Anak Muda Kelas Menengah Perkotaan yang Nongkrong di Coffee Shop

Pernah satu ketika, saya masuk ke kafe, tempat tongkrongan anak muda kelas menengah perkotaan. Setelah melewati pintu, saya disambut baik mas-mas barista, kemudian ditanya "mau pesan apa?"

"Americano mas"

"take away apa dine in mas?"

Saya asing betul dengan kata take away dan dine in. Kosa kata itu tidak pernah terucap di angkringan yang biasa saya singgahi, terdengar di kuping terasa samar-samar. Karena tidak tahu, asal saja saya jawab. 

"Take away mas," biar cepat bisa keluar dari situasi membingungkan ini.

Lalu saya keluar, mengambil tempat duduk, lalu duduk. Teman saya nampak sudah menunggu lama, ia ngudut dengan riang gembira. Selang beberapa saat, pesanan tiba, yang datang kopi dengan cup siap dibawa pulang. kawan saya kemudian bertanya "loh, kok cup?" 

"La mbuh ii, aku tadi bilang take away, laa emang take away ki opo?" tanya saya polos.

Sementara saya kebingugan, teman saya terbahak-bahak menertawakan kebodohan yang kebangetan. Perkara isitilah take away saja tidak paham. Setelahnya baru tahu bahwa maksudnya itu dibawa pulang.

Dari sini saya menyadari jarak saya dengan kafe ini, bukan tertaut jarak kilometer, namun tertaut jarak budaya. 

Saya lahir dan tumbuh di keluarga yang kalau makan ya paling mentok di bebek goreng batas kota, satu tempat yang kita punya memori kolektif di sana. Atau soto Nusukan pinggir jalan, mentok-mentok kalau nongkrong di angkringan, sembari ngobrol, sembari makan gorengan dibarengi es teh kampul

Kegagapan ini membuat saya malu, sekaligus sadar bahwa gaya hidup kelas menengah perkotaan itu ribet, ruwet, dan engga cocok untuk saya yang orang kampung. 

Misal, cuma perkara pakain terlalu banyak istilah; dresscode, pasmina, t-shirt, celana creem, jean, levis dll. Belum fungsi pakain berbeda-beda; pakaian untuk ke kafe, ke pesta pernikahan, ke acara resmi, pakain tidur, bahkan--mohon maaf-- pakaian bersenggama itu ada sendiri. Kalau saya, itu semua hanya saya sebut dengan istilah sederhana; ageman, bahasa ngokone; klambi. Fungsinya ya cuma satu; nutup aurot. Selesai. 

Dari sini saya menyadari jarak saya dengan kafe ini, bukan tertaut jarak kilometer, namun tertaut jarak budaya.
Istilah-istilah yang banyak itu turut membuat gelisah. Misal isitilah yang sangat populer; insecure. Sadar atau tidak, seiring isitilah ini populer, sering disebut di tongkrongan, seiring itu pula menjadi trand, gaya hidup. 

Seolah, jika kamu engga merasa insecure berarti kamu bukan anak muda. Ini bisa menjadi alasan elegan untuk 'memaklumi', 'membiarkan', dan 'membenarkan' segala keburukan, lalu bilang itu bagian dari diri. Terus kenapa tidak segara berbenah kalau memang merasa punya kekurangan? Janga berlindung di balik kata insecure.

Lain istilah, rebahan. Pada hakikatnya hanya glundang-glundung di kasur, enggan ngapa-ngapain, disebut rebahan, sampai bawa-bawa pembenaran bahwa; milenials --isitilah keren lain yang merujuk objek anak muda' sifat dasarnya adalah rebahan. Baru kali ini, saya dapati 'malas' menjadi trend. 

Rumit tidak? Semua istilah itu saya temukan di cooffeshop. 

Memang, 'kata' dan 'istilah' terkadang merepresentasikan 'kelas' sosial, sekali lagi kelas sosial, bukan kelas ekonomi. Kalaupun berada pada kelas ekonomi bawah (proletar--misal mau menggunakan teori kelas), namun menggunkan isitilah kelas menengah, nampak ia satu kasta di atas secara sosial, namun tidak secara ekonomi.

Sebab di sini, kata dan istilah, tersimpan di dalamnya politik. Sebut saja itu sebagai 'politik kata'. Politik yang saya maksud bukan politik praktis pemerintahan atau semacamnya. 

'Politik kata' membawa kepentingan si penutur untuk melakukan 'dipolmasi', tujuannya satu; sekali lagi, untuk menaikkan kasta sosial satu level ke atas.

Dengan begitu, saya bisa menyebut 'anak muda kelas menengah perkotaan yang nongkrong di coffe shop' sebagai 'poltikus kata' dan 'diplomat ulung'.

Namun tanpa sadar, saya ikut berpolitik. Saya mulai was-was melempar kata dan memilih kosa kata; tujuannya agar saya tidak dikira terlalu 'serius', agar ketika nanti ngobrol tidak timbul prasangka buruk mengenai status kelas sosial saya. Memang, orang yang berbeda kelas bisa saja saling bercerita. Tapi biasanya, tidak lama, dan sedikit dipaksakan. 

Makanya saya harus hati-hati, saya harus memilih kata yang 'pas' dan 'akurat', agar bisa sejajar dan ngobrol dengan refrensi jokes yang sama. 

Ketahulah wahai 'anak muda kelas menengah perkotaan yang nongkrong di coffe shop', sungguh itu sulit. Sekali lagi sulit. Mungkin memang DNA keluarga saya bukan politisi, bukan. Saya rasa DNA keluarga adalah guru, makanya saya lebih suka 'menggurui' dan 'berguru'.

Tentu saja saya tidak pernah menyesal, duduk nyruput kopi dengan 'anak muda kelas menengah perkotaan', tidak sama sekali. Karena saya belajar banyak, bahwa mereka mamang unik tur ruwet. 

Setidaknya satu hal, jangan bawa saya terlalu jauh menjalani gaya hidup kelas menengah lain; wine, bar, dan segala persengkongkolannya. Sebab naluri saya itu naluri proletar, cukuplah angkringan dan jagongan menjadi hiburan saya di kala malam. 


Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain