Memilih untuk Tidak Percaya

ilustrasi: kumparan.com


Ada dua pesan yang belum terbaca, tenyata grub WA bapak-bapak.  Ada yang mengirim video dari Tiktok, isinya tentang Covid 19, juga kematian yang turut menyertainya hanyalah bohong belaka.

Karena penasaran aku buka. Narasinya sangat provokatif. Bersifat tuduhan tanpa dasar. Logikanya juga tidak runtut. Sejak awal nonton aku sudah simpulkan, ini tidak beres. 

Sulit untuk menduga sekalipun, apakah bapak bapak di grub itu percaya dengan narasi bahwa pandemi ini rekayasa demi kepentingan bisnis. Duh, dibuat buat oleh elit global. Asumsikan di grub WA itu ada yang percaya.

Aku sebenenarnya paling males untuk soal yang begini-begini. Dulu aku sempat menyepelekan hoax dan konspirasi, ah paling cuma angin lalu, lama-lama orang juga akan menemukan yang lebih tepat. Ternyata, lambat laun aku melihat hoax bahkan bisa mempengaruhi perilaku seorang. Kalo ini tidak bisa disepelakan. 

Misal, beberapa hari yang lalu, aku mendapat berita ada ambulan dilempar batu, padahal si ambulan tidak menyalakan sirine. Ini sudah tentu mengarah ke desas desus bahwa ambulan itu hanya lewat membunyikan sirine untuk menakut-nakuti. Padahal tidak bawa apa-apa, alias kosong.

Aku berusaha memahami, namun tidak mau memaklumi. Bahwa warga sedang kawatir, sedang takut. Di masa krisis tidak menentu begini wajar saja. Ini toh nyowo, kalau orang Jawa bilang. Sebab ini krisis kesehatan sudah sampai ke lingkar terkecil, yaitu kelurga. 

Bayangkan jika keluarga, setiap keluarga tanpa terkecuali terancam meninggal karena penyakit menular? Sudah tentu yang terancam dalam skala yang lebih besar adalah kelangsungan satu negara-bangsa, kan? Bonus demografi yang digadang-gadang tidak pernah terjadi. Lawong sedari awal anak-anak tumbuh tidak sehat karena Covid. Angka kematian Covid juga tinggi. Ini jelas masalah

Kembali ke warga yang ketakutan. Kalau sudah takut begini, yang dibutuhkan adalah sosok pelindung. Namun nihil tidak ada, seharusnya pemerintah, kenapa melulu pemirintah? Sebab pemerintah yang punya power, menguasai sumber daya, dan punya alat (UU, Perpres dll). Sayangnya kekuatan itu tidak dihadirkan. 

Warga mencari alasan yang paling sederhana, yang paling masuk akal bagi mereka, untuk menenangkan diri. Mereka bilang ambulan itu kosong, mereka bilang rumah sakit meng-covid-kan, mereka bilang rumah sakit cari untung, mereka bilang tidak ada yang meninggal karena pandemi, mereka bilang ini itu biar tenang. Mereka kepingin hidup tenang, kepingin hidup seperti yang sedia kala. 

Di titik ini aku kepingin mengerti, bahwa mental banyak orang (terkhusus di kampung) kena. Mereka tidak pernah membayangkan nyawa terancam oleh penyakit yang tidak pernah kelihatan. Dan mereka lebih memilih untuk tidak percaya, sekalilagi agar fikiran tenang dan tidak ketakutan.

Pemerintah berbaik hati dengan menuntup-nutupi fakta. Sembarangan melebeli hoax, misal pasien RS yang meninggal karena kehabisan oksigen di Jogja. Dengan sigab dibantah dan melebeli itu hoax. Meski ini berita kemudian menjadi ramai diperdebatkan, dan mendapat klarifikasi dari Kompas.com. Namun aku melihat skema semacam ini ada meski samar. Intinya membuat seolah semua baik-baik saja.

Lalu mempropaganda lewat skema sosial media (biasa disebut Buzzer) bahwa pendemi ini baik-baik saja. Aku paham, itu semua dilakukan agar masyarat tenang, tidak panik, dan takut. Iya memang benar tidak panik, tidak takut, tapi itu semua palsu.

Buruk betul cara komunikasi krisis yang dilakukan. Atau mungkin malah tidak melakukan komunikasi krisis. Entah. Yang jelas kerja-kerja humas semcam ini, hanya menyisakan masalah di bawah (warga), membuat narasi saling bertabrakan; antara yang palsu (disebar oleh akun bot/non-bot di sosial media) dan fakta (dilaporkan kawan-kawan wartawan di lapangan).

Doa terbaik kita kirim untuk semua. Aamiin.

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain