Yang Terdalam dari Imaji Masa Lalu


Beberapa lagu Peterpan, yang sampai sekarang berhasil menarik imaji ke masa lalu, seakan naik mesin waktu Doraemon, mundur satu sampai dua dekade lalu. 2000an, masa ketika lagu Yang Terdalam (2003) terlanjur menggema di kepala.

Lagu ini buming ketika saya masih SD, atau malah belum sekolah, karena di tahun lagu itu dirilis masih berusia 5 tahun. Di lagu itu teringat betul adegan Ariel jalan di trotoar, mengenakan jaket kecoklatan sembari tangan dimasukan ke kantong. Satu gaya yang waktu itu saya rasa keren. 

Saya dengan sadar mengikuti hampir semua gerak-gerik Ariel. Namanya juga anak SD, segala apa yang disuka kemudian ditiru. Dari gaya rambut, khas gaya Ariel ketika dekade 2000an yang belah tengah itu, sampai cara jalan, cara bicara, dan cara berpakaian. 

Dulu tidak pernah malu bergaya rambut belah tengah. Saban nyanyi di kelas suara sengaja dibuat berat. Ya biar apa lagi kalau bukan kepingin mirip Ariel. Meski gagal total, suara saya malah bengek nan sumbang. Satu adegan yang memalukan tapi momerebel, penuh dengan kenangan.

Ketika nonton video klip lagu Yang Terdalam di TV, pengaruhnya sangat kuat. Tanpa disadari, saban pagi ketika berangkat ke SD yang jaraknya tidak lebih dari 300m, lagu Yang Terdalam terngiang di kepala. 

Secara sadar pula kedua tangan kemudian masuk ke saku celana bewarna merah itu. Mirip adegan di video klip. Berkat lagu itu saya merasakan sensasi menjadi orang paling keren se sekolahan. 

Lagu itu sudah puluhan tahun lewat, namun daya magisnya masih terasa sampai hari ini. Sedari SD, SMP, sampai SMA, ada saja keterikatan. Ketika SMP itu lagu menjadi penanda paling halus sekaligus obat untuk mengikhlaskan perasaan suka yang tidak pernah sampai. Waktu SMA, Yang Terdalam adalah lagu pengiring untuk belajar gitar.

Daya Magis Taman Langit 

Seingat saya, lagu Yang Terdalam masuk di album Taman Langit. Kali ini sepertinya Noah merekam ulang lagu-lagu lama di album Peterpan. Salah satu yang berhasil selesai direkam ulang adalah lagu di album Taman Langit. Sudah bisa didengarkan di plarform digital. Bagaimana hasilnya, apa labih enak didengar? 

Jika ditanya apa lebih enek didengar, jelas jawabannya iya. Pengalaman dan pengetahuan produksi Noah yang sudah puluhan tahun di dunia musik itu jangan diragukan lagi.


Namun saya pikir ada sentuhan yang hilang. Yaitu daya magis dari lagu-lagu lama Peterpan. Daya magis yang biasa kita dengar di album Bintang di Surga, Taman Langit, Hari yang Cerah, yang saya rasa takan pernah bisa diulang oleh siapapun bahkan oleh Ariel dkk sendiri. 

Kita harus akui, karakter Ariel sudah berubah, misal karakter pribadinya dulu yang misterius, sampai terbawa ke suaranya yang juga terasa misterius. Hari-hari ini, sisi misterius itu sedikit hilang.

Tentu, pembawaannya yang punya wibawa sampai sekarang tidak pudar. Namun sekali lagi, saya rasa daya magisnya yang mulai berubah. Sentuhannya tidak lagi sama.


Sentuhan yang saya maksud seperti ketika John Lennon membuat lagu Imagine, Noel Gallagher (Oasis) membuat lagu Wonderwall dan Don't Look Back in Anger, atau Frederick Mercury (Queen) membuat lagu Bohemian Rhapsody, juga Chris Martin (Coldplay) mambuat lagu Fix You.

Mereka punya daya magis masing-masing. Lagu-lagu itu akan terasa berbeda ketika dibawakan orang lain. Atau mungkin akan berbeda kalau masing-masing pencipta merekemnya ulang. Ada momentum yang hilang, ada rasa yang hilang, sebab terkadang lagu bisa saja menjadi penanda kudanya. 

Tentu saja ini pandangan yang sangat personal. Bahwa Peterpan yang dulu, ketika mereka membuat album Bintang di Surga dan Taman Langit berbeda sama sekali dengan Noah hari ini. Sentuhan daya magisnya lain.

***

Bukan berarti Noah hari ini harus membawa daya magis dari Peterpan kembali ke diri mereka. Noah sejak diumumkan berdiri sebagai sebuah band menegaskan akan mengusung konsep musik yang berbeda dari Peterpan, yang justru itu bagus.

Kita tinggal menanti dan menikmati Noah hari ini dan menunggu sentuhan dan daya magis baru, yang muncul di lagu-lagunya. Apakah sudah? Mungkin sudah, meski tidak sebesar Peterpan dulu. Iya, saya termasuk orang yang susah menghindari glorifikasi Peterpan di masa lalu. 
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain