Cinta yang akhirnya menuntut orang harus mau lebih 'longgar'

Cinta akhirnya hanya perlu dijalani saja, tanpa harus mikir apa itu cinta dan bagaimana cinta itu bekerja


Saya bahagia sekaligus khawatir ketika mendengar kawan saya mau berencana menikah tahun depan. 

Alasan bahwa ia memutuskan menikah tentu membuat saya senang. Namun keadaan getir yang sedang ia alami, dan keadaan tidak menentu karena krisis membuat saya khawatir.

Kawan saya ini, entah kenapa, sejak awal pandemi malah kita sering ngobrol dan diskusi. Dan saya sempat menyimpulkan ia bukan tipe yang baru-baru mau menikah. Apalagi usianya sedikit lebih mudah dari saya.

Namun anggapan saya itu ternyata salah. Mungkin saja karena kita menang jarang ngobrol soal asmara, apalagi kisah percintaan yang menye-menye itu. Makanya saya tidak paham betul soal gelagat percintaannya.

Di warung kopi kami ngobrol banyak soal pernikahan. Sembari minum kopi manual yang saya minum perlahan, saya masih membawa topik dan problem lama, yang mana saya masih saja berkutat pada apa itu sebenarnya cinta.

Saya sok-sokan meresahkan kapan orang itu bisa disebut sedang jatuh cinta. Hingga akhirnya orang itu memutuskan untuk, secara suka rela, saling sudi membagi masalah hidup yang kadang pelik itu.

Sedang kawan saya, malah sudah mantap memutuskan untuk menikah tahun depan. Meski ia sempat cerita keadaan dirinya sedang sulit. Namun saya menangkap niatnya yang mantap. 

Pun kalau tidak tahun depan, yang mana tinggal beberapa bulan lagi, ternyata ia tidak jadi nikah, saya tetap yakin ia pasti akan menikah lebih cepat ketimbang saya.

Masalah!

Ia menikahi perempuan yang menurut logika bakal menambah masalah di hidupnya, setidaknya 'berpotensi'. 

Saya sedang tidak menghakimi, apalagi membuatnya pesimis. Namun kawan saya pun mengkonfirmasi itu, bahwa latar hidupnya sangat berbeda jika dibandingkan dengan perempuan yang akan ia nikahi.

Kawan saya ini, punya latar keluarga yang cukup unik. Bapaknya adalah seorang muslim tradisionalis, tentu saja bisa dibilang sangat dekat dengan NU.

Sedangkan kakaknya lebih dekat dengan Salafi. Dan ia sendiri pernah satu sekolah dengan saya, yang saya tau ia cukup dekat dengan tradisi Muhammadiyah, walau pada masa tertentu ia jelas sangat terpengaruh dengan wacana kekirian (sosialis dan turunannya).

Meski latar organisasi yang berbeda-beda. Saya tetap bisa menarik satu kesimpulan, bawah kawan saya ini sebenarnya berasal dari keluarga Islam yang taat.

Beda lagi perempuan yang akan ia nikahi. Menurut ceritanya, calonnya itu ternyata berlatar keluarga abangan yang jauh dari agama.

Bapak si perempuan, sangat dekat dengan tradisi kejawen. Dari cerita, saya jadi menduga mungkin ia masih Islam namun dengan ekspresi ibadah yang berbeda dan lebih condong ke sinkretis. Mungkin.

Dari dua hal itu saja, saya sudah membayangkan betapa repotnya itu. Bayangkan jika kedua keluarga besar itu saling berinteraksi. Mungkin akan terjadi potensi konflik yang disebabkan beda preferensi kepercayaan, meski sama-sama Islam.

Ditambah beban yang ia tangguh untuk dirinya sendiri. Ia dengan yakin dan penuh rasa tanggung jawab akan membimbing calonnya itu ke jalan yang 'benar'. Konon, perempuan itu tidak sama sekali bisa bacaan sholat. Dan tentu membimbing yang dimaksud kawan saya itu salah satunya adalah itu.

Konsekuensi yang panjang 

Konsep pernikahan yang teramat mengikat atas nama Tuhan itu punya konsekuensi yang panjang. Bahwa dua orang yang terikat dengan itu harus punya komitmen yang tinggi.

Komitmen itu adalah menerima segala busuk dan harum masing-masing. Sebab jelas pernikahan itu tidak hanya mendatangkan bahagia, namun juga masalah. Ini juga kita diskusikan saat di warung kopi.

Saya dan kawan saya bersepakat bahwa kehidupan pasca pernikahan jalas ada fase-fase problematik. Pernikahan tidak melulu soal malam pertama dan bulan madu saja. 

Satu teori sosial mengkonfirmasi konklusi naif kita itu, bahwa memang setiap orang yang sering bertemu, maka akan semakin mungkin ada masalah yang menimpa hubungan mereka.

Itulah kenapa, di China ketika awal pandemi, ketika semua orang harus di rumah, malah banyak orang yang terlibat pertengkaran dengan istri.

Maka tidak heran, sependek ingatan saya, saya membaca laporan BBC yang mengatakan angka perceraian di China meningkat selama pandemi berlangsung.

Cinta menuntut kelonggaran

Lalu apa yang membuat kawan saya itu, akhirnya tetap menikah, meski menyadari segala potensi masalah dalam kehidupan rumah tangga?

Pertanyaan itu saya lontarkan, dan jawabnya tetap klise; "semua tergantung niat, dan niat ku untuk menikah adalah dalam rangka ibadah seumur hidup," begitu jawab kawan saya.

Namun saya tidak lekas puas karena jawabnya memang terlalu klise dan terlalu bermuatan moral. Saya tentu paham itu bakal menjadi motivasi banyak orang.

Satu hal yang kemudian saya tangkap dari konsep cinta yang ia jalani. Bahwa akhirnya atas nama cinta itulah ia mau dan sanggup menerima segala (potensi) masalah ke depan. Padahal, sekali lagi, ia juga sedang krisis.

Cinta yang ia maksud, akhirnya menuntut dirinya untuk melonggarkan tegangan yang ia alami. Ia mulai mau secara sadar menerima masalah dan segala busuk karena mencintai seseorang.

Cinta dalam dirinya jelas menuntutnya untuk 'bertoleransi' terhadap perempuan yang (akan) ia nikahi. 

Tidak mengapa jika akhirnya ia menemukan 'cacat' dalam diri si perempuan. Itu sudah bagian dari konsep cinta dan pernikahan yang harus diterima.

Sebab orang sering lupa menderita terkadang juga bagian dari cinta itu.

Ini berlaku sebaliknya. Si perempuan mungkin ketika menikah nanti akan menemukan sisi buruknya juga.

Akhirnya, apa itu cinta?

Saya, dari obrolan bersama kawan saya ini, tidak pernah menemukan jawaban kapan orang disebut sedang mengalami fase 'cinta' dalam arti tertarik menjalin hubungan asmara. 

Lalu kapan cinta itu akhirnya bisa mendorong orang untuk mau menikah dan berbagi segala busuk; derita; dan masalah bersama.

Namun kita sama-sama sepakat, bahwa pada akhirnya cinta itu kata kerja, buka kata sifat yang repot-repot harus diberi ukuran dan makna.

Cinta akhirnya hanya perlu dijalani saja, tanpa harus mikir apa itu cinta dan bagaimana cinta itu bekerja. Toh akhirnya saya juga menyadari bahwa 'cinta' itu hanya imaji abstrak yang dibuat manusia.

Maka tidak heran, karena cinta itu tidak berwujud dan tidak konkret, ia jelas akan menjadi problematik ketika dipaksakan untuk dimaknai dengan sempurna. Akan naif jika kita memaksakan mencari definisi tunggal dan menyeluruh tentang cinta.

Maknanya harus dikembalikan kepada yang mengalami. Seiring ia dewasa dan seiring waktu memberi pengalaman, perspektif soal cinta juga akan berubah dan mungkin malah bertumbuh.

Maka saya cukup senang, dengan kawan saya yang berhasil memaknai cintanya sendiri. Lalu berani memutuskan,  bahwa cintanya itulah yang menuntunnya untuk menikahi seorang perempuan pilihannya sendiri. Seketika perspektif itu membuatnya lebih dewasa dari saya. Selamat!
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain