Google, yang digagas dua mahasiwa itu baru merintis ketika persaingan sengit itu masuk babak akhir (1990an). Ia berusaha masuk bukan sebagai penyedia perangkat lunak, atau perangkat keras.
Ambisinya adalah 'mesin pencari'. Kalau Microsoft dan Apple bersiang menyediakan browser, yang memungkinkan buat mengakses website beserta informasinya. Google kepingin menghimpun semua informasi di satu tempat, seperti gudang, lalu semua orang bisa mengakses.
Lambat laun kata benda 'Google', berubah jadi kata kerja 'Googled', dalam bahasa kita "googling".
"Episode Buffy the Vampire Slayer yang tayang pada 15 Oktober 2002, bercakap "have you Googled her yet?" (sudahkah kamu googling itu?)." Ini terekam dalam buku Digital Wars (2012) garapan Arthur:64.
Gawat! Google menjelma semacam kita suci; tempat para jamaahnya memverifikasi 'kebenaran', juga tempat mendapat pentunjuk-pentunjuk praktis sampai ideologis. Kalau kitab suci dan hadits punya para perawi. Google juga punya, namanya algoritma.
Lewat algoritma, Google menentukan mana informasi paling penting, mana yang sampah. Urutan paling atas kita anggap penting, tentu. Yang tenggelam paling bawah, angin lalu. Tapi yang paling penting buat Google, bukan berarti penting buat kita. Bisa jadi yang teratas adalah sampah, mirip junk food, memang renyah dicicipi, tapi membuat kangker.
Penyedia informasi, termasuk pers yang beralih ke medium .com mengakali algoritma, toh algoritma kan cuma angka biner. Dia bisa dicari polanya, biar siaran pers naik ke posisi teratas. Dan itu terjadi. Junk information dan budaya googling membuat kita kadang tidak utuh sebagai manusia.
Bagaimana mau utuh, informasi saja--mana yang penting, mana yang tidak penting--itu ditentukan sama angka biner dan algoritma. Mana bisa menjadi manusia (merdeka) seutuhnya, kan?
Lambat laun kata benda 'Google', berubah jadi kata kerja 'Googled', dalam bahasa kita "googling".
"Episode Buffy the Vampire Slayer yang tayang pada 15 Oktober 2002, bercakap "have you Googled her yet?" (sudahkah kamu googling itu?)." Ini terekam dalam buku Digital Wars (2012) garapan Arthur:64.
Gawat! Google menjelma semacam kita suci; tempat para jamaahnya memverifikasi 'kebenaran', juga tempat mendapat pentunjuk-pentunjuk praktis sampai ideologis. Kalau kitab suci dan hadits punya para perawi. Google juga punya, namanya algoritma.
Lewat algoritma, Google menentukan mana informasi paling penting, mana yang sampah. Urutan paling atas kita anggap penting, tentu. Yang tenggelam paling bawah, angin lalu. Tapi yang paling penting buat Google, bukan berarti penting buat kita. Bisa jadi yang teratas adalah sampah, mirip junk food, memang renyah dicicipi, tapi membuat kangker.
Penyedia informasi, termasuk pers yang beralih ke medium .com mengakali algoritma, toh algoritma kan cuma angka biner. Dia bisa dicari polanya, biar siaran pers naik ke posisi teratas. Dan itu terjadi. Junk information dan budaya googling membuat kita kadang tidak utuh sebagai manusia.
Bagaimana mau utuh, informasi saja--mana yang penting, mana yang tidak penting--itu ditentukan sama angka biner dan algoritma. Mana bisa menjadi manusia (merdeka) seutuhnya, kan?