Kang Jalal dan Sentimen Sunni-syiah yang Tidak Berkesudahan

 

Malam hari, suasana dingin ala Tawangmangu, Karanganyar. Saya duduk di majelis dauroh Pondok Pesantren Isy Karima, yang ngebahas soal 'Bahaya Laten Syiah'. Kalau tidak salah, dauroh itu berlangsung dua hari, namun saya hanya mengikuti satu sesi di malam hari. Habis itu pulang

Dijelaskan runtut, dari sejarah, ajaran yang menyimpang dari Islam; Al-qurannya beda, cara sholatnya beda, tauhidnya pun beda. Kesimpulan dari majelis itu, yaa kalau syiah itu bukan Islam. Dan termasuk ajaran sesat nan berbahanya, makanya jangan dekat-dekat dengan orang syiah, dudukpun jangan, apalagi berteman.

Untuk kesimpulan bahwa syiah itu bukan Islam, mungkin saya sedikit setuju, namun belum terlalu yakin. Sampai sekarang pun yaa saya tidak lagi melanjutkan pembahasan mengenai Syiah, lebih tepatnya belum, makanya pemahaman saya tentang syiah nanggung.

Namun untuk urusan orang syiah itu musti dijauhi, ini saya rada keberatan. Sebab bahaya atau tidak seseorang, saya mengukurnya yaa lewat tindakan, bukan paham. Semisal pahamnya syiah, namun tidak melakukan tindak kekerasan, bagaimana?

Melalui majelis itu saya sadar bahwa sentimen Sunni-syiah itu memang pelik. Sentimen itu menyentuh aspek historis, kepercayaan, bahkan politik. Menurutku, itu lebih berat katimbang sentimen orang China di Indoensia.

Sentimen itu terasa langsung bagi saya, ketika Haidar Bagir datang ke kampus saya, ia dijadwalkan membedah buku terbarunya kala itu; Islam Tuhan, Islam Manusia.

Di luar terjadi demo, ratusan orang. Sedangkan kampus dijaga ketat aparat kepolisian dan TNI. Penyebab kegaduhan itu hanya satu; kecurigaan bahwa Haidar Bagir adalah seorang Syiah.

Kemudian kemarin, ketika Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal) meninggal, komentar di FB malah ada yang menunjukan rasa syukur. Betul-betul ditulis "alhamdulillah", seakan kang Jalal--yang memang orang Syiah-- meninggalnya adalah berkah.

Saya membaca komentar itu jadi miris. Sampai2 saya merasa harus menulis panjang lebar begini, hanya demi 'biar lega', biar unek-unek saya lampiaskan lewar tulisan ini.

***

Kang Jalal tetap manusia, orang boleh saja berbeda pandangan, bahkan keyakinan, namun ketika meninggal apa harus banget dirayakan? Sepertinya tidak kan.

Kang Jalal tidak melakukan kejahatan berat, ia bukan seperti Nazi dan bukan juga Fasis yang melakukan dosa besar perang.

Kang Jalal adalah penulis buku Psikologi Komunikasi yang saya kagumi. Sabab selain Deddy Mulyana, buku ajar ilmu komunikasi yang paling nyaman yaa punya nya kang Jalal.

Selain itu kang Jalal ya seorang cendikiawan, yang tentu punya andil dalam dunia keilmuan. Lah apa tidak keblabasan merayakan kematian kang jalal dengan mengucapkan "Alhamdulillah", padahal punya rekam jejak yang baik2 saja. Sekalipun syiah, sebagai individu apakah ia merugikan banyak orang? Saya rasa tidak.

Ini betul-betul murni sentimen Sunni-syiah yang tidak berkesudahan.

Saya sebenarnya cukup lega ada orang yang mau terus terang mengaku sebagai syiah, dan bisa hidup 'aman' di Indonesia.

Memang pemahaman agama saya cetek dan pemahaman saya tentang syiah juga jelek. Namun saya betul-betul gembira, jika suatu saat Sunni-syiah berdampingan hidup bersama atas nama negara-bangsa di Republik ini. Tentunya, dengan menyudahi sentimen Sunni-syiah yang terlalu lama ini.
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain