Eka Kurniawan: Sumur

Eka Kurniawan melalui buku Sumur bercerita banyak hal, dari soal kehidupan sampai soal mistis


Air sumber kehidupan, sekaligus menjadi tanda kesejahteraan. Setiap kehidupan yang dilewati aliran air, hampir pasti tanahnya tumbuh subur. Apalagi ada mata air. Yang memenuhi rawa-rawa sampai ke persawahan. Para petani mudah mendapat air, juga mudah mendapat panen.

Tidak heran filosof awal Yunani, Thales, menyebut semua dan segala sesuatu itu berkaitan dengan 'air', dari yang pangkal sampai yang pokok. Semua berawal dari air, dan berakhir di air pula. Begitu juga kehidupan dan kematian. 

Thales hidup di tanah perantauan. Ia sering berlayar ke mesir. Ia melihat di perjalanan air membawa benih dari tepi pantai ke pantai lain, lalu tumbuh di sana pohon baru, sebagai kehidupan baru. Lalu ia juga melihat ombak laut, menggulung kapal, membunuh makhluk hidup. Ia punya konklusi, air adalah permulaan dan akhir. 

Terlebih di Mesir, ia melihat warga cukup bergantung dengan sungai Nil. Di sana banyak orang menggantungkan hidup lewat sungai itu. Di sisi lain, ada yang mati menjadi tumbal. Semua demi air. Barangkali ia juga akan terbayang kisah Fir'aun yang mati tergulung air laut. Sekaligus di saat yang bersamaan, Nabi Musa AS selamat karena berhasil membelah air laut. Semua berhubungan dengan air, baik itu berkaitan dengan kematian, kehidupan, putus asa, dan pengharapan. 

Ternyata, bagi Eka Kurniawan pun demikian. Air tidak hanya menghidupi, juga jadi pemicu pembunuhan. Ketika mata air sudah tidak lagi mengalir, cek cok dan saling bacok tidak terhindar, begitu kiranya duel dua lelaki di cerita Sumur. 

Sungai bagi Eka juga ditampakkan kengeriannya. Sungai merenggut nyawa Ayah dari si bocah yang ingin bertemu kekasihnya di sebarang sungai nun jauh. Paradoks memang. Padahal selama ini di desa-desa nan permai, sungai itu hidup dan menghidupi, seperti sungai Nil di mesir misal. Tapi Eka membuat sungai malah merenggut nyawa, mematikan pengharapan, dan memutus kehidupan. 

Setelah sungai, Eka beralih ke sumber kehidupan lain. Beralih wadah dari sungai ke sumur. Di sumur, kehidupan bersambung di setiap timba air yang dibawa saban hari. Airnya cukup untuk minum dan menghidupi ternak. 

Namun sepertinya Eka lupa, kalau sumur juga punya kekuatan magis. Di kampungku, dahulu, sumur adalah sumber dari segala yang gaib. Sumur tidak pernah sepi sesajen, kembang, dan menyan. Aku membayangkan waktu kecil, dan menduga barangkali sumur itu semacam portal ke alam lain. Dan menghubungkan kita dengan dedemit sebangsa Nyi Loro Kidul.

Tapi kekuatan magis itu tidak melulu soal Jin dan kehidupan alam gaib. Nyatanya, para pinisepuh (orang tua/sepuh) menggiring sepasang kekasih yang sedang menikah. Lalu menggunakan kain panjang pengantin itu diajak tawaf mengelilingi sumur tua yang hanya dipagri kayu di kampung kami itu. 

Barangkali, cinta harus diikat dengan 'kepercayaan' yang magis. Dan kepercayaan itu ada di sumur. Sumur mengikat cinta yang dalam sampai ke dasar sumur. Air sumur yang menghidupi, juga menjadi lambang cinta yang mengasihi. Dulu sumur tua itu dipercaya airnya akan selalu jernih dan tidak akan habis. Pasangan pengantin yang dibawa ke sumur itu juga berpikiran bahwa cintanya bakal seperti sumur itu; selalu jernih dan tidak akan habis. 

Eka Kurniawan menggambarkan sumur dengan cara yang sedikit berbeda. Entah, Eka malah menggambarkan cinta yang mengkhianati ikatan pernikahan. Agaknya berbeda dari sumur tua di kampungku. Bagi sesepuh, cinta yang dilihat dengan pernikahan sudah final. Ia tidak boleh dinodai, itu ibarat mengencingi mata air, tidak hanya hati yang luka, kehidupan pun bakal berantakan. 

Namun Eka cukup bijak menempatkan sumur sebagi sumber kehidupan dan kematian. Sebab ia menyelesaikan ceritanya dengan kejadian tragis; kematian dua insan yang dikhianati di dalam sumur. Ironisnya, mereka dikhianati di tempat yang sama mereka mati, di sumur. 

Thales seharusnya merevisi konklusinya mengenai awal mula dan akhir kehidupan. Bukan air yang menghimpun kehidupan juga kematian. Melainkan cinta yang jadi sebab kehidupan berawal sekaligus berakhir. Paradoks yang indah bukan? bahwa semua berawal dari cinta, dan berakhir di cinta pula. 

Kalau boleh aku saran, Thales harus mepertimbangkan cerita Sumur Eka Kurniawan, untuk perenungan dan memikirkan (kembali) awal mula alam semesta ini. Demikian. 
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain