![]() |
putri jawa (tengah) dengan dua pelayannya |
Satu malam Bandung Mawardi berkisah via WA Grub,
Jadi teringat pas aku nongkrong neng angkringan. Ada bapak-bapak bercerita soal mekanisme hajatan nikah di masa lalu. Dulu katanya cuma pakai tikar. Otomatis masuk sendal harus dilepas. Ada sinoman karangtaruna yang bertugas mengawasi sendal. Biar tidak ketukar pakai nomor.
Apes, masalahnya kalau bapak-bapak pada kesutan sampe subuh, yang bertugas jaga sendal yaa harus melek sampe subuh. Aku dapat kesaksian kalau bapak-bapak di masa lalu galak, pemuda babar blas tidak berani. Apalagi sampai berani meninggalkan tugas jaga sendal. Nek ada yang hilang bisa gawat.
Kebiasan kesutan iku ternyata yaa kebiasanya priyayi, ya? Aku ketahui lewat novel Para Priyayi garapan Umar Kayam. Kesutan jadi semacam 'diplomasi' biar diterima di kalangan kelas elit jawa itu. Tapi di kampungku dulu--menurut cerita bapak-bapak tadi-- yang kesutan itu malah abangan. Kadang sambil ngombe ciu.
Kerepotan pakai tikar ternyata bukan cuma soal perkara sendal. Bapak tadi juga mengeluh soal cara menghidangkan jamuan. Para pemuda yang sinoman kudu membawa nampan sambil jongkok. Gambaran itu juga aku temui di Buku Jawa Tempo Doeloe terbitan Kobam. Mirip yang di foto.
![]() |
seorang pelayan, harus dodok saat mengantar sajian |
Standar kesopanan di masa lalu teramat tinggi, bagiku. Nek tidak sesuai standar kesopanan bisa kena marah poro sesepuh, begitu keluh bapak tadi. Hierarki tua muda mesti terasa betul, jika dibanding hari-hari ini. Buktinya, Aku ngobrol sama bapak-bapak itu pakai bahasa ngoko. Dan dia yaa santai, tidak ada tanda-tanda kalau dia tersinggun atau kurang berkenan.
Menarik sih, soal klasa, sendal, dan kesopanan. Ini yaa mestinya wes nuansa etnografi to ki, hohohoho~~