Mahasiswa Kaya, Mental Miskin

bidikmisi, mahasiswa miskin, kaya


Saya pernah mendapat cerita dari seorang wali mahasiswa, yang mengaku dengan sengaja meminta surat keterangan miskin,  padahal sebenarnya mampu, ia juga menyadari bahwa beasiswa Bidikmisi yang ia ajukan untuk anaknya, khusus diberikan buat orang miskin. Lalu ketika disurvei petugas, ia menunjukan rumah kayu berukuran kecil, padahal itu bukan rumahnya, melainkan milik orangtuanya.

Persoalan seperti ini sebenarnya klasik, kompas.com (21/02/2022) misalnya, menulis laporan kalau di Aceh, ada lebih dari 400 mahasiswa kaya yang membuat surat keterangan tidak mampu (miskin) lalu mendapat beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP Kuliah) dari pemerintah. Modus yang sama pernah terjadi di Malang tahun 2011, menurut laporan tempo.co sebanyak 39 calon penerima Bidikmisi memalsukan data diri dengan membuat surat keterang miskin di kelurahan, padahal status ekonominya mampu.

Saya yakin, di sekitar kita, angkanya tidak jauh beda.

Program beasiswa Bidikmisi punya visi yang mulia, memberi kesempatan kepada calon mahasiswa miskin, yang tidak mampu membayar uang kuliah, padahal dirinya punya potensi akademik yang bagus.

Bidikmisi menjadi solusi sementara untuk masalah pendidikan kita yang kapitalistik dan terkadang mementingkan aspek bisnis, ketimbang visi pendidikan itu sendiri. Akibatnya, orang pintar tapi miskin tidak bisa bahkan tidak boleh lanjut kuliah, sebab ketika ditagih SPP per SKS atau UKT (Uang Kuliah Tunggal) setiap semester mereka tidak bisa bayar. 

Kesenjangan

Problem dasarnya memang persoalan kelas sosial. Sulit sekali membicarakan kesenjangan jika tidak membawa teori kelas ala marxist. Skemanya selalu seperti ini; kelas sosial bawah (proletar) karena tidak punya sumber daya—dalam konteks ini berupa uang—akhirnya mereka tidak punya akses ke pendidikan yang berkualitas. 

Padahal sudah menjadi hak dasar, sebagai warga negara harus diberi kesempatan yang sama, tidak peduli dari kalangan mana, mau ia kaya, miskin, bahkan orang bodoh sekalipun boleh bersekolah, boleh kuliah. Sebab filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara pun menghendaki,  “pendidikan dan pengajaran rakyat sebagai usaha untuk mempertinggi dan menyempurnakan hidup dan penghidupan rakyat,” tulis Ki Hajar Dewantara dengan ejaan lama dalam Azas-azas dan Dasar-dasar Taman Siswa (1961) hal 28.

Sudah sewajarnya pendidikan juga kampus, menjadi wadah tempat berproses agar orang bisa menjadi setara dan terangkat martabatnya sebagai manusia. Namun sayang sekali, di sekolah yang kapitalistik, orang miskin, orang proletar, kaum kromo, kaum marhaen, atau apapun istilahnya selama tidak bisa bayar dilarang masuk. 

Berbeda dengan kelas atas (borjuis) atau priyayi, mereka punya privilege berupa sumber daya (uang), dan akses pendidikan yang bermutu. Jika di masa pemerintahan Hindia Belanda, akses pendidikan itu hanya diberikan kepada keturunan ningrat (priyayi Jawa), konteks sekarang asal mampu dan bisa bayar, why not? Bahkan boleh masuk lewat ‘pintu belakang’. 

Orang bisa saja rela gila-gilaan membeli jatah kursi kuliah melalui ‘pintu belakang’ dengan uang yang terlampau banyak, sebab status (gelar) dari kampus itu ampuh secara ekonomi dan sosial.

Pertama, di tahap ekonomi, minimal dengan ijazah S1 orang bisa lolos tahap administrasi, lalu dengan status almamater kampus ‘terbaik’, bisa menjadi daya tawar, meski akhirnya hari-hari ini yang industri lihat adalah skill, namun tetap saja tanpa gelar dari kampus, kita tidak bisa memiliki pekerjaan idaman.

Kedua, di sosial masyarakat; gelar, status mahasiswa, dan kuliah di kampus favorit masih menjadi kehormatan yang maha terhormat. Makanya, orang boleh ngiler buat kuliah demi meraih kehormatan itu, jangan heran.

Poin saya sampai sini, bahwa pendidikan kita (sekolah, kampus dll), sekali lagi, punya kecenderungan yang sangat kapitalistik, dijalankan dengan mekanisme bisnis. Untuk itulah ada kesenjangan antara orang miskin yang tidak punya akses sekolah, dengan orang kaya yang punya segala akses, kalau mau, kuliah di luar negeri pun bisa. 

Program Bidikmisi adalah ikhtiar baik, sedari awal dirancang untuk memecah kesenjangan itu. Negara  memberi kesempatan kuliah untuk yang tidak mampu. Sebab seperti lanjutan kutipan tulisan Ki Hajar Dewantara di awal, problem kesenjangan ini “adalah kewajiban negara, yang oleh pemerintah harus dilakukan (tindakan) sebaik-baiknya”.

Lalu, apa yang ada di benak orang yang memalsukan status ekonominya dan mengaku sebagai orang miskin? Saya yakin mereka cuma memikirkan dirinya sendiri. Tidak sama sekali memikirkan orang lain, apalagi memikirkan masalah struktural seperti kesenjangan pendidikan, juga kesempatan bersekolah yang tidak rata.

Padahal dengan ia mengaku sebagai orang miskin, ia telah mengambil hak yang seharusnya diperuntukan untuk orang lain. Bayangkan kuota beasiswa Bidikmisi malah dipenuhi orang-orang kaya. Lalu mempersempit kesempatan orang miskin buat sekolah. Yang ada kesenjangan malah semakin lebar, singkatnya yang miskin makin bodoh, yang kaya makin pintar.

Ironisnya, mereka ‘bodoh’ gara-gara hak nya diambil oleh orang yang lebih kaya, bukan karena ia malas sekolah, melainkan tidak punya kesempatan belajar di sekolah. Ini wujud penindasan, eksploitasi, dan manipulasi oleh para mahasiswa kaya yang ngaku (dan bermental) miskin.

Korupsi Sejak Dini

Ini hanyalah wajah permukaan, bahkan permulaan bagi sekelompok mahasiswa yang melakukan korupsi sedini mungkin. Meski masih muda, mereka berbakat mengakali administrasi dan mengambil peluang mencari untung dari uang pajak yang dibayar rakyat, yang seharusnya dialokasikan ke masyarakat kelas bawah. Tidak heran jika kelak mahasiswa itu bertumbuh menjadi pegawai kantor, polisi, politikus, sampai pejabat publik, akan melakukan hal yang sama.

Di kantor perizinan misal, saya pernah diminta membayar biaya "administrasi seikhlasnya" untuk imbalan karena perizinannya lancar. Atau di kantor polisi, sudah menjadi rahasia umum ketika kita membuat SIM harus membayar "administrasi" yang tidak wajar. Belum lagi jalur “orang dalam” yang biasanya bisa langsung dapat SIM tanpa tes. 

Mahasiswa-mahasiswa itu jika kelak menjadi politikus, akan melanjutkan tradisi bagi-bagi duit (money politics) di kala coblosan. Jangankan memberi ide dan gagasan buat masalah publik yang kadang kala pelik, dia malah menambah masalah. Lalu kelak ketika sudah menjadi pejabat publik cerita seperti korupsi dana sosial itu terulang lagi, mungkin malah lebih canggih dan senyap.

Ayo lekas taubat, mumpung masih mahasiswa, belajar ya belajar, tapi mbok ya jangan belajar korupsi sejak dini, apalagi lewat manipulasi surat keterangan miskin, sudah kaya dapat beasiswa plus duit jajan dari pemerintah, yang dicari apa sih, kok maruk? Mending belajar tiktokan biar FYP, atau belajar bahasa Jaksel biar fasih ngomong soal mental healthiness di tongkrongan sambil minum boba tea. Ya, kan?

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain