Money Politik di Arus Bawah

 








Pilkada kali ini, berbeda dengan sebelumnya, di Boyolali calonnya hanya satu, tidak ada lawan. Pasangan M Said Hidayat-Wahyu Irawan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan rapat pleno internal pada 23 September 2020 lalu. Meski hanya satu, timses M Said Hidayat-Wahyu Irawan tetap melakukan ekspansi di desa saya. Mereka menjanjikan uang 10 juta –saya tidak tahu sumber uangnya dari mana– untuk masing-masing RT. Syaratnya harus menang di masing-masing RT, minimal 80%. Tentu saja ini menggiurkan, mengingat kebutuhan masing-masing RT yang harus melunasi cicilan di bank. Cicilan itu harus dibayar lantaran proyek pembangunan gedung gotong royong, sampai sekarang gedung masih belum lunas. Setidaknya dengan uang 10 juta itu bisa meringankan beban pengurus RT. Politisi memang jeli betul memanfaatkan problem yang dihadapi masyarakat. Jika dipikir-pikir semua serba diuntungkan, si calon mendapat suara 80%, lalu masyarakat bisa membayar cicilan bank, beban pun semakin ringan. Tapi curang tetaplah curang. Meski berdalih untuk pembangunan, sekalipun digunakan untuk membangun gedung gotong royong atau membangun masjid, misal. Suap tetaplah suap, korup tataplah korup. Rangkaian kejadian yang curang ini mewarnai proses demokrasi di arus bawah (desa). Padahal konstitusi (UUD 45) mengakui dan menjamin hak mimilih bagi semua warga negara, teramsuk yang ada di desa. Saya mencoba merangkum pasal yang mengatur, cukup banyak; Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28E Ayat (3), teramusuk Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, setiap warga berhak dan bebas menentukan pilihanya di pemilu nanti, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun, termasuk money politik atau sebut saja politik cuan. 'Hak memilih' seharusnya tidak bisa dijual-belikan. Hak itu ada sejak lahir, ia diberikan oleh Tuhan. Termasuk hak memilih, tidak bisa dipindah tangan. Hak memilih bukan barang, bukan juga dagangan. Tidak boleh juga dirampas oleh siapapun, termasuk oleh politisi, melalui money politik.

Mencoba Memahami

Saya teringat penjelasan Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam (1997), bahwa masyarakat ‘arus bawah’ tidak peduli soal politic of the abstract, dan lebih tertarik pada politic of the concrete. Maksud Kuntowijiyo tentang politik kongkret adalah yang berbau materi. Politisi yang menjanjikan renovasi jalan, membangun masjid atau membangun lapangan bola, lebih diperhatikan dan cenderung dipilih. Sedangkan politik abstrak, yang membicarakan soal-soal ideologi, hak, jaminan keamanan dan jaminan kelangsungan demokrasi yang sehat. Masyarakat arus bawah, atau wong cilik tidak tertarik. Dari sini saya mencoba memahimi–namun tidak mau memaklumi–bahwa memilih politisi yang berani memberi uang itu lebih logis dan mudah bagi masyarakat arus bawah. Sekalipun beresiko bisa saja si politisi akan korup di kemudian hari. Kontowijoyo melanjutkan, bahwa kepercayaan masyarakat arus bawah ini jatuh sebab mereka ‘tertipu’ oleh janji-janji politik pra-1965, mereka kehilangan kepercayaan kepada yang abstrak. Cita-cita demokrasi yang diperjuangkan para aktivis pasca 1998, nampaknya hanya mimpi di siang bolong. Demokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) belum paripurna. Money politik menjadi bukti demokrasi kita belum sehat. 'Pemakluman' masyarakat mengenai money politik juga menjadi bukti demokrasi kita belum dewasa. Dalam sistem one man one vote, sekalipun ada perlawanan dan memilih untuk jujur, suara tetap dihitung sama, seorang profesor suaranya sama dengan orang yang memilih hanya karena disogok oleh politisi. Saya tidak mau menyalahkan masyarakat arus bawah, sebab ketidaktahuan adalah dasar dari tindakan mereka. Justru yang disayangkan adalah politisi beserta partai politik, sebab seharusnya; Pertama, mereka malah melanggengkan tradisi suap nan korup melalui praktik money politik. Padahal sekali lagi, semangat demokrasi kita pasca reformasi adalah anti KKN. Kedua, seharusnya partai politik memberi edukasi terkait etika politik kepada para kadernya. Ketiga, partai politik seharusnya ikut mendidik masyarakat agar domokrasi kita semakin dewasa. Bukan malah sebaliknya, melakukan kecurangan dalam bentuk money politik.

Logika Pedagang

Pertanyaannya kemudian, mau sampai kapan 'politik cuan' atau money politik ini ada? Jawabannya adalah ketika para politisi sudah tidak lagi menggunakan logika ‘pedagang’. Logika pedagang yang saya maksud adalah menganggap pilkada hanya sebatas bisnis semata. Tidak memandang sebagai proses demokrasi, tidak sama sekali. Tujuan berpolitik sejak awal adalah mencari untung sebanyak-banyaknya. Jika logikanya seperti ini; biaya kampanye dianggap sebagai modal awal, nanti ketika menjabat wajib hukumnya balik modal dan untung. Sampai akhirnya, kepentingan yang dibawa bukan lagi kepentingan rakyat. Tapi kepentingan pribadi dan kelompok (pemodal yang membiayai kempanye). Kelompok pemodal, biasanya dari kalangan pembisnis. Ia menanam modal (investasi), asalkan kebijakanya bisa menguntungkan kepentingan bisnisnya. Misal ketika proyek pembangunan dijalankan oleh pemerintah, si pemodal (pembisnis) kebagian proyek. Jadi, untung sama untung, namun masyarakat buntung. Pola di atas, biasa disebut politic capital. Motif awalnya adalah capital (modal) kemudian berpolitik untuk melanggengkan kepentingan capital (bisnis). Maka tidak heran, banyak politisi kita latar belakangnya adalah pembisnis/pengusaha. Jadi, sebenarnya pengertian 'demokrasi kita' adalah dari modal, oleh pemodal, untuk bisnis~

*Tulisan ini pernah dimuat di Kumparan pada 8 Desember 2020

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain