Agenda Setting: Bagaimana Media Membentuk Persepsi Kita?



Media (baca: Media Massa/Mess Media) hari ini, dari yang Konvensional sampai sosial, sangat tidak mungkin dipisahkan dari masyarakat. Topik mengenai media dan masyarkat akan terus menghasilkan diskursus baru dan terus berkembang. Peristiwa-peristiwa sensasional hampir kesemuanya berawal dari bayang-bayang media massa.  
  
Kasus Ahok misalnya, dimulai dari upload-an Buni Yani ke media sosial, tidak lama gelombang massa berdatangan ke Jakarta. Monas menjadi lautan aksi massa yang dinamai ‘Aksi Damai 212’.
Mundur lebih jauh lagi, kasus Inul Daratista dangan goyang ngebornya. Ketika muncul di TV, Langsung respon masyarakat menolak dengan sangat keras. Bahkan pendangdut waktu itu, Roma Irama ikut memprotes habis-habisan.

Namun media -dalam hal ini TV- tetap menampilkan tarian eksotik ‘goyang ngebor’. Sampai-sampai kalau ditanya soal ‘Goyang Ngebor’, yang terbayang langsung Inul Daratista. Semakin diekspos semakin laris. Lambat laun angin berlalu, yang semula menuai kontra tajam, goyang ini lama kelamaan mendapat tempat di masyarakat. Tren dangdut sejak itu berubah, dari yang berbau imbauan moral seperti Roma Irama, berubah menjadi eksploitatifterhadap gairah sexsualitas melaui goyang dari si penyanyi. Siapa yang dapat melakukan ini kalau bukan media. Ajaib bukan ?

Tidak hanya itu media turut mengkonstruksi persepsi masyarkat mengenai ukuran kata sifat yang sebenarnya susah untuk dipatok. Namun media mampu untuk menetapkan standar itu. Cantik misalkan, siapa yang berfikir cantik itu pendek, gendut, dan pesek ? Justru sebaliknya cantik itu tinggi, langsing, hidung mancung dan berkulit putih merona. Ini dampak dari masyarkat mengkonsumsi iklan facial foam dan produk kecantikan lainnya, iklan-iklan tersebut membentuk persepsi masyarakat mengenai ‘cantik’.

Kemudian di prosesi Pilgub 2012 lalu. Siapa sangka orang Solo pengusaha kayu mampu mengalahkan orang terdidik lulusan Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig di Jerman.

Beigitu pula di Pilpres 2014,  orang yang terkesan polos, logat medok Jawa dan gaya pidatonya ala-ala solo -lambat dan kalem- mampu mengalahkan purnawirawan jendral mantu Soeharto sekaligus pendiri partai besar di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan media yang mampu memunculkan sosok Jokowi, mengalir dari Solo sampai Istana Negara. Walau kini jilid dua terulang di Pilpres 2019. Menarik dilihat kembali bagaimana media mempengaruhi hasil pesta demokrasi lima tahunan ini.

Lalu bagaimana sebenarnya cara kerja media untuk membentuk persepsi masyarakat?

Agenda Setting

Pertanyaan diatas akan dijawab dengan teori yang cukup terkenal mengenai cara media membentuk persepesi dari Maxwell McCombs dan Donal Shaw. Dua sarjana ini yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘Agenda Setting’.

Melalui teori ini, cukup menjelaskan bahwa sebenarnya media-lah yang bertanggug jawab menentukan arah persepsi masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bernard Cohen “media massa mungkin tidak berhasil mengatakan (secara ekplisit) kepada kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka sangat berhasil untuk mengatakan (secara tesirat) kepada kita hal-hal apa saja yang harus kita pikirkan”.

Tidak hanya itu, media massa (baca: pers) juga mampu untuk menentukan isu mana yang penting untuk dibahas. Beberapa waktu lalu misalkan, Jokowi dan Prabowo berpidato dalam kesempatan dan waktu yang berbeda. Jokowi menggamparkan hiruk pikuk politik Indonesia dengan kata ‘Politikus Sotoloyo’ dan ‘Politikus Gendruwo’. Prabowo lain lagi, bertepat di 

Boyolali, ia sedang mengkritik kelas ekonomi masyarakat yang semakin senjang. Kemudian prabowo mengatakan ‘Tampang Boyolali’.

Dalam pidato Jokowi, konteks isu yang sedang diangkat sebenarnya perilaku para politikus yang oportunis. Sedangkan konteks pidato Prabowo menggambarkan pembagian kelas atau dalam bahasa kaum kiri disebut proletarian, dimana kelas bawah akan selalu ada potensi konflik vertikal dengan kaum borjuis (kelas atas).

Namun pers lebih memilih mengambil headlineberita dengan judul “Sotoloyo VS Tampang Boyolali”, seakan isu ini dimunculkan oleh para politikus. Padahal jelas pers lebih mungkin untuk memilih isu, yang semula isu ‘politik’ menjadi “Sontoloyo”, yang semula ‘isu kelas ekonomi’  menjadi isu ‘Tampang Boyolali’.

Gegaduhan ini membuat pers tidak subtansial membahas isu pilpers 2019, atau dengan kata lain kurang menyentuh visi & misi paslon nomor urut satu atau dua. Polanya hanpir mirip dengan apa yang dikatakan oleh Donald Shaw dan Maxwell Mccombs :

“Bukti-bukti sudah menumpuk bahawa editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita. Dampak dari media massa yaitu kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu, untuk membentuk pikiran mereka dinamakan fungsi agenda-settingkomunikasi massa. Disinilah letak efek paling penting komunikasi massa, yaitu kemampuan secara mental untuk menata dan mengorganisasikan dunia kita untuk kita.”

Cara Kerja Agenda Setting

Saya ingin garis bawahi mengenai kamampuan media melalui agenda setting untuk mempengaruhi perubahan individu dan membentuk pikiran masyarakat. Menurut Everett Rogers dan Jemes Dearing setidaknya ada tiga tahapan; agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan.

Saya akan menarik kasus lama untuk mencontohkan cara kerja agenda setting diatas, yaitu kasus Ahok yang menistakan agama melalui pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu. Setidaknya ada tiga tahapan  bagaimana media berperan sentral atas kaitannya dengan Agenda Setting melaui kasus ini.

Pertama, menetukan prioritas isu. Ditengah pesta pemilu DKI Jakarta dan masalaha pelik yang dihapi ibu kota waktu itu. Ada banyak sekali pilihan isu, seperti isu lengkungan hidup, isu kemiskinan, isu kemacetan dan isu sosial yang krusial lainnya. Namun media memilih meprioritaskan isu Agama dan menampilkan potongan pidato Ahok mengenai Al-Maidah 51 seabagai headline berita.

Kedua, dalam tahap ini media akan berinteraksi dengan pikiran publik, interaksi ini kemudain akan memunculkan apa yang disebut dengan ‘agenda publik’. Hampir setiap hari, waktu itu masyarakat disuguhkan dengan headline ‘Ahok dan Al-Maidah 51’. Pada watu yang bersmaan isu ini bersentuhan dengan apa yang dipahami oleh masyarakat. Sebagai masyarkat yang berfikir, akan ada pro dan kontra soal apakah ahok menista. Disaat inilah media juga mempengaruhi pemahaman public mengenai isu Ahok.

Ketiga, lebih jauh lagi agenda publik akan bersentuhan dengan agenda kebijakan pemerintah, hingga memunculkan apa yang disebut agenda kebijakan (policy agenda). Ketika agenda publik terarah pada kontra menganai kasus ahok. Pihak yang kontra menggelar aksi massa dengan jumlah yang besar. Aksi 411 dan Aksi 212, pada titik tertentu tekanan massa bisa saja mempengaruhi kabijakan pengadilan.

Begitulah media membentuk persepesi melalui agenda setting, yang pada gilirannya mempengaruhi pilihan isu penting dan ikut andil bagian dalam proses kognitif  masyarakat. Sebagaiama yang dikatan Walter Lippman bahwa media bertindak sebagai “perantara antara dunia luar dan gambaran di kepala kita."

Boyolali, Desember 2019
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain