Merelakan Lebaran di "Jalan"

Ketika meliput salat id di Masjid Agung Madaniyah Karanganyar. Dok pribadi. Ramadan 1444 H/2023

Sudah dipastikan saya kembali merayakan lebaran tahun ini di "jalan".  Sejak awal Ramadan 1445 H kemarin, saya sudah diberitahu oleh Redpel Solopos.com bahwa saya yang akan berangkat ekspedisi mudik. Satu program tahunan Solopos yang memantau sejumlah titik kermaian di beberapa tol.

Hingga saat ini saya sendiri belum tahu akan menyusuri jalan tol yang mana, karena memang masih akhir Ramadan nanti, ketika gelombang mudik sedang gila-gilanya. Penugasan mengikuti ekspedisi mudk lebaran 2024 ini membuat saya dua kali tidak lebaran bersama keluarga. 

Secara pribadi sebetulnya saya tidak terlalu masalah, hanya saja saya bakal melewatkan makan lontong opor buatan embah yang khas itu. Ini kedua kalinya saya melewatkan lontong opor dengan brabasan premium itu, setelah Ramadan 1444 H lalu saya ikut tim lebaran.

Tim lebaran ini berbeda dengan tim ekpedisi mudik, bedanya ketika kita ikut di tim lebaran area tugas hanya di Soloraya. Tahun lalu saya bertugas di Karanganyar. Meliput geliat masyarakat ketika menjelang lebaran, saat lebaran, dan pasca lebaran.

Sedangkan tim ekspedisi mudik tugasnya sepertinya lebih "berat", sebab harus menelusuri jalan tol selama beberapa hari. Mengamati kondisi lalu lintas, kejadian, sampai kuliner unik. Lalu menulis langusung selama perjalanan. Kira-kira begitu. Mungkin begitu, itu hanya bayangan saya, sebab saya juga belum berangkat.

Ini sebetulnya menjadi pengalaman unik, yang dalam hati kecil mengatakan sebenarnya momen ini saya nantikan. Seumur hidup, saya belum pernah merasakan mudik. Sebab jaram rumah embah, baik dari ayah dan ibu, hanya sejangkal dari rumah. Tidak jauh. Dengan begitu tidak ada alasan untuk mudik.

Maka saya sebetulnya sedikit penasaran dengan fenomena yang mungkin hanya ada di Indonesia ini. Melihat orang berbondong-bondong menunaikan hasratnya untuk pulang kampung. Keinginan untuk kembali bertemu keluarga, kelegaan setelah menuntaskan rindu dengan keluarga.

Selama ini saya hanya melihat dari jauh. Tentu dari saluran televisi atau media lain. Melihatnnya saja sudah terasa lelah. Saya tidak pernah habis pikir kenapa mereka mau dan rela juah-jauh kembali dari perantauan.

Belum lagi saya membayangkan suasana mudik di masa lalu. Saya baru saja membuka foto-foto dokumentasi dari kompas.id yang menampilkan suasana mudik pada 1970-an, 1980-an, 1990-an, sampai awal 2000-an. 

Keadaannya cukup ekstrim. Jika kita ingat kembali pada masa-masa itu menejemen kereta api tidak seperti sekarang. Dulu orang bahkan tanpa tiket saja bisa naik gerbong. Saya lihat foto itu tumpukan di dalam gerbong dan di luar gerbong. Hingga bebera orang bahkan memaksakan diri masuk lewat cendela kereta.

Umat Islam selesai malaksankan salat id di Masjid Agung Madaniyah Karanganyar. Dok pribadi. Ramadan 1444 H/2023

Lewat dokumentasi arsip kompas itu saya merasa ngilu, betapa kacaunya suasana kala itu. Bayangkan saja kapasitas gerbong yang berlebih dipaksakan jalan. Keselamatan jelas rendah. Padahal para pemudik ini ditunggu keluarganya di rumah. Diharapkan kehadirannya, di tengah-tengah keluarga kecil mereka.

Tapi mungkin saya salah, toh tahun itu bahkan saya belum lahir. Kalau dari raut mukanya, sepertinya tidak ada ketegangan, rasa-rasanya malah mereka gegirangan. Seperti hendak melepas rindu. Namanya juga rindu, hanya bisa lepas bila sudah bertemu. Ya, wajar saja para pemudik kadang melakukan hal-hal gila.

Berkunjung ke makam Keluarga Cendana di Astana Giribangun Karangnayar. Dok pribadi. Ramadan 1444 H/2023 

Jujur saja keadaan-keadaan seperti itu yang saya tidak pernah raasakan. Mungkin besok ketika saya berangkat liputan bersama tim ekspedisi mudik, saya akan mengerti kenapa orang dengan rela, menghabiskan banyak uang, tanaga, dan mental hanya untuk kembali ke kampung. Mungkin ini menegaskan bahwa tempat pulang dan asal kita itu kampung, bukan di kota.

Minimnya pengalaman dan ketidaktahuan saya tentang mudik, tentang jalan tol, tentang lalu lintas, dan serba-serbi mudik lainnya membuat saya sedikit cemas membayangkan bakal seperti apa di lapangang. nanti. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau, saya harus mulai riset kecil-kecilan, dan sedetail mungkin.

Persiapan open house di kediaman masa kecil Gubernur Jateng kala itu, Ganjar Pranowo di Tawangmangu, Karangnyar. Dok pribadi. Ramadan 1444 H/2023

Semoga saya berhasil menangkap momen tidak hanya soal kondisi jalan. Sebab jalan sebetulnya tidak bercerita banyak, justru yang bercerita banyak adalah jutaaan orang yang menggunakan jalan itu. Maka saya merasa perlu menulis human interest, cerita tentang manusia. Sebab objek sekaligus subjek yang kita amati salah satunya adalah manusia yang kompleks itu.

Pada akhirnya, saya harus merelakan untuk ikut menjadi subjek mereasakan dari dekat rasanya mudik. Dan mengambil sedikit jarak agar bisa mengamati objek liputan.  Pekerjaan saya memang rumit, sebab kadang kala saya harus dekat tapi berjarak. 

Itu persis kata wartawan senior, Arif Zulkifli dalam buku Jurnalisme di Luar Algoritma (2022), "Ia (wartawan) adalah subyek di luar sekaligus di dalam pigura. Di luar dalam pengertian ia menjaga jarak. Di dalam artinya ia bergaul dan merasakan dari dekat obyek liputan." Ah rumit, kan. 

Demi bisa dekat, bisa merasa, meraba, dan menghadirkan seluruh indra, maka saya harus merelakan diri untuk lebaran di "jalan", tidak lebaran bersama keluarga, tidak juga dengan tetangga, atau bersama kucing-kucing di rumah saya.

Tapi tidak apa, saya bahagia. Anggap saja ini semacam perjalanan spiritual, melihat bagaimana Tuhan mengatur agar orang-orang yang mudik itu bisa sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sebab tanpa campur tangan Tuhan, mana bisa menggerakan hati jutaan orang untuk bergerak dan segera beranjak dari perantuan lalu pulang ke kampung halaman.


Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain