Pertunjukan Sudamala: Dari Epilog Calonarang, Upaya Membawa Tradisi Bali ke Pusat Budaya Jawa


Yayasan nirlaba yang bergerak di bidang budaya, Titimangsa kembali menghadirkan pementasan drama berjudul Sudamala: Dari Epilog Calonarang di Pura Mangkunegaran, Sabtu-Minggu (24-25/6/2023).

Wadah kebudayaan yang didirikan Happy Salma pada 2007 itu menyuguhkan pementasan yang terinspirasi dari pentas tradisi Bali ke salah satu sentra kebudayaan Mataram Jawa, yakni Mangkunegaran. Pementasan yang juga diambil dari sastra Bali ini merupakan Persembahan ke-62 Titimangsa.

Pada pra pertunjukan yang digelar Jumat (23/6/2023) itu berhasil menyuguhkan tari dan drama yang apik. Serta, menampilkan karya pahat dan seni rupa. Karya pahat khas bali itu terlihat dari dekorasi panggung yang dibuat menyerupai pura.

Sedangkan seni rupa khas bali ditampilkan melalui motif busana dan topeng yang digunakan beberapa penari. Termasuk ketika menampilkan sosok Calonarang ketika berwujud menyeramkan, berpenampilan serba hitam, bertaring, cakar panjang, rambut panjang, dan susu menjalar panjang.

Penampilan yang tersaji tidak hanya murni tarian, namun juga nyanyian, dan drama. Adegan per adegan dimainkan dengan bahasa kawi, namun ada tokoh lain yang turut menerjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Sesekali, diselingi dengan dialog santai menggunakan bahasa Indonesia gaul, bahasa Jawa Ngoko, dan sedikit bahasa Inggris. Adegan itu dikhususkan untuk membantu penonton memahami cerita.

Tidak hanya itu, detail keindahan tata busana serta alunan gamelan Bali yang bernafaskan neo-klasik juga tersaji. Bukan berarti gamelan dipadukan dengan alat musik modern.

Disebut neo-klasik lantaran alunan gamelan Bali itu disajikan agak berbeda dan bisa dibilang berusaha disesuaikan dengan telinga orang kebanyakan. Namun agar tetap memiliki nilai dan mutu yang bisa disepakati, maka tetap berangkat pada pakem.

Itu juga dikatakan langsung oleh Penata Musik Sudamala: Dari Epilog Calonarang,  I Wayan Sudirana bersama Gamelan Yuganada berusaha menghadirkan hal baru.  

“Dalam konteks musikal, iringan karya Sudamala: Dari Epilog Calonarang sengaja digarap baru, tetapi masih memakai elemen-elemen tradisional yang melekat pada iringan Calonarang pada umumnya,” kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (23/6/2023).

Tentu dengan konsep musikal neo-klasik atau tradisional baru, I Wayan Sudirana harus membuat iringan dengan struktur dan pola baru, dan secara bersamaan tetap mempertahankan elemen-elemen dan karakteristik tradisi dari Calonarang itu sendiri.

Hal itu tidak mudah sebab seorang komposer atau penata musik tidak boleh kehilangan ruh dari gamelan Bali agar pentas Sudamala: Dari Epilog Calonarang tidak menghilangkan keasilian.

Namun itu terbukti, nyatanya iringan gamelan mempertegas bahwa drama dan tari yang ditampilkan berakar dari tradisi Bali. Nuansa kesenian dari Pulau Dewata itu semakin kental karena pertunjukan ini memboyong 90 seniman dan maestro dari Bali.  Termasuk berkolaborasi bersama seniman seni pertunjukan dari kota lain. 

Produser Sudamala: Dari Epilog Calonarang, Happy Salma menyebut pementasan Sudamala ini secara keseluruhan melibatkan  402 orang. Tidak hanya seniman, dia menyebut juga melibatkan tenaga profesional. 

“Di antaranya 102 orang didatangkan dari Bali, 44 orang berasal dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sekitarnya. Serta 256 tim kerja, penari, dan pegiat seni dari Solo,” ungkap dia.

Pementasan ini juga menghadirkan Barong, Topeng, Gamelan dan wastra yang semuanya dibuat oleh maestro-maestro Bali untuk dipentaskan di Pura Mangkunegaran, Solo. 

Jauh-jauh sampai ke Kota Bengawan, pentas ini memang punya misi untuk membawa seni tradisi itu keluar dari Bali. Tentu agar penonton di Solo utamanya, bisa merasakan pertunjukan khas Pulau Dewata. Sengaja ditampilkan dengan bahasa kawi dan bahasa Indonesia agar bisa diterima orang banyak. 

Beruntungnya, peminat pementasan ini cukup banyak. Dengan segala otak-atik agar lebih menarik anak-anak muda dan masyarakat awam. Nicholas Saputra yang juga menjadi produser, menyebut peminatnya cukup banyak. 

“Dan kami juga sangat terharu dan surprise dengan antusias penonton yang luar biasa. Ini adalah pertunjukan seni tradisi dimana dalam kurun waktu beberapa jam setelah pemesanan pertunjukan dibuka melalui website, tiket telah terjual habis 90%,” kata Nicholas.

Upaya Keluar dari Wabah

Pementasan Sudamala: Dari Epilog Calonarang menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar. Dia ditakuti banyak orang termasuk membuat resah raja yang berkuasa saat itu, raja Airlangga. 

Karena kekuatan dan ilmunya itu, turut menyebabkan banyak pemuda yang tidak berani mendekati putri semata wayangnya, Ratna Manggali. Dia cukup depresi dengan keadaan itu. Walu Nateng Dirah malah mengekspresikan kesedihannya dengan menebar berbagai wabah ke penjuru negeri.

Tidak selang lama, untungnya luka hatinya itu akhirnya terobati. Sebab putrinya Ratna Manggali berhasil menikah dengan Mpu Bahula. Dalam perjalanan rumah tangganya, tiba-tiba pernikahan itu malah hancur di tangan Mpu Bahula. 

Mpu Bahula ternyata adalah utusan pendeta kepercayaan Raja Airlangga. Dia bertugas mengambil pusaka sakti milik Walu Nateng Dirah dan pada akhirnya berhasil jatuh ke tangan Mpu Bharada. 

Walu Nateng Dirah kecewa dan murka, kemurkaannya lalu menimbulkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, Ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda.

Pada akhirnya, premis cerita yang berusaha dihadirkan adalah upaya keluar dari bencana wabah yang bikin sengsara. Nampak tokoh utama atau protagonis dalam posisi ini adalah Mpu Bharada. Lalu lawannya, Walu Nateng Dirah yang merupakan representasi dari Calonarang ditampilkan antagonis.

Sutradara Sudamala: Dari Epilog Calonarang, Jro Mangku Serongga mengkonfirmasi cerita memang berpusat pada dua karakter itu. Nampaknya Jro Mangku berusaha menggambarkan situasi beberapa tahun lalu, ketika berusaha keluar dari pandemi Covid-19.

“Pertunjukan Sudamala: Dari Epilog Calonarang ini menampilkan 2 tokoh sentral yaitu Walu Nateng Dirah [Calonarang] dan Mpu Bharada, sebagai simbol dualisme yang esensinya pada pertunjukan ini sebagai upaya penyelarasan atau harmonisasi sehingga akan muncul keharmonisan,” ucap dia.

Calonarang dari Tradisi Bali yang Sakral

Pentas Sudamala: Dari Epilog Calonarang, sesuai judulnya secara gamblang kisahnya diambil dari cerita rakyat Bali, yakni Calonarang. Pada asalnya, Calonarang tidak hanya bersifat seni untuk dipertontonkan, namun punya nilai sangat sakral.

Ketua Yayasan Gases Bali, Komang Indra Wirawan dalam Calonarang Ajaran Tersembunyi di Balik Tarian Mistis (2019) menyebut dari kesakralan tersebut terlahir dari sebuah keyakinan religius. 

Komang menyebut Calonarang merupakan tokoh simbolik dari citra Dewi Uma yang berekspansi menjadi Dewi Durga yang menyeramkan.

“Dalam teologi Hindu, Dewi Durga adalah manifestasi Dewi Uma, sakti dari Dewa Śiwa. Dewi Durga dalam ikonografi Hindu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan dan sedang marah,” tulis Komang.

Makanya, dalam pertunjukan itu kita akan melihat sosok yang menyeramkan dan ditampilkan seperti mata mendelik, lidah menjulur, dan taring panjang. 

“Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pementasan drama tari Calonarang merupakan pementasan kesenian yang sakral karena di dalamnya ada kecenderungan religius yang kuat,” tulis dia.


catatan: sebagaian besar materi di tulisan ini sudah tayang di Koran Solopos edisi Sabtu-Minggu, 24-26 Juni 2023


Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain