Cara 'Berpolitik' Kita yang Korup, Membuat Kehidupan Sosial Kita Juga Korup

Waktu SMP, aku harus menempuh jarak pulang 20 km. Untuk ukuran anak SMP sepertiku, yang ringkih, kurus, dan ndeso, itu jelas berat. Rumahku di kampung pinggiran Boyolali, sedang sekolahku bertempat di pusat kota Solo, dekat alun-alun dan pasar Gede. 

Uang jajanku lima ribu, itu sangat mepet, mengingat aku harus oper dua kali saat pulang, naik angkuta 04 ke palang sepur Joglo, terus naik bus/angkot arah Solo-Purwodadi sampai ke pal 10, sebutan untuk jalan masuk ke kampung. 

Nah di Pal 10 ini aku masih harus nunggu nunutan, siapapun tetangga atau orang asing tidak masalah, setidaknya nunut sampai deket rumah. Sebab dari pal 10 sampai ke rumah masih harus menempuh dua kilo jalan kaki. Karena aku engga mau jalan--meski kadang terpaksa yaa jalan, aku lebih memilih nunggu orang yang menawari boncengan. 

Di momen menunggu nunutan ini, aku biasa nongkrong di portal penjaga jalan. Portal ini fungsinya buat narik semacam pajak jalan (ini legal), yang nantinya (setauku ya) disetor ke kelurahan atau semacamnya. Ini berkarcis. Resmi.

Aku nunggu sambil ngobrol sama bapak-bapak penjagga, perewakan preman, aku ya engga tau ko bisa mayan akrab (walau engga sampai tau nama) tapi kita sering ngobrol. Dari obrolan yang banyak itu, aku tahu bahwa bapak ini mantan preman, inti dari banyak ceritanya dia nggali. Tentu aku tidak bisa verifikasi kebenaran ceritanya, itu yaa tidak perlu. Apalagi waktu itu aku masih SMP, percaya saja.

Bapak ini sepertinya juga menempuh hidup yang kurang mapan. Ia punya anak, dan anaknya suka modifikasi motor. Bagiku itu boros, mengingat menurut pengakuanya ia pas pasan secara ekonomi. Sedang anaknya memiliki hobi yang boros. Namun tak apalah, wong ia yaa cerita itu dengan amat bangga. 

Selang sesaat kita ngobrol--aku lebih banyak mendengar sebenarnya--ada mobil lewat, setiap mobil wajib setor uang sekali. Waktu itu, cuma setor sekitar dua ribu kalau tidak salah. Dari jumlah uang itu; sebagian masuk kantong kanan, sebagian masuk kantong kiri. Aku ising tanya, "loh kok bedo, pak?". "Menengo, iki dinggo jajan anak." Bapak ini tau kalau ia sedang ngantongi uang yang seharunya engga ia kantongi. Begitu juga aku. Aku cuma bertanya-tanya, wong aku yaa engga tau masalah orang dewasa.

Masih masa-masa SMP, di waktu yang berbeda. Aku kehabisan uang. Sedang aku harus pulang naik angkot 04 plus oper naik bus kecil/angkot. Mau pinjem kawan, aku malu. Tidak ada jalan lain selain nekat. 

Aku putuskan jalan kaki dari sekolah ke Pasar Legi. Jika dari Pasar Legi aku bisa naik angkot sekali aja, abis itu sampai ke Pal 10. Alahasil naik juga, ketika angkot yang kunaiki lewat di palang sepur Joglo, naiklah dua cewe yang aku kenal, ternyata dia temen kampungku, temen pas SD. Aku sempet mikir, "apa aku minjem mereka aja ya?", mikir lama, dan aku ternyata sungkan. Tidak sanggup hati minjem temen cewek yang engga akrab-akrab amat.

Semakin dekat dengan tujuan, semakin deg deg-an, iki pie bayar ee. aku berdoa terus, berharap Allah apikan diallah enek seng bayari. Cuma keajaiban itu tidak terjadi. Aku sudah memikirkan skenario terburuk. Aku pura-pura dibayari orang, bilang ke supir, "Pak, aku dibayari bue seng buri." Pikiran licik ku keluar. 

Benar saja, ketika penumpang semakin sedikit, aku seamkin ketar ketir. Aku malu kalau diketaui dua cewek itu, kalau aku engga sanggup bayar. Akhirnya aku tunggu mereka turun dulu, selang beberapa gang, gantian aku yang turun. Ternyata aku engga berani ngapusi sopir. 

Wes akhrinya sepotan, memanfaatkan ibu-ibu yang juga mau ikut turun, aku bareng, dan aku langsung kabur. Karena saat itu kan supir ee lagi lengah. Sunguh polos, aku yang kampungan kaget dengan segala perubahan kehidupan sekolah. Beda jauh jaman SD yang cuma 100m dari rumah. Termasuk kaget ketika merasakan uang ternyata bisa sangat urgent.

Bapak-bapak si penjaga portal, dan aku, entah karena terdesak atau secara sadar; sudah melakukan korup di level masing-masing. Dua kisah itu mewujud hingga hari ini, kisah-kisah nyleneh tur sepele mengindikasikan secara terang nek kehidupan sosial kita bisa saja sudah terlanjur korup. Bapak si penjaga portal, misal, secara terang dan berani tapi juga jujur bahwa dia korup buat jajan anaknya. Juga aku yang sedari naik anggot mikir keras bagaiamana agar bisa lolos dan berhasil kabur engga bayar. 

Dari dua ceritaku, aku curiga, ini sudah menjadi tamplate kita berpolitik. Berpolitik dalam artian luas yaa, bukan politik praktis kayak kegiatan partai-partai dan pemilu itu; tapi politik yang aku maksud cara kita 'mengakali' kehidupan ini biar lebih baik atau cara kita ngatasi keterdesakan, terkhusus secara finansial.

Pikiran kita sudah terlanjur disetting sepragmatis mungkin; artinya sebisa mungkin cari cara yang paling singkat tapi untung banyak. Nek perlu nilai etis (semacam kejujuran) itu dihilangkan, enggapapa, asal ada alasan untuk menggugurkannya; misal karena terdesak atau butuh. 

Yang aku alami dan yang dialami bapak si penjaga portal itu yaa kira-kira kan polanya sama; sama-sama terdesak dan butuh. Lalu pikiran mengenai etis tidak etis disingkirkan, yang penting kita bisa survive dulu. Kepentingan jangka pendek kita nomor satu, yang lain belakangan.

Pikiran kita sudah terlanjur disetting sepragmatis mungkin

Bisa saja loh, gara-gara tidak bayar naik angkot, aku ambil bagian dari permasalahan keuangan si sopir. Misal dilalah bapak itu benar-benar butuh uang buat bayar SPP sekolah anaknya. Nah, aku jangan-jangan ambil bagian dalam penunggakan bayar SPP itu. Juga si penjaga portal, jangan-jangan dari korupnya yang mungkin cuma 5rb sampai 10rb per minggu, turut membuat jalan yang rusak telat diperbaiki.

Jadi, jelas cara kita berpolitik buat ngakali hidup kita agar lebih baik, malah berdampak ke kehidupan yang lebih jamak; kehidupan sosial. Tidak heran, kehidupan sosial kita turut korup. 

Bagaiamana kehidupan sosial yang korup itu? 

Aku punya dua kisah lagi, pertama, aku sudah cerita di postingan lain, cuma mau aku perkuat, ketika masyarakat mau dengan rela dan sadar menerima politik uang. Alasannya yaa pasti, "wong dikei yo ditompo, perkoro aku ra milih kan yo rapopo". Juga ini dimaklumi sebab uangnya (yang masuk ke kas RT) bakal digunakan buat keperluan sosial. Ini masuk akal, masyarakat tentu mau juga, malah untung. Sama-sama untung. Kira-kira gitu.

cara kita berpolitik buat ngakali hidup kita agar lebih baik, malah berdampak ke kehidupan yang lebih jamak; kehidupan sosial. Tidak heran, kehidupan sosial kita turut korup. 

Lain lagi, nun di sebauh kampung sana, ketika tiba-tiba pandemi mendadak ada di Indonesia. Lambat laun, juga masuk ke kampung itu, banyak yang terdampak secara finensial, kesehatan, dan pendidikan (karena sekolah libur). 

Di situasi seperti itu, ada bapak-bapak para pemuka agama dan tokoh masyarakat kumpul di masjid. Mereka rapat buat bahas renovasi masjid, yang sebenarnya masih sangat layak. Cuma atapnnya saja yang bocor, dan kamar mandi terlalu kotor. Cukuplah sebenarnya dau itu diperbaiki. 

Namun hasil rapat berkata lain, mereka memutuskan akan membangun ulang masjid yang masih layak itu, dengan estimasi nilai pembangunan sebesar 2M. Itu angka yang banyak. Mengingat kas masjid paling banyak cuma ada 100 juta.

Peserta rapat berfikir membangun masjid megah nan mewah adalah kunci kehidupan bergama menjadi lebih baik. Dan tidak berfikir, bahwa masyarakat sekitar masjid lagi sedih, merana, dan sakit gara-gara pandemi. Kira-kira kalau uang 2M itu dialokasikan untuk membantu keluarga yang terdampak, tidakkah itu lebih maslahat?

Lalu ketika masjid itu meninggikan menara, sangat teramat tinggi. Selang sebentar, ada bapak dua orang anak meninggal karena Covid. Rumahnya bertetangga dengan masjid, paling 5m dekatnya. Bapak ini punya anak yang masih SD dan satunya kuliah, istrinya kalau tidak salah kerja pabrik. Sekali lagi, bapak ini meninggal terdampak Covid bebarengan dengan pembangunan masjid senilai 2M.

Esoknya, ketika Sholat Idul Adha, masjid itu teteap menggelar sholat jamaah. Orang sekampung datang berkumpul merayakan Idul Adha. Aku turut senang. 

Korup itu bisa juga berarti menempatkan sesuatu tidak proporsional dan tidak pas. Politik uang, meski alasannya pembangunan, apa itu proporsional? Membangun masjid, meski tujuannya adalah memenuhi sarana ibadah, apa itu pas dan tidak melebih-lebihkan, mengingat di kampung itu banyak yang terdampak Covid? 

Jika ditanya, "terus karepmu pie?" Aku yaa engga punya solusi, kamu pasti juga engga. Maka mari nrima saja dan syukuri, karena sungguh, selamat, mending kita merayakan diri kita yang korup ini, dan kehidupan sosial kita (yang juga mungkin sudah terlanjur) korup. Ya kan, toh engga sebesar dan sebrengsek korupsi bansos. ehehehehe~

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain