Podcast Tanya by Dhima Wahyu Sejati dengerin!

Memotret Isu Keberlanjutan dan Krisis Lingkungan

Cara memotret isu lingkungan

Carleton Watkins memotret Yosemite pada 1860-an. Fotonya sangat berdampak dalam upaya konservasi yang menyebabkan Yosemite menjadi taman nasional pertama di Amerika Serikat.

Firman Firdaus dari Katadata Photo Society yakin fotografi memiliki kekuatan yang melampaui batas bahasa; ia mampu menghentikan “waktu”—berbeda dengan video yang terus berjalan—sehingga warga dapat meresapi sebuah momen lebih dalam dan lama.

Itu disampaikan Mas Daus, fotografi senior, dalam forum Lokakarya Penulisan Artikel Jurnalis Lingkungan di Kudus, Kamis (20/11/2025).

Sebuah foto mampu berbicara lebih dari seribu kata (a picture paints a thousand words). Ia memanusiakan isu-isu teknis, membuat kita tidak perlu memahami istilah ilmiah untuk menyadari bahwa ada masalah di depan mata.

Jejak Awal

Kesadaran manusia terhadap alam sebenarnya sudah terekam sejak masa pra-1800. Peradaban kuno mengenal konsep perlindungan alam melalui hutan suci, praktik "Sasi" (seperti di Kepulauan Sangihe-Talaud), hingga legenda lokal. 

Bahkan filsuf Plato dalam Critias pernah mencatat deforestasi di Yunani, menggambarkan bagaimana tanah subur terkikis hingga menyisakan lanskap tandus. Ini referensi klasik tertua tentang degradasi lingkungan akibat ulah manusia.

Namun, kekuatan fotografi untuk mengubah kebijakan baru benar-benar teruji pada era 1800-an. Salah satu tonggak sejarahnya adalah karya Carleton Watkins pada tahun 1860-an yang memotret lembah Yosemite. 

Pada masa itu, fotografi masih sangat jarang dan belum ada kesadaran konservasi. Ketika foto-foto Watkins yang memperlihatkan keagungan Yosemite dibawa ke Kongres Amerika Serikat, para pembuat kebijakan terperangah. 

Foto-foto tersebut menjadi bukti visual yang meyakinkan Kongres untuk melindungi kawasan tersebut, yang akhirnya memicu penetapan Yellowstone sebagai taman nasional pertama pada tahun 1872. Ini adalah bukti awal bahwa selembar foto bisa mengubah undang-undang.

Menyingkap Sisi Gelap Industrialisasi (1900-1950)

Memasuki abad ke-20, fokus fotografi bergeser dari keindahan alam ke dampak buruk industrialisasi. Revolusi industri membawa polusi masif. Di sinilah peran fotografer seperti Lewis Hine menjadi krusial. Antara tahun 1908-1924, Hine tidak hanya memotret mesin, tetapi mendokumentasikan kondisi buruh dan pekerja anak yang menjadi korban ambisi industri. 

Sadie Pfeifer, a Cotton Mill Spinner, Lancaster Cotton Mills, South Carolina (1908) by Lewis Hine










Foto-foto Hine menyadarkan publik bahwa kerusakan lingkungan dan eksploitasi manusia seringkali berjalan beriringan. Pada periode ini pula, konsep ekosistem mulai diperkenalkan (1935) dan lembaga konservasi dunia IUCN dibentuk (1948).

Kesadaran Global (1950-1970)

Pertengahan abad ke-20 menandai era kesadaran global, didorong oleh kemajuan teknologi percetakan dan televisi yang membuat informasi menyebar masif. Ada dua momen visual dan literasi di era ini:

Pertama, Silent Spring (Rachel Carson): Buku ini dianggap sebagai "kitab suci" bagi jurnalis lingkungan. Carson menyoroti dampak pestisida (DDT) yang tidak hanya membunuh hama tetapi juga merusak ekosistem, membunuh satwa, dan meracuni air tanah dalam jangka panjang. Meski mendapat perlawanan keras dari industri saat itu, buku ini justru menjadi viral dan membuka mata dunia.

Earthrise (1968)

Kedua, Earthrise (1968): Foto Bumi yang diambil dari balik Bulan oleh astronot William Anders (misi Apollo 8) mengubah cara pandang manusia selamanya. Untuk pertama kalinya, manusia melihat rumah mereka sebagai bola biru yang kecil, rapuh, dan sendirian di tengah kegelapan semesta. Foto ini dianggap sebagai foto lingkungan paling berpengaruh dalam sejarah dan menjadi pemicu lahirnya peringatan Hari Bumi.

Tak lama setelah itu, pada tahun 1969, foto tumpahan minyak di Santa Barbara, California, menyentak publik. Visualisasi laut yang hitam legam akibat minyak membuat orang menyadari betapa besarnya risiko di balik eksplorasi energi fosil bagi biota laut.

Era Kontemporer

Memasuki abad ke-21, teknologi fotografi semakin canggih dengan kehadiran drone yang mampu memetakan deforestasi dengan lebih luas dan detail dibandingkan helikopter. Fotografer legendaris seperti Sebastiao Salgado (dengan proyek Genesis) dan Yann Arthus-Bertrand (dengan Earth from Above) terus menyuarakan kerusakan sekaligus keindahan bumi.

Namun, fotografi lingkungan hari ini tidak boleh hanya menjual kesedihan (poverty porn) atau viktimisasi. Pendekatan visual harus menumbuhkan empati dan harapan, seperti:

Ketangguhan (Resilience): Foto karya Aji Styawan (National Geographic) yang memperlihatkan anak-anak di Demak berangkat sekolah menggunakan rakit di tengah banjir rob. Foto ini tidak hanya menunjukkan penderitaan, tetapi semangat dan ketangguhan manusia di tengah krisis iklim.

Foto karya Aji Styawan (National Geographic)

Dampak Langsung: Foto karya pewarta foto Beawiharta yang memotret anak sekolah meniti jembatan rusak. Viralitas foto ini memaksa pemerintah daerah setempat segera membangun jembatan yang layak.


Koneksi Manusia-Alam: Foto komunitas pencari kerang di hutan mangrove Ekuador, yang menegaskan bahwa pelestarian alam bukan hanya untuk pohon, tetapi untuk kelangsungan ekonomi manusia yang bergantung padanya.


Dampak Nyata

Salah satu bukti paling telak tentang kekuatan fotografi modern adalah kisah Mike Fay pada tahun 1999. Ia melakukan ekspedisi "MegaTransect" berjalan kaki sejauh 3.200 km melintasi hutan Kongo dan Gabon, didampingi fotografer Michael Nichols

Dokumentasi visual dari perjalanan ini digunakan untuk melobi pemerintah Gabon. Hasilnya luar biasa: Pemerintah Gabon menetapkan 13 Taman Nasional baru untuk melindungi lanskap yang terekam dalam foto-foto tersebut.

Prinsip Fotografer Lingkungan

Bagi seorang fotografer atau jurnalis foto, memotret isu lingkungan harus memegang teguh prinsip etika:

  1. Akurat dan Jujur: Tidak memanipulasi fakta visual.

  2. Menghormati Subjek: Menjaga privasi dan martabat komunitas terdampak.

  3. Fokus pada Solusi: Audiens mulai lelah dengan berita masalah; visual yang menawarkan harapan atau solusi kini lebih dibutuhkan.

  4. Transparan: Terbuka mengenai metode pengambilan gambar.

Dengan memegang prinsip ini, fotografi tidak hanya menjadi dokumentasi sejarah, tetapi alat advokasi yang mampu mengubah kebijakan negara dan menyelamatkan ekosistem.



Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain