Di Balik Kata "Mandek"

Saya ngomong sedikit pengalaman di balik berita mengenai industri film di Solo
pemutaran film Payung Dara di Festival Patjarmerah, awal Juli 2023 di Solo


Saya senang dua liputan saya berjudul Industri Film di Solo Mandek dan Libatkan Semua Stakeholder agar Ekosistem Tumbuh, yang keduanya tayang di koran Solopos edisi 26 Agustus 2023, direspon. 

Respon itu ditulis oleh Ratmurti Mardika berjudul Menonton Film secara Holistik dalam rubrik Opini Koran Solopos edisi 8 September 2023. Secara garis besar esai itu membicarakan tentang industri film dan kata "mandek" itu sendiri.

“Bila dalam nada positif kita bilang mandek untuk memotivasi para pemangku kepentingan saya rasa nanggung, alih-alih ‘mandek’ saya akan memilih kata ‘mundur’,” begitu paragraf terakhir yang ditulis Pak Sonsky, begitu sapaanya di kampus UIN RM Said.

Jujur saja saya tidak terlalu paham teknis film, apa yang ditulis Pak Sonsky jelas sangat teknis (sekaligus teoritis) dan dia memang lihai di situ. Namun yang membuat saya terdorong untuk merespon adalah soal pilihan kata ‘mandek’ di judul dan lead berita. ‘Mandek’ sebenarnya sebenarnya masih sangat halus. 

Saya sendiri berhasrat menggunakan kata ‘tidak ada’ untuk menggambarkan industri film di Solo. Alih-alih ‘mundur’, sebab pengakuan para praktisi pada diskusi di Hetero Space Solo, Rabu (24/8/2023) malam itu, berkesimpulan sejak dulu kita baru sampai pada upaya membangun ekosistem, bukan industri.

Tentu saya merasa kurang pas ketika menggunakan kata “mundur” terhadap suatu yang belum dimulai sama sekali. Apa penyebab persoalan itu, diskusi malam itu hampir sampai pada kesimpulan, para praktisi film di Solo tidak punya banyak modal.

Maka sebenarnya saya sepakat dalam esai itu bahwa sasaran literasi perlu disematkan ke para investor atau pemilik modal.

Diakui tidak diakui, sepertinya ada kecenderungan pengusaha di Solo takut investasi di bidang industri film kreatif, dan industri kreatif secara umum. Itu terkonfirmasi dengan pernyataan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Solo, Respati Ardi.

“Sesuatu yang tidak berwujud barang, bentuknya intellectual property, orang bikin film pasti ditawar,” dalam diskusi di Hetero Space Solo, Rabu (24/8/2023) itu. 

Namun mungkin bisa saja mereka tidak ragu menyewa jasa para pegiat film, tapi untuk hal yang lebih praktis. Misal membuat video cinematic demi kepentingan iklan. Namun mengeluarkan duit untuk film kreatif, saya rasa nanti dulu, biaya produksi mahal belum tentu balik modal.

Keadaan ini saya kira hampir merata di industri kreatif Solo, tidak hanya film, buku pun begitu. Ketika saya mengeluh ke salah satu pemilik penerbit kreatif di Solo, kanapa industri buku kita nampak kalah dari Jogja. 

Ternyata keadaanya sebaliknya, industri buku kita malah produktif dan banyak menghasilkan. Katakanlah di Solo ada Tiga Serangkai, Erlangga, sampai Percetakan Solopos yang perputaran duitnya besar. Perlu digaris bahawi penerbit itu sebagian besar mencetak buku-buku paket, LKS, dan buku pelajaran lain

Namun kalau ditanya perbukuan dalam konteks industri kreatif, itu yang cukup nihil. Tidak banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku kreatif seperti novel, komik, puisi, esai, atau semacamnya.

Padahal kalau kita melihat baik-baik, secara seksama ekosistem ‘kreatif’ kita tidak kurang. Supaya sederhana, kita ambil saja dua sampel tentang ekosistem perbukuan dan ekosistem perfilm. Keduanya tidak juga dibilang tidak ada.

Mari ambil pendapat dalam diskusi itu bahwa ekosistem kreatif dibentuk oleh komunitas, institusi pendidikan, penonton (masyarakat), kapital (pemodal/modal), sampai pemerintah. Mari kita kembali dalam konteks film.

Komunitas film di Solo saya rasa cukup banyak. Sejauh penelusuran saya waktu liputan setidaknya ada komunitas film seperti Kembang Gula, Lembah Manah, Caniva, dan Lumintu. Saya yakin ada belasan yang lain. Mereka juga cukup produktif membuat film pendek.

Institusi pendidikan di Solo tidak kalah banyak, bahkan tidak melulu ISI Solo–memiliki Prodi Film—yang hanya menelurkan praktisi film. Banyak lulusan UIN RM Said, UNS, Unisri, sampai UMS yang berhasrat memproduksi film secara profesional.

Bahkan para praktisi film, termasuk saya kira Pak Sonsky, secara sadar menyempatkan diri ngajar di kampus untuk memantau potensi mahasiswa. Saya rasa prodi Ilmu Komunikasi, baik itu di UNS, UNS, UMS, dan kampus lain berani membuka konsentrasi di bidang Broadcast (atau film secara spesifik).

Literasi dan minat masyarakat yang rendah saya rasa terpatahkan lewat gelaran Festival Film Merdeka (FFM) yang diadakan komunitas film Kembang Gula setiap tahun. Jangan salah, ketika pemutaran film di kampung-kampung warga berharap menonton.

Bahkan lewat workshop atau pelatihan membuat film yang menjadi satu rangkaian FFM, minat mereka, anak muda Solo, untuk memproduksi film juga tinggi. Kepekaan mereka menangkap problem dan keresahan di lingkungan sekitar, tidak segan dituangkan dalam bentuk film pendek.

Festival Film Merdeka, Lokananta Solo, Agustus 2023


Keterlibatan komunitas, institusi pendidikan, sampai penonton jelas memperkuat ekosistem film Solo. Mereka sudah jalan bareng sejak lama. Yang dirasa kurang adalah keterlibatan investor dan pemerintah.

Bukan berarti tidak ada diskusi untuk mengupayakan industri kreatif di Solo. Setidaknya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno pernah mampir ke Taman Sunan Jogo Kali, Solo pada April 2023 lalu. Diskusi kala itu juga dihadiri para pengusaha Solo.

Tapi itu hanya sebatas diskusi. Pun sedikit sekali menyinggung potensi industri film di Solo, lagi-lagi, hanya berkutat pada sektor wisata yang sebenarnya kunjungan wisatawan di Solo itu sudah bejibun, apalagi ada sejumlah ikon tempat wisata baru.

Maka kita, sementara, kita boleh ‘menuduh’ minimnya keterlibatan pemerintah dan investor itu lah yang memuat industri film di Solo mandek, mundur, atau tidak jalan sama sekali—terserah mau pakai istilah yang mana.


Solo, September 2023

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain