Buku

 



Pak Anies Baswedan rame betul, hanya karena upload foto dirinya baca buku How Democracy Die. Sialnya, yang dibahas publik bukan bukunya, tapi pak Anies dengan segala spekulasi kalo Pak Anies nyindir kelompok tertentu.
Apa ini menandakan kalo kita belum cinta buku, melebihi cinta kepada public figure seperti Pak Anies? Entah, engga usah teralalu melow, apalgi kalau sampai bahas Anies for President, kejauhan paaak. Ini masih 2020, masih COVID gais.
Bahas buku aja lah ya, Pak Anies cuma buat 'cantolan' aja, hhhhh judul curhatan ini 'Aku dan Buku';
Saya sendiri sebenarnya 'terlambat' mengerti kalau buku itu penting, dan terlambat 'mencintai'. Tidak seperti Sukarno ataupun Hatta yang gemar betul membaca buku sejak muda.
Kesadaran kalo buku itu penting baru muncul secara bertahap barangkali waktu SMA.

Perpus Sekolah SMA Muh 1 Surakarta

Alhamdulillah di perpus ketemu dengan buku-buku penting, termasuk majalah Horison, dari majalah itu juga pelan-pelan mulai bisa 'mehami sastra'.
Ingat betul di perpus SMA (tercinta) Muh 1 Ska--dekat Mangkunegaran-- ada bukunya Husein Haikal, sastrawan juga sejarawan Islam, ia menulis tetang sejarah Nabi Muhammad. Buku 'serius' pertama yang saya baca. Belakangan baru tahu ternyata buku itu mendapat kritik tajam.
Seingat saya di awal, Haikal menulis pengantar tetang kritiknya ke para pemikir barat. Istilah 'orientalis' terngiang di kepala, mungkin beberapa hari. Selain pening memikirkan apa arti istilah orientalis, saya juga merasa heran kok ya ada yang menggugat (mengkritik) 'kebenaran' agama Islam.
Maklum, waktu SMA yang masih polos itu, dengan pemahaman awam (lebih ke doktrin) agama Islam, yang walaupun sekarang masih awam. Pikir saya waktu itu, kalau Islam itu agama yang benar, berarti tidak ada bergolakan pemikiran, lempeng saja.
Di perpus SMA--walaupun sekali lagi merasa terlambat-- juga bertemu buku judulnya Manusia Indonesia, di sampul tertulis pengarangnya adalah Mochtar Lubis. Satu tokoh yang saat itu saya kenal sebagi sastrawan. Ternyata itu rekap pidato kebudayaan yang ia bacakan di Taman Ismail Marzuki, tanggal 6 April 1977.
Pikirku, buku Manusia Indonesia itu semacam novel roman yang mendayu-dayu. Lah ternyata buku kebudayaan, yang isinya mengkritik society. Saya engga ngerti itu apa, namun entah kenapa buku tipis itu tetap saya selesaikan.
Katanya Moctar Lubis, manusia Indonesia itu munafik, suka budaya feodal, sama telalu percaya tahayul--juga menjadi kritik Kuntowijoyo di buku kumpulan esai kebudayaannya--
Saya tahu istilah ABS (asal bapak senang) yaa dari buku ini. Sepertinya ABS menjadi budaya politik feodal yang sampai sekarang ada.
Termasuk buku-buku sastra. Waktu SMA entah kenapa lewat puisi judulnya "Aku", ngefans sama si Binatang Jalang Chairil Anwar. Puisinya terkesan marah, mendayu, ala pujangga nan asik aja dibaca.
Seingat saya, buku Chairil tidak ketemu di perpus SMA. Yang ada bukunya Kahlil Gibran, Sayap-sayap Patah, dan jelas yang paling ikonik Sang Nabi. Masih ada beberapa bukunya Kahlil yang berserakan di rak perpus, tapi lupa apa judulnya.
Namun mulai serius tertarik dengan sastra justru gara-gara buku Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Bahasanya pas, metafornya pas, dan isu pendidikan yang diangkat Andrea menyenangkan untuk disimak. Sangkin senengnya membaca buku itu, sampai berani mengatakan "mulai sekarang aku kepingin jadi sastrawan"
Masih banyak, di perpus kecil yang nyaman (karena Ac), tenang, hening karena memang jarang--sekalipun istirahat engga ada yang (sekedar) mampir ke perpus. Yah paling, guru sastra Indonesia, alm. Pak Joko yang rutin hampir setiap hari ke perpus. Beliau juga yang memperkenalkan nama Chairil dan HB Jassin.
(Ulangi) waktu jam istirahat, di perpus SMA, merasa beruntung bisa bertemu (lewat buku dan majalah) orang-orang seperti, Andrea Hirata, Susilo Toer, Pram, Chairil Anwar, Husein Haikal, Ahmad Tohari, Kahlil Gibran, WS Rendra, dll termasuk penulis novel Iconik Siti Nurbaya karya Marah Roesli
Hanya satu buku yang menyesal engga sempet baca, Novel Gajah Mada, sebab dulu sudah minder melihat buku setebal itu nangkring di rak. Batin saya "apa yaa bisa menyelesaikan buku setebal itu." Andai saya Natsir, Sukarno atau Hatta, pasti selesai itu seluruh buku di perpus sekolah.
Yahh meski tidak setiap hari (kalau mau aja) dan singkat sekitar 15 menit waktu istirahat, tapi momen nongkrong di perpus itu sangat sentimental nan memorable. Jujur yah, lebih menyenangkan ketimbang pelajaran di kelas wkwkwkwkwk~
***
Oh iya, tadi bahas Pak Anies padahal; TOP lah pak, kita jadi bersaing cerita soal buku dan saling pamer foto dengan pose mbaca buku, hehe~
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain