Tutup Buku (2022)


 

Mukadimah. Kita bisa memaknai puisi, adalah jurnal yang paling personal. Tidak mesti dari pengalaman si penulis. Bisa jadi amatan paling dalam dari sekitar dirinya, sebab puisi umumnya berangkat dari rasa; berupa empati, kepekaan, kasihan, bercampur imaji.

Cinta, adalah topik yang sudah lama aku coba hindari. Melalahkan berada di situasi yang menye-menye, tapi toh itu juga bagian dari hidup. Satu yang aneh dari cinta, kadang ia yang mengetuk pintu, kadang juga ia yang pergi dengan sendiri. 

Tutup Buku (2022) akhirnya hanya sebuah kumpulan puisi bucin yang, mungkin, tidak jauh beda dengan anak SD yang menulis surat buat pacarnya, lalu ia selipkan di dalam buku atau laci.

Cinta yang terasa datang terlalu cepat, dan pergi terlalu cepat, bukan cinta, itu cuma satu "ledakan". Cinta memang seharunya berproses. Dan terus bertemubuh dalam waktu yang lama, tidak statis, tipi dinamis, naik turun dan melandai. 

Cinta hanya butuh proses bukan pengorbanan ala-ala cerita Layla-Majnun atau Romeo Juliet, atau juga Dilan. Penggambaran cinta yang berdarah-darah penuh pengorbanan itu hanya konstruksi semu dari industri kapitalis seperti film dan novel.

Cinta berproses dengan rasa empati, rasa peduli untuk; mau mendengar, memberi perhatian, saling bertukar kabar, pertemuan yang berkualitas, tentu juga dengan obrolan yang dalam. Cinta tidak menuntut kamu menjadi posesif dan terobsesi, ia seharusnya tembuh dengan saling pengertian. Makanya aku pun selalu bilang, bahwa jangan buru-buru, cinta adalah soal proses. 

Jika kamu pada akhirnya, memberi makna cinta berdasar hegemoni industri film dan novel, cinta (yang seperti digambarkan dalam film dan buku Dilan, misal) terlalu kekanak-kanakan dan tidak realistis. Cinta menuntut kedewasaan, sebab di dalamnya ada ikatan yang musti dipertanggungjawabkan. 

Awalnya, Buka Buku

Aku berjalan di tepian
Kamu di ujung jurang

Kepada pengharapan
Kamu tanya soal nyaman, yang ada kebingungan
Kamu tanya soal sayang, yang ada ketidaktahuan
Kamu tanya soal cinta, yang ada kehampaan

Bingung mengartikan rasa
Bingung terhadap asa
Bingung mengartikan Hawa
Kamu bersanding dengan keindahan
Aku tersandung ketakutan
untuk mengambil komitmen
dan konsekuensi atas derita yang kamu bagi

Apakah aku, pujangga tak bertuan ini
akan berani jujur
bahwa cinta bersemi di atas penderitaan
bahwa kamu musim semi yang aku inginkan
bahwa aku mengharap kehadiran
bukan perpisahan?

Agustus 2022

Online

Aku lihat tulisan di bawah namamu yang, indah
tertulis di situ, "online"
aneh, aku membacanya sepanjang, malam

23 Agustus 2022

Buku Puisi di Rak yang Berdebu

/1/
Aku mencari-cari buku puisi
namun tidak samasekali ketemu
Hari ini sumpek sekali
Aku butuh hiburan,
aku butuh membaca keindahan, seperti puisi
Namun sudah lah, aku bahkan merasa sangat lelah
untuk sekedar mencari buku di rak yang berdebu itu
aku sudah capek bukan main
padahal tubuh hanya diam saja

/2/
Mungkin karena rasa, batin, dan hati yang sepi
Sudah lama, jika dipikir-pikir,
aku bahkan merasa ada lubang dan kehampaan yang semakin lama semakin dalam

/3/
Sepertinya
aku menginginkan kehadiran, namun disaat yang sama aku menginginkan kesendirian
Toh juga kehadiran siapa?
Mungkin, sesuatu yang datang dengan harmoni seperti puisi
Kehadiran puisi terkadang menenangkan
Aku suka keindahan, sebagaimana Tuhan juga suka
Aku juga yakin, Tuhan tidak melarangku menyamai kesukaanNya
Tuhan paling hanya tersenyum kecil
karena hambanya cuma kegirangan dengan puisi-puisi yang indah
ia tidak butuh hiburan seperi harta, tahta, apalagi main wanita
lagipula wanita bukan objek hiburan
Makanya, ia cukup dengan puisi dan keindahan itu sendiri

/4/
Sekali lagi aku ingin membaca puisi
Namun sudahlah, aku membaca diam mu saja,
toh sama
Aku menikmati itu sebagai sebuah jeda,
yang banyak menyisakan lubang dan tanda tanya
sebenarnya apa, kenapa, dan bagaimana
perasaan bisa terbentuk dan berwujud pelukan, elusan, ciuman, dan desahan
itu semua adalah ritual kasih sayang
Selama ada keindahan yang diikhlaskan aku merasa lega
Sebab aku suka, Tuhan pun pasti suka
selama kita mengindahkanNya

/5/
Hawa selalu lebih sulit untuk dipahami
Bahkan diamnya saja bisa berarti banyak
Bisa berarti do, bisa juga re,
atau mi, fa, so, la,
dan do yang lain
Tangga nada tentu
tidak akan pernah cukup
mewakili maksud Hawa
Kata kawanku, Hawa bahkan lebih rumit dari filsafat,
lebih misterius dari tasawuf
Aku mudah memahami konsep filsafat Hegel, Marx, Plato, Aristoteles, Yuval Noah, Pierce, Umberto Eco, Roland Brates, dan lain-lain
Aku mudah memahami konsep tasawuf Al Hajjaj, Abdul Qodir, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Hamka, dan lain-lain
Tapi tidak cukup bisa memahami diamu

/6/
Aku tidak mengerti
Persis seperti aku juga tidak mengerti perasaanku sendiri.
Sebenarnya apa yang ku resahkan
tetang cinta, kasih, sayang, dan masa depan
apa yang ku takutkan
Mungkin aku takut bilang rindu, sayang, dan cinta
Aku beralasan mencari tau dulu konsep cinta baru mau bilang cinta
Sungguh naif
Tapi itu bentuk penghormatan dan kehati-hatian,
sebab aku ingin mencintai dengan serius dan penuh tanggung jawab

/7/
Biar aku tetap aku yang bodoh dan pengecut
Aku menikmati bagian diriku yang seperti ini,
juga aku menikmati, sekali lagi, diam mu itu

/8/
Hawa kamu menyisihkan
banyak sekali lubang dan tanda tanya
Apa itu memang buah tanganmu salama di Jogja?
Kalau iya, kau menghianati puisi-puisi Joko Pinurbo
bahwa Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan
Ternyata yang kau bawa bukan ketiganya
Bukan rindu, yang entah sekarang punya siapa
Bukan pulang, yang entah ke mana
Bukan juga angkringan, dimana di situ aku selalu duduk sendirian
Tapi diam mu yang kau beri
Baiklah, aku terima sebagai oleh-oleh dari mu
Aku simpan baik-baik di rak buku itu
Biar bersanding dengan buku-buku puisi
dan keindahan-keindahan yang lain

3 Oktober 2022

Setidaknya Pamit


Jika memang diam yang kamu pelihara dalam diriku,
aku terima saja
biar suara jangkrik belakang rumah segera memecah keheningan karena diam mu itu

Jika diam memang cara terbaik untuk pergi
Maka setidaknya kamu harus pamit
Kamu yang lebih dulu hadir dan kamu yang membukakan pintu

Meski ragu-ragu untuk masuk,
namun aku memang sudah masuk
Begitu juga kamu,
meski aku ragu-ragu membuka pintu,
dan sudah mewanti-wanti bahwa aku takut,
namun kamu memang sudah masuk

Sekarang ruang itu kosong
dan menyisakan ruang hampa
Aku yakin kamu juga begitu,
kamu memaksa menutup rapat kembali ruang itu,
meski kamu merasakan sepi juga,
aku bisa jadi salah,
namun diam tidak akan berarti apa-apa

Setidaknya, kita harus saling pamit jika memang menginginkan agar ruang itu dikosongkan
Dan saling menutup pintu masing-masing

Pamit adalah bentuk dari kepergian
yang sama-sama akan kita biarkan

4 Oktober 2022

Tutup Buku


Satu malam kamu bilang nyaman
Di malam yang lain kamu bilang sayang 
Entah kenapa kamu melewati garis batas
yang aku atur sedari awal
Kamu yang membuka buku, dari sekian lembar yang sudah mulai kosong 
Kamu isi dengan rasa, asa, dan cinta 
Basi
Kamu yang membuka, kamu juga yang menutup 
Aneh 
Kamu yang datang, kamu juga yang pergi 

8 Oktober 2022
Penulis/Jurnalis

إرسال تعليق

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain