Melihat 65 dengan Kacamata Kemanusian

Perspektif paling bijak untuk melihat peristiwa 65 adalah dengan perspektif kemanusiaan, bukan dengan kacamata biner seperti benar-salah, menang-kalah, atau penjahat-pahalawan.

Semua merasa jadi korban, Muslim (santri khususnya) teriak PKI (komunis secara umum) itu anti agama dan atheis. Sukanya nginjak-nginjak Alquran. Lalu membantai ulama. Dengan begitu PKI salah, mereka iblis.

Versi sejarah 65 yang resmi, melalui buku pelajaran dan film, membuat PKI adalah pihak yang salah, kalah, dan juga layak disebut penjahat.

Namun versi sejarah lain, segera membuat kita perlu mepertimbangkan faktor perang dingin yang memuncak di tahun 65. Juga mepertimbangkan versi-versi yang lain lagi.

Setidaknya ada lima versi tetang sejarah 65. Dari versi resmi sampai versi Cornell Paper, hampir semua saling silang pendapat tentang siapa yang salah, siapa yang benar.

Lagi-lagi, perdebatan siapa yang salah, tidak akan selesai. Ingat, ini sejarah 65, bukan seperti film aveneger yang menampilkan hanya dua lakon; kubu pahlawan dan kubu penjahat. Sekali lagi, perspektif biner seperti itu tidak bijak untuk melihat tragedi sebesar sejarah 65.

Bagi kita, yang awam, cukup mengetahui dan mengakui bahwa periode 45 dan puncaknya 65, adalah periode panjang, banyak kubu saling gontok-gontokan soal politik.

Kompleks, perdebatan berdarah dari soal bentuk negara sampai sikap politik luar negeri (mau membela blok barat atau timur) mempertajam ketegangan.

Ironisnya, perdebatan dan intik politik di periode itu, tentu puncaknya adalah 65, banyak memakan korban. Sedang banyak kubu, semuanya berposisi dan ingin dianggap sebagi korban. Santri misal, mengganggap dirinya korban karena dibantai PKI.

Pihak PKI juga (ingin) berposisi sebagai korban, karena ratusan sampai jutaan (angkanya masih dipertahankan) orang mati dibunuh tanpa pengadilan, hanya karena ia PKI dan Komunis.

Angkatan bersenjata, TNI, juga merasa ikut menjadi korban. Sebab banyak jenderal yang dibunuh di lubang buaya.

Warga negara biasa, juga menjadi korban dari Orba yang menuduh orang-orang terafiliasi dengan PKI, Lekra, atau Gerwani.

Bagi yang tertuduh ditindak secara beragam; ada yang jadi tahanan politik, dibatasi hak politik, dibatasi hak berwarga negara (seperti tidak boleh jadi PNS), sampai dibunuh. Tidak hanya berhenti sampai di situ, kelak anak keturunannya juga diperlakukan serupa.

Siapapun korbannya, baik santri, simpatisan PKI (termasuk organisasi perempuan Gerwani dan kelompok kesenian Lekra), dan tentara, kita mesti menaruh hati nurani. Dengan begitu, sisi kemanusian kita bisa lebih hidup.

Jadi, siapa yang kita musuhi? PKI? Kumunis? Bukan, yang musti kita musuhi adalah kekerasan dan pembantaian. Dengan alasan apapun itu salah.

Lalu siapa yang kita bela? Pihak muslim (santri)? Yang lebih penting dari itu, adalah membela keadilan dan kemanusian. Sebab memang semestinya kemanusian berdiri di atas segala golongan. Titik!
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain