Antara Esensi dan Eksistensi?



Baru-baru ini terhembus kabar baik, IAIN Surakarta yang didamba-dambakan menjadi UIN sejak empat tahun lalu kini diprediksi akan menjadi UIN tahun ini. Pasalnya kampus semakin serius dan sesumbar mengatakan peralihan akan segera terlakasana.

Hari Selasa (27/01/2020) sidang senat menghasilkan kesepakatan bahwa nama yang akan digunakan adalah UIN Raden Mas Said. Hal ini diberitakan di situs resmi IAIN Surkarta. Semua mahasiswa tentu gembira dengan isi berita tersebut yang menyebut bahwa peralihan akan terjadi di bulan Maret (2020).

Namun saya mewanti-wanti, apakah peralihan ini akan benar-benar terjadi di tahun ini (2020)? atau malah seperti empat tahun lalu berujung tanpa kepastian, dan masih bersifat wacana. Tentu saja saya tidak tahu, saya bukan pejabat di rektorat yang terlibat langsung dalam proses peralihan ini.

Asumsikan bahwa kemungkinan itu benar, bahwa bulan Maret ini IAIN Surakrta benar-benar menjadi UIN. Lalu apakah itu sebuah pencapaian? dan apakah tolak ukur keberhasilan suatu kampus Islam Negeri diukur dari seberapa cepat mereka berilih nama. Ini seperti mahasiswa yang berhasil adalah mereka yang lulus cepat, semakin cepat maka semakin hebat. Padahal belum tentu. Tidak sesederhana itu.

Baik jika sekarang IAIN menjadi UIN, apakah menjamin mutu pendidikan semakin naik. Apakah berdampak pada kualitas lulusan sarjana yang samakin meningkat ? biarkan pengalaman masing-masing mahasiwa IAIN yang menjawab ini.

Peralihan dari IAN ke UIN akan terasa hambar jika tidak dimbangi dengan peningkatan kualitas kampus. Kampus pada akhirnya tidak hanya ditujukan untuk meluluskan sarjana, namun bagaimana yang deberi gelar sarjana itu punya nilai. Masalahnya banyak dari sivitas akademi yang tidak paham masalah ini, sehingga mengabaikan esensi belajar di kampus.

Kampus semacam tempat suci, ia seperti rumah arqam yang digunakan Rasulullah mengajarkan wahyu Allah kepada para sahabat. Atau seperti kontrakan Cokroaminoto yang membesarkan pemikir lintas ideologi seperti Soekarno, Tan Malaka, Kartasuwiryo dll. Atau menghasilkan orang-orang seperti, Mark Zuckerberg, Stave Job, dan Bob Sadino, meski beberapa tidak kuliah, sebut saja mereka kuliah di kampus kehidupan.

Orang-orang di atas menangkap esensi kampus, yaitu ilmu, bukan hanya sekedar nilai kuliah. Jika saja Mark Zuckerberg mementingkan nilai kuliah saja ketimbang ilmu –mesiki tidak lulus, mungkin sekarang Facebook tidak ada, karena ia barangkali lebih memilih menjadi pagawai negeri yang sudah jelas jalanya, ketimbang membuat Facebook dengan segala keruwetan dan kerumitan. Yang paling penting, ia tidak akan melihat masa depan,  bahwa kelak di masa depan orang-orang akan mendapati masa rovolusi digital yang berpengaruh pada pergaulan antar orang. Hanya dengan ilmu pengetahuan ia bisa meramal masa depan. Apa yang dibanggakan dari sebuah kampus dengan nama brand yang besar, namun melupkan esensinya.

Catatan tertanggal, 17/02/2020

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain