Bagaimana Cara Menulis yang 'Islami'? Belajar dari Mochtar Lubis

Menulis tulisan 'islami' bukan hanya sekedar menempel ayat suci. Harus lebih esensial dan filosofi. Seperti apa bentuknya?
Saya banyak berteman dengan komunitas kepenulisan seperti FLP Solo. Saya mendapat kesan dari beberapa teman, yang kepingin menulis tulisan 'islami'. Bagi saya itu tidak maslah, toh akhirnya tulisan adalah proses ekspresi ideologi yang keluar dari diri kita.

Namun perlu hati-hati. Saya pernah mendapat celetukan dari dosen, kira-kira begini, "jangan terlalu menempel ayat dalam Al-Quran kerika nulis makalah, terutma saat membahas teori, itu karya ilmiah atau teks khutbah Jumat?"

Kalau kita buru-buru naik darah lalu marah, bisa jadi dari celetukan itu kita mendapat kesan yang merendahkan ayat suci dan khutbah Jumat. Jelas maksud dosen saya bukan seperti itu. Poin dari pernyataannya adalah jangan asal tempel ayat suci tanpa konteks.

Apalagi jika menulis esai, ujug-ujug menempelkan ayat suci membuat tulisan kita berasa kering dan kaku. Kecuali memang tulisan kita memang berisi tafsir soal ayat suci. Sekali lagi, tergantung konteks.

Penulis pada umumnya, agar terlihat islami, ia sengaja menambal tulisannya dengan diksi-diksi agama. Misal, menambahkan kata "MasyaAllah", "Subhanallah", "yaa akhi", "yaa ukhti", dll.

Apa yang salah? Tidak ada. Cuma tulisan akan terasa kering dan kesan Islami hanya terasa di permukaan. Akan lebih segar dan punya kesan mendalam sebagai tulisan 'islami', jika kita berhasil menghadirkan makna islami secara filosofi. 

Sebab islam pada dasarnya adalah laku hidup. Maka memasukan pesan islami secara filosofi akan lebih kena dan sampai ke pembaca. Ini memang sulit. 

Saya ingin memberi contoh dengan novel karya Mochtar Lubis.

Mochtar Lubis adalah jurnalis, sastrawan, dan budayawan lama. Ia hidup di masa perang, masa pemerintahan Sukarno, dan pada masa orba. Sebagai sastrawan, ia banyak menelurkan novel. Salah satu yang akan saya ambil sebagai contoh tulisan 'islami' adalah Harimau! Harimau!


Premis cerita dari novel ini adalah, ada sekelompok orang yang masuk ke hutan untuk mencari damar. Dalam perjalanan pulang ia dihadang oleh harimau. Beberapa orang di rombongan itu mati dimakan harimau yang lapar. Yang tersisa, melanjutkan perjalanan dengan rasa takut.

Ketakutan inilah yang kemudian memunculkan tabiat asli manusia. Kematian yang hanya sejengkal, membuat mereka saling membuka aib dan kesalahan. 

Kemunafikan juga ditampilkan, bahwa ada seorang yang alim, ternyata di masa lalu ia pernah berbuat dosa besar. Untuk menutupi itu, ia naik haji dan taat beribadah. 

Sayangnya, ibadahnya ditujukan untuk orang lain, agar dirinya terlihat saleh, bukan murni karena mencari ridha Tuhan.

Sebelum mereka mati dimakan harimau, mereka sempat taubat dan saling mengakui dosa kepada Tuhan. Mereka juga menyadari harimau yang mengejar mereka itu tidak terlalu buas, jika dibandingkan harimau yang ada dalam diri mereka.

Mochtar Lubis, membongkar sifat buas dalam diri manusia di akhir cerita. Dan rangkuman dari cerita itu, membawa pesan yang mendalam soal tauhid, bahwa ibadah kepada Tuhan seharusnya ditujukan untuk Tuhan, bukan orang lain. 

Novel ini juga membahas perangai sifat manusia yang buas seperi harimau itu; rasa lapar (tamak), sombong, dan individualis, hanya mau memikirkan dirinya sendiri.

Pesan-pesan mendalam itu, jika ditelusuri di ajaran Islam, maka kita temui di bab-bab seperti ajaran tetang tauhid, akhlak dan tasawuf.

Novel Harimau! Harimau!, kalau boleh saya sebut, adalah novel Islami. Tidak ada tempelan ayat tanpa konteks yang jelas. Mochtar Lubis dengan cerita dan alur yang mudah dipahami, berhasil membawa pesan paling esensial dari Islam. Sekaligus ditulis dengan sangat filosofis dan menghibur. 

Maka tulisan yang islami itu, tidak cukup membumbui tulisan dengan diksi-diksi agama, namun juga harus masuk lebih mendalam dan esensial. 
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain