Podcast Tanya by Dhima Wahyu Sejati dengerin!

Bias Keberimbangan


Acara Talk Show Apa Kabar Indonesia Malam yang disiarkan TV One mengenai mafia tanah berujung protes dari narasumber Nirina Zubir, yang menjadi korban penggelapan tanah milik keluarganya. 

Ia merasa dirugikan karena pihak TV One menghadirkan narasumber yang oleh Nirina dianggap entah datangnya dari mana dan tidak tahu persoalan. 

TV One memberikan klarifikasi cukup panjang melalui Instagram yang intinya tidak bermaksud “menjebak”, melainkan demi menghadirkan keberimbangan, “Semata mata, kehadiran pengacara tersangka tersebut untuk memenuhi kaidah pemberitaan yang seimbang dan menghormati asas praduga tak bersalah,” begitu tulis TV One. 

Ini kemudian menimbulkan pertanyaan di benak saya, apakah keberimbangan itu sangat perlu. 

Kita harus sepakat terlebih dahulu, untuk apa jurnalis itu menulis (berita)? Prinsip utama jurnalis itu menulis untuk menghadirkan informasi berupa “fakta”, beserta data, yang kemudian kita anggap sebagai sebuah “kebenaran”. Benar menurut siapa? Tentu saja benar menurut kaidah jurnalistik. 

Tujuan awal jurnalis mencari informasi, itu untuk tujuan “kebenaran”. Ini tentu kita bisa sepakati. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Elemen-Elemen Jurnalisme (2001) menempatkan kebenaran pada prinsip pertama, artinya prinsip ini sangat penting, namun juga sekaligus membingungkan. 

Bill dan Tom menulis, “Pada ihwal ini ada kebulatan suara mutlak dan juga kebingungan yang sempurna, ‘Semua orang setuju wartawan harus menyampaikan kebenaran. Namun orang berselisih paham tentang apa yang dimaksudkan dengan “kebenaran”’.” 

Andreas Harsono dalam Agama Saya adalah Jurnalisme (2010) menyebut yang dimaksud kebenaran bukan kebenaran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. 

Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan seterusnya. Inilah yang disuguhkan oleh jurnalis, kebenaran fungsional. 

Lalu ada kesan kemudian, untuk mencari “kebenaran fungsional” itu hanya bisa dilakukan melalui metode “keberimbangan”, atau istilah lainnya cover both side. 


Kita perlu ketahui bahwa cover both side (selanjutnya akan ditulis keberimbangan) adalah metode, bukan tujuan utama. Namun, secara tidak sadar terkadang tulisan, termasuk produk jurnalistik lain yang berusaha menghadirkan keberimbangan itu malah mengaburkan kebenaran, dan membuat bingung. 


Misal, berangkat dari kasus lain, sekitar setahun lalu ketika pandemi Covid-19 menjadi isu utama publik, muncul dua narasi yang saling bertentangan; narasi dari para ahli cum akademisi dan narasi konspirasi Covid-19 yang kebanyakan dibawa oleh influencer seperti Jerinx, drumer band SID. 

Kita semua tahu yang benar yang mana. Tentu saja penjelasan para ahli yang punya akses terhadap informasi pertama itulah yang mendekati kebenaran, dan sudah sewajarnya menjadi narasumber utama. 

Secara sadar media tetap mengundang penganut teori konspirasi. Tentu saja, akan beralasan bahwa ini demi prinsip “keberimbangan”. Namun justru ini berisiko mengaburkan “kebenaran” itu sendiri. 

Lalu ketika kebenaran itu tampak samar, adegan selanjutnya kita sudah tahu, orang-orang yang menggunakan frame konspirasi untuk memahami Covid-19 merasa punya panggung, sekaligus merasa “dibenarkan”, bahkan oleh media yang selama ini dianggap kredibel. 

Meminjam istilah yang dipakai Remotivi, satu lembaga independen (swasta) pengawas media, keadaan ini disebut bothsideism, yang juga berarti keseimbangan palsu (false balance), ini bisa terjadi seperti yang sudah diilustrasikan di atas mengenai konspirasi Covid-19. 

Memang media berniat untuk menghadirkan dua pandangan yang berbeda (terkadang bertentangan) agar terlihat tidak berpihak, objektif, atau netral. 

Namun sekali lagi, jika itu berujung pada keberimbangan palsu, yang terjadi malah mengaburkan kebenaran. Ini malah menjauh dari tujuan utama jurnalistik yang sudah disebut di awal.

Barangkali alasan utama kenapa keberimbangan itu “harus” ada adalah alasan media untuk menghindari bias, alias harus selalu objektif. Ini masuk akal. Kita punya pengalaman kurang enak ketika media turut terpolarisasi kala pemilu presiden 2014 lalu. 

Ketika media terkesan punya keberpihakan kepada calon presiden di masing-masing kubu, hanya karena si pemilik media juga ketua umum partai punya kepentingan politik. Maka wajar publik menuntut media harus berimbang dan objektif. Namun bisakah, media benar-benar meninggalkan bias pemberitaan menuju objektivitas sepenuhnya. 

Ilustrasinya seperti ini, misal saya mengambil foto pemandangan persawahan dan gunung tepat di belakang rumah. Saya kemudian pilih waktunya sore hari karena ada senja. Saya atur frame, iso, sampai fokus ke objek mana. 

Apa foto yang saya ambil kemudian tidak bias. Artinya ketika orang melihat hasil foto saya, kemudian berkeinginan mengunjungi tempat itu karena dirasa indah. Apa keadaannya sama persis seperti hasil foto yang saya ambil. Di sinilah terjadi bias. 

Mitos Objektivitas 

Sayangnya media “tidak pernah” dan “tidak akan bisa” sepenuhnya menjadi objektif. Mari kita gunakan ilustrasi yang sama seperti pengambilan foto di atas. Ketika jurnalis membuat berita, ia mencari informasi, menggali data, dan fakta, lalu menulisnya. 

Secara sadar tentu ia akan memilih angel (sudut pandang) tulisan, memilih narasumber mana yang diwawancara, atau memilih fakta dan data mana yang perlu ditulis, mana yang tidak. 

Secara sadar pula, atau mungkin tidak sadar, berita itu dibatasi oleh frame yang diciptakan oleh jurnalis itu sendiri. Bukan berarti, berita menjadi kabur dan kualitasnya buruk, hanya saja di sinilah kemungkinan bias itu ada. 

Biar bagaimanapun, entah itu foto, video, berita, sampai esai yang saya tulis ini, buatan manusia, tidak mungkin lepas dari bias, sulit sekali untuk bisa sepenuhnya objektif. Objektivitas hanya mitos. 

Tentu bukan berarti keberimbangan itu salah sama sekali. Sekali lagi, itu merupakan metode, keperluannya disesuaikan kebutuhan. Begitu juga subjektivitas media serta perangkat di dalamnya (baca: jurnalis), bukan berarti buruk. 

Jika subjektivitas diartikan sebagai keberpihakan. Justru kerja jurnalis harus memihak. Iya, memihak kepada “kebenaran”, bukan kepada pemilik media (pemodal), algoritma, apalagi kepentingan kapital, demi keuntungan semata. 

Sebab kerja jurnalis bukan kerja marketing, atau copywriting. Barangkali pandangan ini terkesan terlalu naif, apalagi fakta bahwa jurnalistik ada sisi bisnisnya. Namun ada saja yang melakukan, media seperti watchdoc documentary dan projectmultatuli.org adalah dua media yang saya maksud punya keberpihakan yang jelas. 

Jika dilihat dari hasil salah satu liputannya, kadang tidak menggunakan metode keberimbangan “klasik”, beberapa liputan menghadirkan satu pihak narasumber. Misal liputan tentang kekerasan seksual bertajuk Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. 

Polisi Menghentikan Penyelidikan oleh projectmultatuli.org yang sebelumnya sempat viral. Malah penulis menggunakan pendekatan human interest, melihat sisi manusia dari orang yang diliput. 

Hasilnya, tentu saja sangat subjektif, bahkan sangat personal. Melihat perspektif dari satu sisi, yaitu dari sisi korban, namun itu menjadikan hasil reportase punya nilai keberpihakan yang jelas. Saya lebih senang menggunakan kata independen ketimbang objektif untuk menggambarkan bagaimana media seharusnya bekerja. 

Sebab independen juga berarti tidak ada yang mengintervensi, tidak dikontrol oleh pihak mana pun. Media, juga jurnalis hanya perlu bersikap independen terhadap isu, terhadap fakta, dan data yang ia dapat di lapangan. 

Lebih jauh lagi, kerja jurnalis punya kepentingan buat menghadirkan “kebenaran”, bukan mengaburkannya. 

Mengutip pertanyaan Rusdi Mathari kepada Goenawan Mohamad, “apakah jurnalistik itu dan jawabannya: jurnalis adalah dunia yang mestinya tidak boleh ada kebohongan, prasangka, dan iktikad buruk,” dalam buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018).



Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain