Kampus Rombeng-rombeng

 



Semacam kegelisahan merasakan suasana perkuliahan yang semakin pragmatis. Pengapnya kampus, bisingnya perpustakaan, lemahnya minat literasi, kuliah benar-benar dianggap terlalu praktis. Diskusi hambar, tidak pedas, tidak manis, tidak sama sekali, bahkan sekedar harumpun tidak. Walau di beberapa kelas memang masih ada rasanya. 

Persepsi mahasiswa ketika memasuki kampus bukan soal mencari ilmu. Namun lebih pada bagaiamana setelah lulus mendapat kerja. Kampus yang ideal digambarkan sebagai kampus yang alumninya langsung mendapat kerja. Bila perlu yang ikatan dinas dengan gaji selangit. Kalau sudah begitu, biasanya akan menjadi menantu idaman.

Kampus mempunyai tanggung jawab penuh untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kampus harus mampu menjadi pelita di tengah prahara. Menerangi gelapnya pikiran masyarakat menjadi terang benerang. Menembus hijab ketidaktahuan dengan segala perangkat pendidikan yang dimiliki kampus. Tanggung jawab ini berat, namun harus terpenuhi.

Akan sangat berbahaya jika kampus tidak memenuhi tanggung jawab tersebut. Lalu siapa yang mengisi ruang kosong itu nantinya ? Setidaknya untuk memenuhinya  dibutuhkan kampus yang sehat. Ciri kampus yang sehat ada tiga; pepustakaan memadai, masjid makmur, dan ruang diskusi hidup.

Jika dianalogikan kampus sebagai sebuah tubuh, maka paru-parunya adalah perpustakaan, napasnya adalah ruang diskusi, dan jantungnya adalah masjid. Bayangkan jika perpustakaan tidak memadai, bisa-bisa terkena asma. Akibatnya nafas diskusipun menjadi berat. Apalagi masjid sepi, langsung terkena serangan jantung.

Namun bukan hanya soal kualitas kampus yang perlu diperhatikan. Mahasiswa lebih lagi, darimana datangnya mereka kalau bukan dari rakyat juga ? maka tuntutan pertama setelah lulus adalah kembali kepada rakyat untuk merubah tatanan sosial yang berantakan. Kita sering sebut misi suci ini dengan istilah “agent of change”.

Entah siapa yang mesti disalahkan, mahasiswanya atau kampusnya. Bukan apa-apa, melaikan sifat yang terlampau pragmatis ditambah hedonis berdampak pada sifat buruk yang lain, yaitu egois. Mementingkan kepentingan dirinya, enggan memikirkan masalah rakyat. Padahal sebagai seorang mahasiswa sudah tentu punya kapasitas.

Maha Besar Nilai

Nilai menjadi maha besar, seakan juru selamatnya adalah nilai. Hingga mahasiswa lupa yang mereka cari di kampus, yaitu ilmu. Mengesampingkan ilmu lalu mengutamakan nilai adalah kegagalan dasar sebagai seorang pelajar, apalagi mahasiswa.

Ketika nilai menjadi tujuan utama, kuliah benar-benar sangat penat. Mulai dari mengerjakan tugas, menerima materi di kelas, sampai absensi mereka  penuhi dengan motif yang amat pragmatis. Ini membuat urat leher tegang, karena nilai sangatlah stagnan.

Pola pikir yang demikian juga berdampak pada cara belajar. Ketika akan menghadapi ujian, menghafal materi menjadi kebiasaan. Seringkali menghafal tanpa memahami isinya. Memang akan bisa menjawab ujian, namun ketika ujian selesai semua terlupakan. Nilai didapat namun ilmu luput. Cara belajar seperti ini benar-benar menambah tekanan.

Saya tidak mengatakan salah bila mendapat nilai yang tinggi. Namun yang saya permasalahkan adalah niat awal pergi ke kampus. Saya selalu teringat apa yang dikatakn Hamka dalam bukunya, Lembaga Hidup. “Hendaklah yang menimbulkan keinginan menuntut ilmu itu keridhaan Allah swt. Sebab dengan ilmu yang luas itulah dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti. Bukanlah ilmu sekedar untuk mencari makan dan mencari gaji.”

Ilmu untuk mencari makan dan gaji ? memang iya untuk mencari nafkah dibutuhkan ilmu. Namun jangan berhenti sampai di situ. Terlalu remeh jika tujuan kuliah hanya mendapat nilai tinggi, mendapat kerja, dan menjadi menantu idaman.

Jika saya bertemu dengan pemikiran seperti itu. Lansung teringat kisah Hamka yang sama sekali tidak memiliki ijazah, tamat SD-pun tidak. Hamka kecil hanya menerima pendidikan non-formal di Sumatera Thawalib, salah satu gurunya adalah ayahnya sendiri. Itu pun tidak tamat.

Seperti yang Hamka katakan di awal. Niat tulus menuntut ilmu membawanya sampai ke Mekah, berhaji di sana sembari menuntut ilmu. Pulang tidak membawa oleh-oleh yang berarti, melainkan ilmu yang ia bawa pulang. Hamka terus berproses sampai ia berhasil menjadi ulama karismatik, politikus, negarawan, diplomat, novelis, sejarawan, filsuf dan guru bagi siapapun yang menbaca pemikiranya. Capaian luar biasa ini karena Hamka mampu meniatkan diri pergi ke lembaga pendidikan dan pergi menemui guru-gurunya dengan motif murni menuntut ilmu.

Kampus harus mampu menjadi lembaga yang miliki komitmen tinggi dalam hal keilmuan. Bukan hanya sekedar mencetak para pekerja di kantoran, namun mampu mencetak  “agent of change” dalam arti sebenarnya. Tanggung jawab ini hanya mampu dipikul oleh kampus dengan integritas tinggi, bukan kampus rombeng-rombeng yang hanya mementingkan segmentasi pasar.

Kartasura, 18 April 2019
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain