Buku Lagi, Lagi-lagi Buku


Hampir setiap hari ada yang ngiklan buku baru, terbitan baru, dari penerbit baru, kadang juga dari debutan penulis baru. Buka Facebook, isinya para bakul buku ngiklan buku-buku lawas dan baru (tapi terbitan lama), semuanya bagus, semunya pengin kebeli, namun nahas uang ternyata tidak seberapa. Ini nasib, karena temen Facebook saya bakul buku semua.

Saya juga pernah punya ambisi, menghabiskan buku seminggu sekali, tapi ambisi itu membuat frustasi, alih-alih merampungkan, malah saya tidak menikmati proses membaca buku.

Per minggu ini buku datang ke rumah sudah ada sekitar 5 atau 6 buku, semuanya sudah dibaca, tentu sudah, namun selesai membaca itu urusan lain. Ada banyak buku teman saya pinjam, sudah dibaca? Tentu sudah, sekali lagi perkara "selesai" belum tentu.

Toh pada akhirnya selesai sampai khatam membaca buku, belum tentu selesai memahami. Banyak buku-buku yang terbit di dunia ini susah dipahami. Ada yang tidak saya pahami bahasanya; ada yang saya pahami bahasanya namun tidak paham-paham isinya; ada yang bahasanya tidak saya pahami, isinya apalagi. Untuk yang terakhir itu, saya heran kenapa ada buku semacam itu di dunia ini, yang lebih mengherankan, kok ya saya beli.

Saya pernah beli buku berbahasa Prancis tentang sejarah sastra Prancis. Sudah saya tidak paham bahasa Prancis, saya juga tidak ngerti soal sastra Prancis. Pikir saya besok pasti bisa berbahas Prancis, sungguh kepedean yang naif.


 



Dulu ketika baru punya 10 buku di rak, saya berlagak sok intelektual, sok pakai bahasa melangit. Ibarat anak kecil yang baru bisa naik sepeda, maunya sepadaan terus biar bisa pamer ke teman. Saya pun begitu, rasa ingin diakui sebagi intelektual itu adalah kebodohan saya yang haqiqi.

Sekarang berkebalikan, saya malu buat pamer, sekedar posting buku mikir-mikir. Alasannya klise, di atas langit masih ada langit. Semakin klise lagi, bahwa semakin banyak tahu, semakin sadar bahwa manusia itu terbatas, saya itu tidak spesial, bukan agent of change seperti yang dibilang senior-senior saya dulu, melainkan mas-mas biasa yang sebentar lagi jadi om-om biasa.

Namun saya ingin tetap membaca. Filosofi stoikisme mengajarkan untuk melakukan sesuatu jangan dengan tujuan memuaskan orang lain, sebab orang lain di luar kendali saya. Saya kepingin tetap membaca, menimal, untuk diri sandiri, begitu juga menulis untuk diri sendiri. Pun nanti bacaan atau tulisan saya berdampak ke yang lain, syukur, itu menjadi bonus.

Kenapa tetap membaca, kenapa tetap menulis? Simpel, saya kepingin mengutip istilah Hasan Bachtiar, bahwa saya yang mas-mas biasa ini adalah mahasiswa yang "maha bodoh". Karena mahabodoh itulah saya related dengan jargon "manusia itu pembelajar seumur hidup", tidak boleh berhenti di bangku sekolah, tidak boleh selesai belajar (dalam arti luas) meski status sebagi siswa selesai.

Saya kutip lagi, ada istilah bagus dari om saya, setelah lulus, bahkan ketika belum lulus sekalipun, saya sebenarnya belajar di dua universitas; lembaga universitas formal tempat saya belajar di kelas; satu lagi, "universitas kehidupan", tempat saya belajar seumur hidup mengenai apapun. Sebab pada akhirnya, yang namanya universitas kehidupan, mata kuliahnya lebih luas lagi, labih tak terbatas lagi. Kalau sudah begitu, seharusnya, tidak ada alasan buat saya, untuk pamer lagi, apalagi sombong. Salah satu kesombongan yang mesti dihindari adalah berambisi merampungkan semua buku di muka bumi, padahal buku di rak saja tidak kebaca semua.

Selamat hari buku, 17 Mei 2022
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain