Cah Lanang dan Basagita

ilustrasi - splrarebooks.


Malam Minggu kemarin (18/9) akhirnya memutuskan untuk keluar. Ini ajakan dari adik yang tidak bisa ditolak. Ia sepertinya sedang antusias. Jadi ya sudah. Lagi pula sudah lama tidak keluar. Kali ini ajakan buat nonton film atau lebih tepatnya Screening Film, acara yang digagas oleh Dista FM UIN Surakarta, bertajuk Distafest

Satu yang sangat jarang saya lakukan sebenarnya, menonton film di keramaian (tempat umum). Rasa-rasanya terakhir nonton film di tempat umum ketika nobar Sexy Killer (2019) garapan Watchdoc Documentary yang diputar di kampus. Sudah sangat lama. Dua tahun lalu.

Suasana Bento Kopi UMS, sebagai tempat pemutaran bising sekali. Keramaian orang-orang ketika pemutaran film itu sangat mengganggu.

Tapi film tetap film. Film bahkan berkerja dengan sangat baik ketika penonton berisik dan suara dialog terganggu. Karena film tidak hanya berbicara lewat dialog, tapi juga lewat gerak tubuh, mimik wajah, baju yang dikenakan si tokoh, latar tempat, tombok rumah yang ada di frame, sampai karakter minor dalam film itu.

Saya berani mengklaim bahwa saya penikmat film yang 'hening'. Semakin 'hening' semakin deep, semakin memungkinkan buat saya melihat film dengan sangat ‘dekat’ selaigus ‘jauh’. Sebab film seharusnya tidak hanya memberikan 'informasi', tidak begitu, sebab itu tugas announcer, tugas penulis script atau sutradara melempar simbol, lalu biar penonton yang memaknai.

Di tengah keramaian dan kebisingan nonton film, saya cuma betah nonton dua film, padahal saya kepingin menuntaskan keempat film itu. Cuma saya terlanjur pusing karena terlalu bising. Akhirnya baru dua film saya ngajak adik pulang, makan sego goreng dan menulis ulasan ini.

Saya kepingin mengulas dua film yang saya tonton, bukan karena apa-apa, bukan juga karena merasa sebagai kritikus. Saya cuma kepingin mengambil kesempatan buat mengapresiasi segala proses produksi yang repot itu.

Sejujurnya saya kepingin ngotot menyampaikan apresiasi di depan ketika sesi diskusi. Sayang waktu keburu selesai, jadi untuk melegakan ego saya. Mending saya tulis di sini.

Cah Lanang: Kritik kepada Bapak

Pemutaran dimualai dari film garapan Wisnu (sutradara) produksi PermataTV, satu UKM yang dimiliki prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Surakarta. Dari judulnya, Cah Lanang (2021), sudah jelas film ini bakal berlatar Jawa, berbahasa Jawa, dan asumsinya juga menangkap masalah sosial orang Jawa.

Satu yang kemudian saya tangkap dari premis film ini; yaitu kritik terhadap relasi antar orangtua—juga berlaku untuk orang yang lebih tua—dengan anak—juga berlaku untuk orang yang lebih muda. 

Relasi antara ‘yang tua’ dan ‘yang muda’ di kehidupan sosial Jawa sering mendapat tuduhan feodal, tidak egaliter, dan terlalu mengkultuskan yang tua. Tuduhan yang keras.

Kritik (baca: tuduhan) itu ada benarnya sekaligus ada celahnya. Sayang film ini tidak menangkap celah itu. Celah dimana hubungan antara ‘yang tua’ dan ‘yang muda’ itu sebenarnya menekankan etika yang kuat. Bukan karena 'yang muda' dituntut untuk mengkultuskan 'yang tua', justru itu bentuk penghormatan terhadap umur.

Ini berkaitan dengan orang Jawa yang terbiasa memaknai segala simbol 'alam'. Semakin orang Jawa bertambah usia ia semakin tenang dan peka terhadap simbol 'alam' itu. Semakin tua pula ia lebih hikmat merenungi, memaknai, dan mengerti simbol-simbol yang tidak pernah dilihat oleh 'yang muda'. Jadi penghormatan itu bukan bentuk 'pengkultusan'. Tapi penghormatan terhadap segala pengalaman batin.

Begitu juga orang tua jawa, pada umumnya ia tidak anti kritik—seperti yang digambarakan di film—namun lebih kepada anti terhadap yang tidak beretika (unggah-ungguh). Ketersinggungan orang Jawa kebanyakan karena tingkah laku (secara etika) yang kurang pas, bukan kerena isi kritiknya, tapi lebih kapada cara menyampaikanya yang bermasalah. 

suasana nobar 

Misal, ketika anak muda mengirim nasehat (baca: kritik) kepada orang tua hampir tidak mungkin dilakukan secara langsung. Nasehat itu barangkali akan keluar menjadi pertanyaan, atau tersirat dalam bentuk percakapan. 

Kalau diingat-ingat orang Jawa tidak suka ribut dan memang lebih senang mengkritik secara tersirat. Misal contoh yang paling umum, bagaimana cara menolak segaligus bentuk kritikan bahwa Bandung Bondowoso tidak cukup baik untuk Roro Jonggrang? Roro Jonggrang tidak kemudian bilang, "kamu aku tolak, ora sudi nikah karo kowe". Roro menolak dengan satu syarat mustahil, membuat seribu candi dalam semalam. Itulah budaya kritik dalam kehidupan Jawa; dikemas secara tersirat dan tidak langsung.

Bahkan jika diingat dalam politik, Pak Harto yang menurut saya representasi dari 'Raja Jawa', ketika ia marah apa mimik wajah yang ditampilkan? Iya, senyum, kadang disertai gelagak tawa. Tapi kita menerima dan memaknai senyum Pak Harto dengan badan adem panas dan rasa takut. Ingat video anak SD yang bertanya “kenapa presiden cuma satu?”, nah gambarannya seperti itu.

Satu adegan terakhir yang ingin saya capture. Ketika seorang bapak menangis di depan anaknya sendiri. 

Di keluarga Jawa, bapak selalu tempil dominan segaligus mengambil peran utama. Ibarat Rumah Joglo, figur bapak adalah saka guru. Ia selalu tergambar dengan nuansa wibawa, kadang malah angker. Di kehidupan politik kita, sering menyebut penghormatan tertinggi dengan sebutan 'bapak'. Misal sebutan untuk Sukarno dan Hatta itu 'Bapak Proklamator". Makanya seorang 'bapak' Jawa tidak akan diperlihatkan sebagai orang yang cengeng dan nelangsa, apalagi di depan anaknya.

Namun, bahasa Jawa yang digunakan di film ini patut diberi apresiasi. Saya berharap film ini menginspirasi lebih banyak penulis script yang menuturkan bahasa ngoko dalam frame.

Sebab sebagaimana fungsi kamera guna mengambil gambar, film juga berfungsi menggambil (framing) kehidupun sosial kita. Dalam kasus Jawa, kehidupan sosial yang paling bawah adalah soal berbahasa ngoko. Kita bakal temui bahasa ngoko di warung, angkringan, pos ronda, sampai tempat kesutan, lalu diucapkan oleh tukang gorengan, tukang becak, sampai anak sekolah. 

Pengucapan bahasa ngoko itu akan berbeda di setiap daerah, bahkan hanya bergeser sedikit ke timur, semkin jauh dari Keraton, semakin terdengar ‘kasar’ bagi orang Solo dan Jogja. Dalam hal ini, film Cah Lanang (2021) berhasil menangkap detail bahasa ke dalam frame. Oke lah. 

Basagita: Paradoks si Manten

Bagitu juga Basagita (2021), film garapan Martga A. D dari ISI Surakarta ini nampaknya punya kecenderungan yang sama jika soal bahasa, yaitu Bahasa Jawa. Sebagaimana bahasa, satu kesulurahan adegan di film ini bertema pernikahan Jawa, lengkap dengan pakaian kedua mempelai, kebaya dan beskap. Kedua film kini seakan berlomba menampilkan mana yang paling njawani.

Latar tempat yang dipakai cukup unik, yaitu ruang rias penganten. Film ini jeli menangkap adegan kecil di balik pernikahan. Premis cerita yang memberi kesan paradoks, ditulis dengan apik. Mempelai perempuan tentu bahagia menikah dengan lelaki yang ia cintai, namun di saat yang bersamaan bapak dari mempelai wanita justru membawa kesedihan yang tak tertahan. 

Perempuan Jawa sulit terus terang, namun sangat mudah menampkan 'kode' kalau ia sedang tidak bahagia. Mimik wajah mempelai perempuan ketika adegan sesi foto wedding dalam film itu memberi makna semantik yang menarik; kebaya nganten dan mimik sedih. Parodoks, kan?

Saya tadi di awal bilang bahwa bagian paling menarik dari film adalah adegan 'hening' atau boleh juga disebut 'bisu'. Yang hening dan bisu itu bisa berupa apa saja, termasuk benda berupa tembok dan baju. 

Tembok merah yang ditampilkan di dalam freme mepertegas kesan kemarahan dan kesedihan, entah itu disengaja atau tidak. Namun itu menarik, sebab warna tembok yang merah itu juga membuat mempelai wanita yang menggunakan kebaya putih menjadi mudah dilihat. Sebab tembok merah tau itu membiarkan putih tetap terang. 

Pilihan warna baju si perias manten yang dominan merah, membuatnya semakin samar sebagai pemeran pembantu. Dan itu memang penting, mengingat penonton harus terus fokus ke mempelai wanita dengan segala gerak-gerik 'hening'nya yang diperankan dengan apik.

Gambaran Bapak dalam film ini sama (atau kalau mau tidak disamkan, yaa mirip) dengan gambaran Bapak di film Cah Lanang (2021). Sosok Bapak ditampilkan dengan pesona 'bermasalah'; si pembawa masalah. 

Sosok Bapak juga dijadikan penyebab konflik antar tokoh (dalam flm ini konflik Ibu dan Anak). Kita kemudian bertanya, apa citra dan keangkeran Bapak sebagai representasi dari Saka Guru itu runtuh di kedua film itu? 

Benang merah kedua film itu bertemu di satu tema. Keduanya sama-sama bertemakan bapak dan Jawa. Saya tidak akan/tidak mau/tidak perlu bertugas menjadi hakim, lalu menilai mana yang lebih baik. Sekali lagi, saya bukan kritikus film. 

Keduanya menurut saya berhasil meng-capture adegan sosial kita sebagai orang jawa (saya asumsikan pembaca tulisan ini orang Jawa). Bahkan mengajak penonton yang bukan orang Jawa untuk melihat detail keanehan, keunikan, dan keruweran sebagai orang Jawa. 

Jadi selamat atas pemutaran film serentak ini. Dan apresiasi untuk kedua film, dari saya yang hanya penikmat film, namun bukan pegiat film.
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain