Mulyo (belum) Pamit(an)

Mulyo, kucing jawa-abangan setengah bule. 

Entah kenapa, tiba-tiba dulu sehabis KKN diriku kepingin banget ingon-ingon kucing. Tapi ternyata ibuku menolak keras. Sebab pengalaman yang lalu, mungkin 10 tahun lalu, terakhir punya kucing sedikit njengkeli, ia buang air dimana-mana, melahirkan anak pinak seenaknya, meski begitu ibu tetep ngingu sampe si kucing itu mati.

Beda dengan Mulyo. Kucing berwarna oren itu memang awalnya ditolak keras sama ibu, tapi satu bulan kami merawat kucing 'buangan' itu, ibu berubah sikap, dari yang menolak keras, kini malah sering ngajak ngobrol Mulyo. Iya, ngajak ngobrol seekor kucing. Aku tentu tidak habis pikir, kok bisa, aneh kok kucing diajak ngobrol. Sehabis itu, kami sekeluarga biasa ngobrol dengan Mulyo. Aku sadar kami malah jadi keluarga 'gila'.


Mulyo sebenarnya tumbuh dengan baik. Waktu kecil berumur dua bulan benar-benar sehat dan periang. Suka main-main, kadang malah yang diajak main majikannya, eh babunya.

Bulunya aman, tidak ada kutu pun jamur. Kukunya tidak tajam, tidak pernah mencakar, kadang gigit cuma tidak pernah serius melukai. Yahh kucing baik. Sangat baik.

Cuma ketika sudah cukup berumur dan birahi muncul, si Mulyo ini sering minta keluar rumah. Kita tau adegan setelahnya, ia bakal keliling kampung melirik cewek-cewek, mendekati, mendekur, minta kawin. 

Sudah gitu tidak tanggung jawab, si cewek hamil, ia tidak pernah memberi nafkah, berupa hasil buruan atau semacamnya pun tidak. Akhir-akhir ini memang populasi kucing di kampung kian meningkat, aku manaruh curiga ke Mulyo, ia biangnya, tak terbayang banyaknya anak Mulyo ini. Sungguh kucing buaya, garangan!!!!

Meski garangan dan birahi suka naik ketika lihat cewek. Mulyo ini bukan pendekar. Ia pernah, bahkan berkali-kali kalah tarung. Ia kalah galak sama kucing ras anggora yang sesekali muncul di kebon rumah. Hah, Mulyo cuma di belakang pintu sambil mengaung, tidak berani mendekat.

Sesekali Mulyo pulang dengan bekas cakaran. Hasil tarung tebutan cewek.

Yang paling parah pas Ramadhan kemarin, ketika Mulyo tidak pulang hampir dua minggu. Pulang-pulang babak belur, luka paling parah di bagian muka. Entah gara-gara apa, mulutnya sobek, gigi gerahangnya bengkok. Dia pulang dengan kondisi seluruh mukanya tertutup darah yang sudah kering, matanya cuma terbuka sedikit, dan lubang hidungnya terbuka satu. Jelas itu membuat nafasnya terengah-engah. Sudah kondisi begini, Mulyo tidak bisa makan karena mulutnya sobek tadi. Ia berusaha makan, tapi tetep tidak bisa. Jalan saja sempoyongan, pendangannya berkurang sampai nabrak tembok.

Hampir satu bulan tidak makan. Ia cuma bisa minum. Membuat badannya kerempeng, tinggal tulang.

Ibu pasrah, "Mbok wes nek meh mati gek mati, nek urip yo ndang mari." Beriringan rasa kasian, itu sebenarnya sebuah doa.

Momen dramatis ini akhirnya berakhir, ketika aku berikhtiar buat beli alkohol di apotek. Lalu aku campur dengan air panas, terus aku gosok sampai muka si Mulyo bersih dari kotoran dan darah kering. Setidaknya aku tidak merasa berdosa, jika Mulyo mati, aku sudah ada usaha. Eh ternyata, ia kemudian bisa makan dengan gigi gerahang yang sebelah kiri. Langsung kemudian dibelikan daging ayam sekilo. Dihabiskan dalam beberapa hari. Lalu berlangsung sehat dan gemuk. Bahkan lebih gemuk dari sebelum kritis.

"Ah, pertolonganku berhasil" mbatinku.

Aku menganggap nyawa Mulyo sudah hilang delapan. Tinggal satu aja.

***


Tadi pagi, Mulyo seperti biasa, setelah ekspansi ke seluruh kampung buat menyalurkan birahinya. Ia pulang minta makan. Mulyo yang sudah berumur satu tahun lebih ini, hanya pulang ketika lapar. Habis itu pergi lagi.

Setelah makan, ia keluar lagi. Tumbuhnya masih sehat, bulunya lembut, tidak ada luka di bandan, gayanya masih sok lincah, matanya sipit seperti biasa. Dengan tubuh sehat ia menuju kebon belakang milik tetangga, kemudian nafasnya mungkin menjadi berat, lalu tergeletak tepat di belakang rumah tetangga. Ia berbaring seperti tidur, orang mengira pasti tidur, tapi mulutnya tidak bergerak, hidungnya juga, perutnya tidak kembang kempis, lalu makin lama, kakinya kaku, begitu juga leher dan kepalanya. Sekujur tubuh kaku.

Setelah pernah melewati derita sebelumnya sampai tidak bisa makan dan luka berat, Mulyo mati seketika, entah kenapa, ketika ditemukan oleh tetangga, sudah tergeletak begitu saja. Mulutnya yang sedikit terbuka mengeluarkan liur bercampur darah, sedikit merah. Selebihnya tidak ada sama sekali luka di sekujur tubuh. Tidak ada. Bahkan nyawanya juga tidak ada. Kasihan.

Ternyata, tetangga yang lebih dulu menemukan Mulyo sudah menyiapkan galian di kebon belakang rumah. Galian yang lebar dan dalam, mengingat tubuh Mulyo lumayan besar dan gemuk.

 

Beriringan tangis adek, aku angkat mulyo, bulunya masih lembut, badannya yaa berat, tapi tetep aku harus taruh di galian itu, baru kemudian ditutup godong gedang, setelahnya kemudian dikubur. Proses yang cepat dan seketika. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada kata pamit.

Setelah 10 tahun kami sekeluarga tidak ingon-ingon kucing, baru kali ini kita terikat secara batin, dan merasa kehilangan. Bahkan sampai Embah, pernah membelikan Mulyo daging ayam setangah kilo. Biasanya daging itu dibelikan buat cucu-cucunya. Mungkin juga Mulyo sudah dianggap cucu.

***

Ibu nyletuk,

"Untung ora tuku ayam seng akeh dinggo Mulyo", ah mungkin itu firasat seorang ibu, kalau Mulyo bakal 'tidak makan lagi'.

Mulyo sudah mohon pamit, atau tepatnya malah belum sempat pamit, setelah hampir 2 tahun ngerepoti kami sekeluarga. Emang, esensinya majikan ee ki kucing ee, dudu seng due~
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain