tulisan dimuat di rubrik Mimbar Mahasiswa harian Solopos, Selasa Wage, 18 Mei 2021
Baru-baru ini jagat maya
dan media arus utama ramai meberitakan konfilk terbaru di Palestina. Antusiasme
kaum muslim Indonesia, seperti biasa, sangat tinggi. Meski jika dipikiri-pikir
jarak dan letak geografis antara Indonesia dan Palestina terlampau jauh.
Kenapa kaum muslim di
Indonesia selalu antusias dengan pemberitaan mengenai Palestina di media, bahkan
sampai menimbulkan rasa empati sekaligus amarah? Sebenarnya, dalam kajian
media, ada yang disebut proximity (kedekatan).
Konsep ini juga
membicarakan mengenai antusias pembaca, atau katakanlah audiens media. Saya
yang berdomisili di Kota Solo, akan sangat antusias jika terjadi sesuatu di Kota
Solo dan sekitarnya. Sebaliknya, berita banjir di Sumatera, saya akan cenderung
pasif mengikuti isu tersebut. Jaraknya terlalu jauh dan saya tidak ada ikatan
apapun dengan Sumatera.
Tentu tidak selalu soal
jarak, bisa juga soal budaya. Misal saya yang berasal dari Jawa lalu merantau
ke Sumatera. Ketika ada pemberitaan mengenai pemilihan Gubernur Jawa tengah,
rasa penasaran saya akan lebih tertuju ke Jawa, ketimbang pemilihan kepala
daerah di Sumatera. Inilah proximity juga ada kaitannya dengan
keterikatan budaya.
Bagaimana bisa kaum muslim di Indonesia selalu antusias dengan
pemberitaan Palestina di media? Hal ini menarik, sebab jika ditilik di peta,
jarak antara Palestina dan Indoensia terlampau jauh. Dalam ranah budaya, meski
sama-sama mayortas warganya muslim, jelas budaya timur (baca: arab) akan banyak
perbedaan jika dibanding dengan Indonesia. Proximity dalam manifestasi jarak
dan budaya jelas tidak relevan.
Perlu dingat bahwa,
jurnalisme tumbuh beriringan dengan konsep nasionalisme. Tirto Ardhi Soerjo
menggunakan jurnalisme untuk meperjuangkan integritas bangsa (nation). Ia
menerbitkan Medan Prijai, yang selalu mengangkat isu-isu lokal dan
kepentingan pribumi.
Kepentingan itu lalu
diikat menggunakan konsep nasionalisme untuk melawan kolonialisme Belanda. Sebenarnya, nasionalisme menghapus batasan
atara ras dan agama, namun nasionalisme yang berkembang hingga hari ini juga menghasilkan
satu batasan yang kian kongkret, antara bangsa (nation) dangan bangsa
yang lain.
Di kepala kita ada
anggapan bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia berbeda, padahal keduanya satu
rumpun, yang artinya keduanya memiliki budaya yang serupa. Islam tidak pernah
akrab dengan konsep nasionalisme sepert itu. Islam mengenal konsep Umat, ia melampaui sekat-sekat
kebangsaan yang selama ini sudah diimajinasikan.
Yang dimaksud umat,
sebagaimana tulis Ali Nurdin dalam Quranic Society (2006), bisa bersifat
khusus untuk kelompok tertentu (semisal umat Islam), namun juga bersifat umum
yang merujuk pada umat manusia, sebab setiap generasi manusia adalah umat yang
satu.
Tidak mengherankan
kedekatan (proximity) umat Islam di Indonesia dengan Palestina tidak ada
hubungannya dengan jarak geografis dan budaya, melainkan karena sama-sama menjadi
bagian umat Islam dunia atau bisa juga dengan alasan kemanusiaan. Perlu diingat
penduduk palestina tidak semuanya muslim.
Secara politis presiden
Sukarno dahulu sangat menginginkan Palestina merdeka. Palestina juga turut
bergabung pada Konferensi Asia Afrika di Bandung, ditambah lagi Palestina
merupakan negara yang paling awal mendukung kemerdekaan Indonesia. Keterikatan
politik ini semakin mepertegas proximity itu, sekaligus menjawab kenapa
muslim Indonesia sangat antusias mengikuti berita di media mengenai Palestina.
Corak Tersendiri
Antusiasme itu disambut
baik oleh industri. Media-media arus utama sangat jelas berlomba-lomba
memberitakan soal konflik di Palestina. Cara kerja media yang kapitalistik
menempatkan Palestina bukan sebagai pihak yang harus dibela, namun sebagai
umpan untuk mengeruk ceruk pasar Muslim yang teramat potensial.
Muncu kemudian, sejak
lama wacana untuk meramu ulang konsep Jurnalisme disesuaikan dengan asas
keislaman, biasa disebut dengan Jurnalsime Islam. Jurnalisme semacam ini bisa
menjadi alternatif pegangan bagi media yang sudah mengeyampingkan keberpihakan
dan mengutamakan kapital. Tentu masih menjadi perdebatan, sebab konsep ini
belum benar-benar matang dan jelas.
Meski demikian, antara
jurnalisme dan islamisme adalah dua hal yang berbeda. Jurnalisme sendiri hampir
selalu identik dengan barat (eropa), sementara yang diusung jurnalisme ala
barat ini adalah semangat liberalisme. Islamisme mepunyai prinsip nilai
tersendiri seperti tauhid, akhlaq, amar ma’ruf nahi munkar, dan
amanat.
Sebenarnya sudah ada yang
mengusulkan warna baru jurnalisme yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman
yang disebut di atas. Ia adalah Hamid Mawlana dalam paper Theoretical
Perspectives on Islam and Communication. Konsep ini pada porsi tertentu bisa
diterima, namun di sisi lain sangat sulit diterapkan.
Yang bisa diterima
mengenai prinsip tauhid. Jika diterapkan dalam prinsip jurnalisme berarti
penolakan kultus individu dan penolakan terhadap superioritas manusia. Ini bisa
diterima, karena memang media yang berintegritas sudah sewajarnya menghindari
kultus individu, biasanya yang dikultuskan adalah pemilik media.
Yang cukup sulit adalah
prinsip takwa, para jurnalis dituntut untuk taat kepada Allah, yang juga
menjadi indikasi kenaikan jenjang karir. Memang terkesan baik, cuma nilai ketakwaan
itu bersifat individu. Sulit mengukur tingkat ketatan seseorang terhadap Tuhan.
Sedangkan Janet Steele
dalam buku Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim
Asia Tenggara (2018), pernah melakukan penelitian mengenai hubungan
Jurnalisme dan Islam di dua negara Asia Tenggara dengan penduduk muslim terbesar,
yaitu Malaysia dan Indonesia.
Di Malaysia Steele
menemukan jurnalis atau wartawan surat kabar nasional Harakah berusaha
menerap prinisp jurnalisme dan ajaran Islam. Begitu juga di Indonesia, banyak
wartawan yang mengaitkan profesinya sebagai jurnalis dengan ayat Al-Qur’an.
Salah satunya adalah
Syahruddin El Fikri dari Republika, ia menyebut wartawan harus
menghindari fitnah. Wartawan Muslim juga harus menghindari konten yang bersifat
gosip dan gibah. Ini didasarkan pada Surat Al-Hujurat ayat 12.
Konsep mengenai
Jurnalisme Islam masih belum sempuna. Konsep ini hanya sampai pada taraf
indvidu, belum melembaga dengan prinsip-prinsip yang jelas. Sayangnya, diskursus
mengenai hubungan jurnalisme dan Islam masih sepi terdengar, padahal konsep
mengenai jurnalisme Islam bisa saja relevan di Indoensia.
Akhir-akhir ini banyak
bermunculan media online yang mengatasnamakan Islam. Media baru itu membawa wacana
keislaman di media sebagai konten utama, terkadang mereka juga saling bertarung
wacana. Sayangnya, kemunculan media ‘Islam’ ini tidak diberengi dengan menyempurnakan
makna mengenai jurnalisme Islam itu sendiri.
Banyak media online
mengatasnamakan Islam, masih tertatih-tatih mengusung konsep jurnalismenya. Ini
membuat cara kerja di meja redaksi juga membingunkan. Mereka kadang tidak bisa
membatasi konten mana yang merupakan karya jurnalistik.
Jadi wajar saja,
media-media Islam yang relatif baru bermuculan di jagad internet itu sulit mendapat
pengakuan Dewan Pers. Meki sedang tertatih-tatih, jurnalisme yang didasari pada
etika Islam sebagaimana penelitian Steele, jelas memiliki corak tersendiri.
Jurnalisme semacam ini sudah seharusnya dikaji secara serius hingga muncul satu
corak baru yang bisa menjadi alternatif.