Sejak
dulu orang sudah memaknai simbol-simbol atau tanda. Kamu mungkin pernah memberi
tanda kalau mata kedutan, ah mungkin bakal dapat rezeki. Atau orang tua kita
dulu, tentu masih ada sampai hari ini, memberi tanda di tanggal tertentu
melalui hitungan yang rigid untuk peristiwa penting, seperti hajatan.
Juga
ketika kita menemui bendera merah—kadang kuning, sebagai penanda ada orang
meninggal. Lalu janur, sebagai penanda ada orang menikah.
Kita
hidup sesak dengan ‘tanda’. Kita akan ngeri melihat di belakang mobil ada yang
memasang stiker bertulis Kopassus. Setidaknya jangan macam-macam.
Saya
terkadang, tergeletik mencermati tulisan atau gambar di belakang badan truk.
Lucu, sekaligus tanda kegetiran. Semisal ada yang tertulis, “akehno anggonmu
nyukuri nikmat supoyo lali carane sambat”, “Sak abot2te gaweanku isih luwih
abot tresnaku marang sliramu cah ayu”. Bahasa yang digunakan, bahasa lisan
sehari-hari.
Pada
dasarnya, kita selalu melihat peristiwa melalui tanda lalu memaknainya. Dari
soal kedutan, tanggal, bendera, janur, sampai stiker di mobil dan truk. Semua
adalah tanda yang kita maknai.
Sering
saya penasaran, bagaimana bisa tanda atau simbol itu bekerja, lalu memiliki
tafsiran atas tanda itu. Dari sini saya kemudian memberanikan diri membaca
Umberto Eco, Teori Semiotika (2016), cetakan kelima, terjemahan
dari Inyiak Ridwan Muzir.
Tentu
saja bukan Eco yang menemukan ide awal tentang tanda sebagai ilmu, yang
kemudian kita sebut semiotika atau semiologi. Tergantung dari siapa kita
membaca. Singkatnya, ilmu ini diusulkan oleh Charles Sanders Peirce seorang
filsuf asal Amerika, dan Ferdinand de Saussure, seorang filsuf asal Swiss.
Keduanya
berasal dari negara yang berbeda, namun membicarakan hal yang sama, bagaimana
bahasa itu bekerja melalui tanda dan simbol-simbol. Munculah satu kesimpulan
bahwa manusia adalah Homo Semioticus, makhluk simbol.
Peirce
dan Saussure membuat semiotika terbagi menjadi dua aliran besar, semiotika
pragmatisme dan semiotika signifikasi. Sampai Eco hadir untuk menengahi
keduanya, ia mengatakan teori Peirce dan teori Saussure sebenarnya saling
melengkapi, bukan malah bertentangan. Maka Eco di dalam Teori Semiotika
(2016) menghimpun dan mengawinkan keduanya. Sampai banyak orang menyebut
teori Eco lebih kekinian dan komprehensif.
Namun
membaca Eco, membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Cara Eco mendefinisikan
ulang tanda membuat kita semakin mengerutkan dahi. Sebab pada akhirnya tanda
dan maknanya, ternyata sangat kompleks dan rumit. Tidak sesederhana Penanda dan
Pertanda milik Saussure, misal.
Meski
susah dan rumit untuk dipahami, saya sedikit gaya menggunakan teori semiotika
Eco untuk skripsi saya. Bukan apa-apa.
Setelah dosen saya melarang menggunakan teori Peirce yang polanya lebih
sederhana. Saya langsung cari alternatif.
Seketika
saya merenungi buku-buku semiotika karangan penulis Indonesia, demi misi
pencarian ini. Lalu kepincut membaca Semiotik & Dinamika Sosial Budaya
(2014) garapan Benny H. Hoed. Tujuannya tentu juga mencari teori lain untuk
skripsi. Di buku itu Hoed memuji Eco, “akhirnya kita melihat Eco maju selangkah
dengan menyatakan bahwa tanda merupakan satuan budaya".
Oleh
karenanya saya berpikiran kenapa tidak dicoba untuk memberi makna simbol-simbol
di Masjid Agung Surakarta. Masjid ini punya tanda, seperti atap yang
tersusun tiga, boleh saja kita memberi makna bahwa itu adalah tiga tingkatan
berupa Islam, Iman, Ihsan.
Siapa
tau dengan pola semiotika Eco yang lebih kompleks dan baru, muncul juga
pemaknaan baru. Eco punya andil besar dalam soal tanda, simbol, dan makna,
terkhusus dalam pemaknaan budaya.
Banyak orang di Indonesia barangkali mengenal Eco sebagai sastrawan lewat novel The Name of the Rose (1980), yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun kita sangat telat mengenal Eco sebagai semiotikawan. Wajar saja, di kita, ilmu ini tidak terlalu laku. Mengingat buat apa juga kita repot-repot mempelajari tanda dan cara kerjanya.
Setelah saya diingatkan oleh punggawa telapaksimak.com, Adib Baroya, bahwa tepat hari ini, 5 Januari, Eco ulang tahun. Sembilan puluh tahun lalu ia lahir. Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menghormati pria asal Italia, Umberto Eco sebagai semiotikawan. Penghormatan terus berlanjut dengan menggunakan teori Eco untuk keperluan skripsi, yaa meski saya tertatih-tatih memahami Eco.
Namun
penghormatan itu sangat pantas. Sebab tanpa menulis terlebih dahulu A Theory
of Semiotics (1975), belum tentu terpikir menulis novel penuh teka-teki dan
bermuatan semiotika, The Name of the Rose (1980). Sebegitu penting
posisi ‘semiotika’ dalam karir Eco sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra.
Beruntung kita menemui kedua buku itu di dalam bahasa Indonesia.
Cc: telapaksimak.com