Romansa Toko Kelontong

 


Kalau melirik lagi ingatan saya ketika kecil. Sebuah warung kelontong Lek Groho --langganan kami anak-anak desa membeli makanan ringan-- merupakan memori yang paling melekat. Membeli dengan uang 500 perak saja sudah terasa banyak. 400 perak untuk es seruput, sisanya 100 perak untuk membeli makanan ringan. Setidaknya itu kenangan saya sebagai anak 2000an.

Sampai sekarang tentu saja kelontong masih menjamur. Ibu saya sendiri adalah pemilik toko kelontong. Sedangkan bapak saya adalah seorang pensiunan guru PNS. Entah kenapa saya menemukan kebiasaan yang unik, jika ada suami seorang Guru PNS, istri di rumah biasanya nyambi membuka toko kelontong. Kebiasaan ini saya temukan berkali-kali. Di desa saya, setidaknya ada tiga ibu-ibu yang membuka warung kelontong. Ketiganya merupakan suami seorang guru PNS.

Terlepas dari cocologi sepele itu, sejak dulu kelontong memang menjadi andalan orang-orang di pedesaan. Lihat saja toko kolontong mana yang lebih makmur dan maju, toko kelontong di desa atau di kota? Relatif jawabannya adalah di desa. Sebab di kota, toko kelontong menghadapi persaingan yang lebih ketat, yaitu toko ritel modern. Itupun kalau bisa dibilang saingan, sebab tidak imbang.

Tarik saja contoh perusahaan ritel besar di Indoensia. Sangat menjamur, dimana-mana selalu saja ada dua tempat belanja tersebut. Keberadaan keduanya bisa dibilang ancaman bagi toko kelontong. Bagaimana tidak, bebarapa riset yang saya baca mengenai kepuasaan pelanggan, menunjukan orang-orang memilih belanja di sana. 

Alasan yang paling lazim karena mutu pelayanan dan kebersihannya terjamin. Alhasil, bisa dilihat jika ada toko kelontong bersampingan dengan Alfamart atau Indomart, suasana toko kelontog pasti sepi, setidaknya itu yang saya amati selama ini.

Tentu saja, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan perusahaan raksasa. Sebab di sistem ekonomi kapitalisme saat ini, siapa yang memiliki modal untuk melakukan inovasi sudah hampir bisa dipastikan dia yang menang. Sebaliknya dia yang tidak segera melakuka inovasi dan ekpansi, dua pilihannya; stagnan atau gulung tikar.

Ah, meski seakan-akan toko kolontong bakal kalah. Namun ada yang tidak bisa kita dapat dari toko modern macam Indomart dan Alfamart, yaitu romansanya. Romansa itu tentang rasa yang tidak bisa ditukar dengan harga dan mutu pelayanan. Romansa yang saya maksud bukan cinta termehe-mehe ala FTV. Melainkan cerita interaksi yang hangat antara penjual dan pembeli.

Maksud saya begini, toko kelontong tumbuh dan berkembang  di desa –nanti akan kita bahas sejarahnya- tempat dimana keasrian dan kemesraan sosial terjalin. Desa memliki kultur yang khas. Ramah-tamah adalah contoh konkretnya. Tipikal orang desa itu blak-blakan, suka basa-basi, dan celotehan. 

Saya sengaja memakai bahasa Jawa, entah kata apa yang sepadan untuk menggambarkan sifat orang-orang desa ini. Bagi saya justru ketiga sifat ini yang membuat kultur pedesaan sangat kuat. Saya yang juga tinggal di desa, ketika keluar rumah dan berpapasan dengan warga, wajib hukumnya menyapa. Sekedar senyum atau menganggukan kepalapun tak apa.

Nah, toko kelontong yang berkembang dengan kultur pedesaan seperti ini sungguh unik. Dari interaksi antar warga yang intim, terjalin juga interaksi antara penual (toko kelontong) dan pembeli yang hangat. 

Awalnya si pembeli hanya akan sekedar membeli lalu pulang. Lama-kelamaan interaksi antar mereka terjalin hangat. Hanya membeli susu seharga 8.000 kadang sampai setengah jam. Apalagi kalau penjual dan pembeli sama-sama ibu rumah tangga. Urusan rumah tangga yang kompleks itu akan dibicarakan dengan penuh tawa. Dari urusan dapur, sekolah anak, dan persoalan ekonomi menjadi bahan obrolan. 

Interaksi itu yang setidaknya saya amati di toko kelontong ibu saya. Bagi saya itu ada manfaatnya, selain belanja barang yang diiginkan, secara psikologis, dengan bercerita seperti itu bisa jadi ia telah mengurangi separuh beban masalahnya. Ini kalau kata pepatah “sambil menyelam minum air.” 

Interakasi intim penjual dan pembeli di toko kolontong inilah yang menghasilakan pelanggan setia. Sebab pembeli tidak hanya mencari kepuasan finensial atau kepuasan mutu layanan, mereka juga menginginkan kepuasan sosial dengan berlama-lama berbincang. Tidak ada yang menghalangi perbincangan mereka, kecuali dibatasi oleh etalase toko.

Sitem pelayanan toko kelontong juga mendukung interasi yang kian hangat. Jika di toko ritel modern biasanya pembeli memilih sendiri barang yang ingin ia beli, lalu pergi ke kasir. Sedangkan di toko kelontong, pembeli harus bilang barang apa saja yang ingin dibeli, baru nanti si penjual mengambilkanya. Maka interaksi mereka lebih intens, tak heran semakin lama keduanya akan lebih akrab. 

Berbeda dengan toko ritel modern, interaksi pembeli dan penjual (kasir) hanya sekedar protokol atau standar yang sudah ditentukan perusahaan. Semisal ketika kita masuk dan disembut ramah dengan ucapan “selamat datang, selamat belanja,” ucapan itu tidak terasa hangat, malah terasa hambar.

Ada satu lagi yang tidak ada di toko modern, yaitu ngutang. Orang desa pada dasarnya tipikal yang mudah menaruh kepercayaan. Apalagi keakraban yang kian terjalin kuat. Maka pelanggan tak jarang ngutang

Bukan apa-apa, terkadang kondisi ekonomi mengharuskan mereka untuk ngutang kebutuhan pokok. Mengingat, orang desa kebanyakan memiliki penghasilan harian yang tidak tetap –kita akan membahas lengkapnya nanti.

Romansa semcam itu yang sulit kita dapatkan di toko modern.

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain