Podcast Tanya by Dhima Wahyu Sejati dengerin!

Tidak Harus Sekolah Rakyat, Tidak Harus Sekolah Unggulan

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf meninjau Sekolah Rakyat di Kota Solo, pada 2025.

Kadang kita gemar sekali melabeli sekolah dengan kata-kata yang agak berlebihan seperti “unggulan” dan “rakyat”. Persis yang dilakukan oleh Presiden Prabowo lewat program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan.

Lebih lagi, pemerintah sekarang terkesan gemar mengelompokkan sekolah untuk orang pintar atau sekolah untuk orang miskin lewat dua program pendidikan itu.

Pertanyaannya kemudian, sekolah negeri kebanyakan akan dikelompokkan sebagai apa. Mungkin sekolah biasa-biasa saja untuk orang-orang awam kebanyakan. Khususnya yang miskin tapi IQ rata-rata 78.

Tidak sampai di pikiran saya, kenapa harus ada pengelompokan. Ini sedikit kontradiktif dengan semangat kita untuk menghadirkan sekolah yang inklusif.

Pengelompokan ini mengingatkan saya ketika mendaftar SMP. Sekitar 2012/2013 sistem penerimaan waktu itu didasarkan pada NEM dari Ujian Nasional (UN). Semua sekolah berlomba-lomba menerima siswa dengan nilai tertinggi.

Tentu hanya sebagian sekolah yang dapat siswa dengan nilai UN tinggi. Orang-orang pintar ini, tidak jarang kebanyakan berasal dari luar kota, berkumpul di satu sekolah saja. Akibatnya terasa ada kesenjangan perihal prestasi akademik.

Sekolah waktu itu, juga sedang berlomba mendapatkan label Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dari pemerintah, yang sekarang label itu sudah dihapus. Internasional yang disematkan di nama sekolah terasa sangat seksi dan menjual. Reputasi sekolah pun naik, sebab menjadi sekolah unggulan yang memiliki murid dengan IQ di atas rata-rata.

Orang-orang biasa yang kurang beruntung (underprivileged), dari keluarga miskin, bersekolah di tempat pilihan ke sekian. Mereka berkumpul di satu sekolah yang oleh masyarakat kemudian dianggap sekolah “buangan”, karena tidak memiliki label “unggul” atau favorit.

Kita coba membayangkan psikologis guru, anak, dan orang tua di sekolah “buangan” itu. Mungkin mereka minder, merasa rendah diri, dan lebih parahnya lagi merasa tidak bisa berkembang.

Bertahun-tahun ini, sebetulnya ada iktikad baik dari pemerintah, terutama di Kota Solo, untuk menghapus label itu. Namun kini, saya khawatir, jangan-jangan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda punya efek diskriminatif yang sama. Seperti keadaan satu dekade lalu.

Saya menangkap Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda memang bertujuan untuk melaksanakan amanah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tertuang di pembukaan Undang-Undang Dasar. Itu memang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah.

Namun, “mencerdaskan kehidupan bangsa” seharusnya bersifat inklusif atau terbuka untuk semua orang. Tiga kata sakti itu berlaku untuk semua yang diakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Maka agaknya kurang tepat jika pemerintah membuat sekolah “super bagus” hanya untuk dua kelompok yang masuk ke Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda.

Toh, kita sebetulnya sudah punya sistem yang mulai membaik. Bahkan sudah mengakomodasi inklusivitas. Misalnya di Kota Solo, sekolah negeri sudah membuka kuota 45% dari total kursi yang tersedia untuk jalur domisili (dulu bernama zonasi). Ini untuk mengakomodasi hak warga lokal untuk sekolah.

Bahkan untuk anak yang memiliki kondisi khusus seperti lambat dalam belajar (slow learner), disleksia, dari keluarga miskin ekstrem, dan lainnya sudah diakomodasi dengan jalur Afirmasi. Ini sudah sangat bagus sebab calon siswa tidak harus punya hak istimewa (privilege) sebagai anak orang kaya dan pintar untuk mendapatkan akses sekolah. Terlebih sekolah ini benar-benar gratis.

Semangat yang dilakukan ini sudah mengarah ke pendidikan yang inklusif. Pendidikan yang memungkinkan diakses oleh siapa saja. Meski, memang sistem ini memang seperti obat, pahit di lidah dan ada efek samping.

Pil pahit itu harus ditelan oleh sekolah-sekolah yang dulunya hanya menerima siswa-siswa pintar. Mereka tentu mengeluh karena siswa yang diterima dengan sistem sekarang tidak sepintar dulu. Akhirnya prestasi akademik menjadi turun.

Itu wajar. Sekolah yang hanya menerima siswa pintar jelas secara otomatis mendapat banyak medali karena prestasi di bidang akademik. Tidak ada yang salah, tapi apakah esensi pendidikan seperti itu. Bukankah seharusnya pendidikan itu membuat orang bodoh menjadi pintar. Membuat orang manja menjadi mandiri. Kasarnya, kalau perlu membuat monyet bisa membaca dan menghitung.

Untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pilihan paling rasional adalah menghadirkan pendidikan yang inklusif. Sekolah yang bisa diakses oleh siapa saja dari kelas sosial manapun, dan dengan kondisi apapun. Semua orang boleh sekolah.

Namun sistem hari ini mendapatkan banyak masalah. Setiap tahun, kita membaca berita soal praktik kecurangan orang-orang mengakali sistem agar bisa masuk sekolah yang dianggap unggulan meski di luar ketentuan zonasi.

Asumsi saya, kecurangan itu terjadi sebab puluhan tahun masyarakat terlanjur menganggap ada sekolah unggulan, jika tidak masuk situ maka anaknya tersingkir sehingga peluang untuk sukses di masa depan semakin tipis.

Asumsi kedua saya, bahwa fasilitas dan kualitas pengajaran sekolah itu berbeda. Pembangunan sekolah yang timpang di tahun-tahun sebelumnya, menyumbang masalah ini. Maklum, orang tua enggan anaknya bersekolah di tempat yang tidak layak. Ini mungkin lebih mendekati benar.

Maka, yang kita butuhkan hari ini, bukan ratusan sekolah baru dengan label Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda.

Ini klise, pemerintah pun saya yakin tahu, bahwa yang kita butuhkan sejak 1945 sampai hari ini, hanya pemerataan kualitas sekolah. Ini lagu lama tapi tidak pernah terealisasi sepenuhnya.

Kata kuncinya adalah akses pendidikan yang sama, dengan begitu anak-anak di pelosok sekalipun bisa sekolah, dengan kualitas yang tidak kalah dengan kota-kota besar seperti Jakarta.

Mari mundur sebentar, ketika Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda membuka akses pendidikan lewat Politik Etis. Waktu itu, meski masih terbatas, namun akhirnya pribumi dan perempuan punya hak yang sama untuk merasakan bangku sekolah. Sebab sebelum itu, yang boleh sekolah hanya anak dari priayi dan pejabat pemerintah saja.

Hasilnya, bertahun-tahun setelahnya, muncul orang-orang terpelajar dari kalangan bumiputra. Orang-orang terpelajar ini, kelak yang memicu gerakan kemerdekaan serta gagasan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Salah satunya, adalah sekolah kedokteran STOVIA yang menjadi tempat berkumpulnya para pemuda terpelajar. Kemudian sebagian dari mereka mendirikan organisasi modern seperti Budi Utomo pada 1908. Organisasi ini memicu gelombang pergerakan baru dan memunculkan kaum republikan.

Pada masa politik etis, tentu akses pendidikan tidak sebagus sekarang. Namun keadaan sekarang masih butuh pemerataan akses pendidikan, pemerataan kualitas sekolah, pemerataan guru, dan lainnya.

Pemerataan memang butuh biaya tidak sedikit. Tapi saya yakin ketika kita menulis kata-kata sakti “mencerdasakan kehidupan bangsa”, secara sadar bahwa kita sejak awal siap untuk rugi dan mengeluarkan banyak uang untuk mewujudkan cita-cita itu. Negara mengamini ini dengan mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan.

Toh pemerintah selalu menganalogikan pendidikan adalah investasi untuk mencetak manusia sebagai sumber daya. Kalau mengikuti logika itu, investasi untuk pemerataan itu patut dilakukan.

Terlebih Wakil Presiden kita, Gibran Rakabuming Raka sudah pernah berpesan di kanal YouTube miliknya bahwa kita harus menyambut bonus demografi 2030. Sungguh pesan yang menyentuh dan mulia, kan? Cara menyambut bonus itu, salah satunya adalah serius mengurus pemerataan pendidikan sampai ke pelosok.


Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain