengan bahasa lisan, bahasa tulis itu lebih terstruktur. Di buku, si penulis juga tidak sembarang nulis. Ia pasti sudah menyusun draf nya, kemudian outline tulisan, terus membuat kalimat demi kalimat yang koheren. Membuat paragraf agar nyambung ke paragraf setelahnya. Itu semua dilakukan biar ide yang ditawarkan penulis sampai ke pembaca. 

Nah, terbiasa membaca yang runtut ini, secara tidak langsung bisa membuat otak kita ter setting buat berpikir secara runtut pula. 

Memang tidak mungkin sekali baca buku langsung merubah pola pikir kita menjadi logis. Tidak seinstan itu. Justru efek membaca dampaknya jangka panjang. 

Problem hari ini, secara umum informasi lewat internet mudah sekali masuk. Kalau bahasanya Koran Kompas, banjir informasi. Iya, kita sedang tenggelam, barangkali analogi orang tenggelam di laut tidak berlebihan. Air laut itu infomasi, sedangkan kita tenggelam sampai ke dasar. 

Ini bisa berarti baik, bisa berarti buruk. Tergantung. Kalau seseorang punya tools untuk mengelola informasi itu, ia bakal selamat. Ibarat kita yang ada di tengah laut tadi, selama punya tools bernama kapal, semua akan baik-baik saja. 

Kapal itu ibarat pikiran kita yang mampu mengelola, menyaring segala informasi yang membanjiri diri kita. Tools yang membuat kita selama tidak terkena efek hoax, ujaran kebencian, dan apapun istilahnya. 

Para ahli menyebut masa seperti ini sebagai post-truth. Arti harfiahnya adalah pasca-kebenaran. Singkatnya, keadaan dimana kita semakin susah membedakan mana yang benar, dan mana yang salah, keduanya menjadi semakin samar. 

Meski terkesan mereduksi persoalan, berfikir lagis, mempertajam logika, yang membuat kita terhindar dari sesat pikir (logical falecy). Sudah aku sebut di awal, dengan membaca, minimal membantu pikiran berfikir secara runtut, juga logis.

Llau udah gitu, kan kita jadi tidak mudah kena tipu para Buzzer itu laa. Yang namanya bohong, bisa dilihat logikanya, kadang kelihatan jelas kalau argumennya lemah. 

Perintah Tuhan yang Paling Krusial

Mundur jauh di masa Nabi, meski terkesan agamais, cuma aku pastikan cerita ini tidak "dogmatis". Masa-masa ini mirp-mirip ketika Yunani, bertranformasi dari yang menggunakan mitos untuk menjawab persoalan sehari-hari, lalu berubah menggunakan logos (akal/ilmu). 

Sedang beribu tahun setelahnya, di tempat yang dihapit dua perasan besar, Romawi dan Persia, tempat yang tandus bernama jazirah arabia. Ada perisitiwa yang kita punya ingatan soal itu. 

Memangnya siapa yang tidak mengingat peristiwa ketika wahyu pertama turun di gua Hira. Sesaat Nabi Muhammad merenung, menyendiri, lalu datang Jibril membawa pesan "Iqra'", terjadi dialog yang terulang selama tiga kali. Ini menjadi semacam penekanan, betapa penting nya iqra' itu, iya secara harfiah yang berarti membaca. 

Membaca bisa berarti sangat luas, bisa berarti membaca alam semesta, sebagai representasi keagungan Tuhan. Sebab kelanjutan potongan wahyu itu adalah iqro bismirabbikalladzi kholaq, berarti muara dari membaca itu sampai kepada Tuhan Allah. 

Bisa juga secara spesifik membaca diartikan membaca teks. Teks tulisan, buku, kitab, manuskrip. Dengan konteks hari ini barangkali lebih pas, yang mengartikan literasi itu kegiatan membaca dan menulis teks. 

Namun kalau boleh saya tarik lebih luas lagi, literasi akan lebih relevan bila ditarik ke pemahaman mengenai Sains, dan logika modern, seperti matematika, fisika dll. Bukan berarti harus menghafal segala rumus-rumus matematika, jujur saja aku pun juga lemah. Cukup logika dasar modern (tentu juga logika tradisional ala Aristoteles) untuk dikuasai betul.

Aku rasa ini juga tidak bertentangan dengan fungsi akal dalam Islam. Satu kali dosen di kelas pernah membuat skema posisi akal di antara wahyu, dan Islam. 


Artinya akal dan wahyu tidak perlu dipertentangkan. Kita bituh akal untuk memahami wahyu. Kita juga butuh wahyu untuk memandu akal. Kira-kira begitu, maaf kalai salah, aku memang bukan ahli agama.

Barangkali akan ada yang menyangkal, kan di zaman nabi kebanyakan sahabat banyak yang belum bisa membaca dan menulis. Justru kita harus melihat konteks masa itu, bahwa standar intelektual masyarakat arab itu diukur dari seberapa kuat hafalannya. 

Iya, budaya lisan bisa dibilang dominan. Kita pasti dapati orang Arab masa Jahiliah suka syair-syair yang panjang. Syair itu dihafal, lalu dilafalkan.

Nabi Muhammad dibimbing wahyu, yang kemudian beliau hafal, lalu disampaikan kepada sahabat, begitu para sahabat juga menghafal, disampaikan lagi, terus sampai kepada perawi dari generasi ke generasi. 

Sampai pada satu masa, seorang yang sangat brilian, Imam Bukhari membukukannya. Baru tradisi lisan itu beralih ke tradisi tulis. Meski demikian, sampai sekarang tetap ada orang yang mampu menghafal banyak ucapan Nabi Muhammad (hadis).

Bukan berarti Nabi Muhammad yang ditetapkan oleh Allah tidak bisa membaca, berarti malah mengingkari wahyu Iqra' yang disampaikan kepadanya. Justru, sebaliknya beliau membaca (iqra') dengan pemaknaan yang lebih luas, yaitu semesta keilmuan. 

Aku gunakan kata 'semesta', karena cakupan keilmuan Nabi yang dibimbing oleh wahyu itu melampaui tidak hanya zaman, tapi juga semesta. Nabi atas izin Allah tahu mengenai alam gaib, bahkan tahu tempat-tempat seperti Sidratul Muntaha, tingkatan langit, betamu para nabi, bahkan menghadap Allah. Itu semua terangkum di peristiwa isra mikraj. Maka tidak berlebih jika ilmu Nabi mencakup dan melampaui 'semesta'.

Teologi Iqra' dan Kalam

Posisi membaca di Islam sangat penting. Kegiatan ini disebut khusus bahkan secara spesifik di Alquran. Statusnya sebagai wahyu pertama menambah kesan bahwa ayat ini sungguh penting. Klise memang, namun begitulah adanya. 

Ayat itu tidak cuma berhenti di kata iqra', namun berlanjut petuah yang tidak kalah penting bissmirbailkaladzi qalaq, artinya dengan menyebut nama Allah.
 
Segala kegiatan membaca berawal dan berakhir dengan menyebut Allah. Tidak hanya sekedar melafalkan bismillah ketika membaca. Lebih dalam lagi, juga berarti menghubungkan nya dengan keesaan terhadap Allah.

Cerita favorit aku untuk mengilustrasikan ini adalah Annas bin Firnas. Satu ketika setelah ia membaca dan merenungi ayat awalam yaraw ilat tairi fawqahum saaaffaatinw wa yaqbidn; maa yumsikuhunna illaar rahmaan. 

Ia mengamati (obserbasi) bagaimana bisa burung itu terbang. Dari hasil pengamatan itu ia kemudian membuat prototipe sayap burung agar manusia bisa terbang. Kelak prototipe ini yang konon menjadi cikal bakal sayap pesawat, dan tentunya pesawat itu sendiri.

Begitu juga kalam yang secara harfiah artinya pena. Mungkin tafsirnya akan lebih kompleks ya mengenai apa itu kalam dan maksudnya bagaimana. Namun secara sederhana ayat ini cukup membuat posisi kalam (pena) yang merupakan representasi dari menulis menjadi sangat penting. 

Bukan Pembaca yang Baik

Aku bukan pembaca yang baik, begitu juga bukan penulis yang baik. Karena selalu berkorelasi ya antara membaca dengan menulis. Semakin baik kita membaca maka akan semakin baik kita menulis. Kapan-kapan barangkali kita bahas ini dengan panjang.

Aku hanya mampu membaca sedikit sekali. Pun, itu penting tidak penting. Menjadi penting yang juga berarti harus segera meningkat bacaan dari sisi kuantitas dan kualitas. Tidak terlalu penting untuk dipikirkan, karena sudah dikatakan dulu saja raga kita dengan buku. Kedekatan yang perlahan itu akan menjadi nyaman dan akhirnya, suka. 

Memang bagi aku yang baru berusaha suka dan cinta dengan buku. Pendekatan selayaknya orang PDKT itu membantu. 

Tahap awal dekat dulu secara fisik dengan buku, setiap hari memandangi, menyentuh, membuka, mencium bau kertasnya, sampai membaca, berdua-dua, tengah malam, sampai selesai dari buku ke buku. Akhirnya, suka dan cinta. 

Akan lama juga menunggu sampai timbul minat. Karena sekali lagi, yang penting dekatkan dulu, jangan diambil beban. Membaca yang paling dekat, dengan topik yang disuka. Sekian tulisan panjang ini, ehehehe~

Penulis/Jurnalis

إرسال تعليق

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain