Jurnalis yang Selalu Terburu-buru

Arif Zulkifli yang merupakan seorang jurnalis senior, membuka bukunya berjudul Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan (2022) dengan sedikit keluhan tetang jurnalis hari ini yang terkesan selalu terburu-buru. 

Buku ini diniatkan sebagai sarana berbagi: bahwa jurnlisme bukan semata persoalan kecepatan.... (hal. xi)

Saya menganggap itu keluhan, yang tidak hanya dirasakan oleh Arif, namun juga oleh jurnalis pemula seperti saya. Ketika awal bertugas sebagai jurnalis, hal pertama yang ditekankan tentu adalah soal kecepatan.

Maka keharusan saya, sebisa mugkin sudah kirim berita sebelum jam 10.00 WIB. Lalu ketika ada peristiwa seperti kecelakaan, peristiwa politik, atau kejadian besar lain, harus segera ditulis dan terbit. Saya paham betul ini konsekuensi dari perubahan psikologis pembaca.

Tren orang-orang yang dengan mudah dan cepat mendapat informasi dari media sosial, turut membelokkan cara jurnalis menyajikan berita. Kecenderungan konten media sosial yang pendek, dengkal, dan cepat memanjakan kita semua, kita jadi cepat tahu meski tidak lekas paham.

Media (baca media arus utama) turut meniru pola itu. Toh, pembaca kita juga sudah berubah. Media sosial lebih bisa cuan, maka media tentu memilih pendekatan yang lebih praktis: dengan menyajikan konten yang pendek, dangkal, dan cepat.

Saya termasuk di pusaran cara pemberitaan itu. Tentu saya tidak berharap banyak, untuk bisa menyajikan reportase yang panjang, mendalam, dan akurat. Karena itu jelas memakan waktu. 

Pernah, bulan pertama saya bertugas di lapangan berusaha menghadirkan reportase yang medalam. Namun saya kehabisan waktu. Evaluasi bulanan saya menunjukkan jumlah berita hanya sekitar 70, dari target yang ditetapkan kantor berjumlah 125. Tentu itu jauh dari cukup. Saya kena tegur.

Saya dipanggil karena tidak terget. Untungnya ada pemakluman. Namun saya tangkap satu hal ketika Redaktur Pelaksana (Redpel) memanggil saya ke kantor: bahwa akan sia-sia kalau menulis artikel panjang namun tidak tersentuh pembaca karena tidak ramah mesin pencari. 

Satu lagi yang ditekankan kepada saya,  yakni kecepatan dan jumlah berita. Redpel saya dengan tegas mengatakan, "sia-sia kamu dapat data banyak, tulisan panjang, namun baru ditulis sore, sedangkan peristiwanya sudah lewat tadi pagi," kurang lebih begitu, saya lupa persisnya.

Tuntutan itu membuat saya, termasuk jurnalis lain, terkadang buru-buru melempar berita. Memang kecepatan bisa berarti baik untuk finasial media, kita jadi bernafas lebih panjang. Namun dengan segala resiko yang juga ada, terkadang jurnalis menjadi luput mendudukan peristiwa.

salah satu foto pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Buku Jurnalisme di Luar Algoritma---dok. pribadi

Pernah satu waktu, salah satu redaktur yang juga content writer menulis berita dari unggahan Instagram. Dalam unggahan itu disebut ada seorang anak dari salah satu SD di Solo hilang setelah pulang sekolah. 

Kemungkinan anak itu tinggal di panti dekat ia sekolah, lalu ketika dia pulang dikabarkan dijemput seorang pria berbaju hitam, yang ternyata pernah bekerja di panti tersebut.

Berita itu mencul menjadi berita terpopular di kanal online. Pada waktu itu, di Solo, isu penculikan anak di kalangan ibu-ibu sedang hangat-hangatnya. Esok harinya, Kapolsek setempat menghubungi kawan saya, menyakan kebenaran berita itu. 

Lalu untuk memastikan duduk perkara, saya datangi sekolahnya. Ketika wawancara dengan kepala sekolah dan menghubungi orang tua asuh, ada satu kenjanggalan. Anak itu tidak hilang, dan si ibu ternyata hanya salah paham. Si anak ternyata pulang ke tempat orang yang dikenalnya, tidak lain adalah pria yang menjemputnya tadi. Tidak jelas pria itu siapa.

Sampai sini menjadi terang bahwa anak itu tidak hilang, apalagi diculik, hanya saja dia tidak sempat pamit ke orang tua asuhnya, bahwa dia hanya pergi sebentar. Namun orang tua buru-buru mengunggah berita kehilangan di media sosial, dan jurnalis buru-buru membuat berita kehilangan di kanal online. Padahal belum ada 24 jam sampai anak itu akhirnya ketemu.

Terlalu cepat memberitakan juga bisa berarti berita yang tersaji menjadi dangkal. Saya sendiri terkadang terengah-engah, dan kehilangan kedalaman. Saya setuju sepenuhnya dengan apa yang ditulis Arif di pengantar bukunya, bahwa jurnalisme bukan hanya;

"air deras yang berkecipak di permukaan sungai, meminjam Goenawan Mohamad, melainkan suatu yang mengendap dan menjadi sedimen, Endapan itu diharapkan lebih kekal: suatu yang menaklukan waktu untuk memunculkan kembali ke permukaan sebagai refrensi mena kala peristiwa baru terjadi." (hal. xi)  

Arif bisa jadi beruntung menjadi jurnalis ketika masa keemasan medium cetak. Hari ini, di ere medium dotcom, hampir jarang ada yang menyajikan reportase mendalam yang melibatkan seluruh indra dan kecakapan si jurnalis. Namun tentu bukan hanya modal keberuntungan Arif berhasil menulis reportase yang bagus.

Jurnalis harus memiliki kepekaan rasa untuk tidak melewatkan detail liputan, sekligus agar bisa menjadi subjek dan terlibat dalam peliputan, sekaligus harus mampu menjaga jarak agar roportase yang tersaji tetap objektif. 

potret toko buku di Wales, Arif Zulkifli dalam buku Jurnalisme di Luar Algoritma melakukan perjalanan untuk meliput toko buku itu---dok. pribadi

Arif memiliki kemampuan itu, dia berhasil menghadirkan kedalam reportase. Ini tentu tergambar lewat buku Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan (2022). Kumpulan reportase yang ada di buku itu, tidak akan pernah basi, enak dibaca, penting, dan menghibur. 

Tulisan semacam itu, akan jarang kita temui di era jurnalisme algoritma seperti sekarang; yang mengedepankan kecepatan, ketimbang kedalaman. Saya iri, membaca buku itu, karena saya sebagai jurnalis pemula, belum tentu bisa menulis seperti Arif, sekali pun diberikan kesempatan waktu untuk membuat reportase semengalir itu.

Buku ini bakal mengajak kita untuk berkeliling menyelami peristiwa-peristiwa penting di Republik ini. Arif melancong ke berbagai tempat untuk melihat detail peristiwa, tempat, dan suasana di negara lain, juga negara sendiri. Contoh kecilnya adalah soal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perjalanan ke Wales, Frankfurt, sampai Praha.

Sudah menjadi gaya khas seorang Jurnalis Majalah Tempo yang menyajikan laporan enak dibaca dan mengalir. Tulisan Arif juga seperti itu, dia jelas piawai dan efektif menggunakan kata, menyusun kalimat, sampai menjadi paragraf.

Satu lagi yang dijanjikan Arif di buku ini, dan itu betul adanya bawah;

"kumpulan tulisan dalam buku ini menggunakan jurnalisme 'lama': reportase. Lewat pendekatan ini wartawan mendudukkan dirinya sebagai 'si daif' yang mengamati: melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, dan menghidu. Ia adalah subyek di luar sekaligus di dalam pigura. Di luar dalam pengertian ia menjaga jarak. Di dalam artinya ia bergaul dan merasakan dari dekat obyek liputan." (hal. xii)

Metode reportase itu, sangat susah diterapkan di media online yang semua serba cepat, dan nurut apa kata algoritma. Bukan berarti tidak mungkin, namun media terkadang lebih memilih pendekatan praktis untuk menghadirkan berita sesuai algoritma dan kecepatan. Sebab begitulah model bisnisnya.

Di tengah kecepatan dan kesumpekan karena banyaknya informasi---kadang tidak penting---beredar di media (baca: media sosial dan media online), buku Arif Zulkifli menjadi oase di tengah keringnya pemberitaan itu

Tidak melulu panjang dan serius, reportase di buku Arif ada yang pendek namun tetap utuh.

Buku Arif sekaligus mengingatkan, bahwa jurnalisme, bisa menghadirkan cerita renyah, menghibur, menegangkan, dan tidak kaku. Nuansa tulisan seperti itu biasanya hanya bisa didapatkan melalui karangan fiksi.

Lantaran melibatkan seluruh indra, Arif berhasil menyajikan reportase dengan nuansa cerita di buku novel atau cerpen. 

Selamat membaca!

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain