Rezza Aji Pratama dari KataData, dalam forum Lokakarya Penulisan Artikel Jurnalis Lingkungan di Kudus, Kamis (20/11/2025), menekankan bahwa kadang isu lingkungan dari ruang redaksi tidak sampai ke pembaca.
Sehingga tantangan terbesar jurnalisme lingkungan hari ini bukan lagi sekadar mencari data, melainkan bagaimana membuat data tersebut didengar dan dipedulikan.
Mengapa isu sepenting krisis iklim justru sering dihindari oleh pembaca? Jawabannya terletak pada psikologi audiens dan cara kita bercerita.
Memahami Tingkat Pemahaman Audiens Indonesia
Kita harus mengakui realitas literasi iklim di tanah air. Berdasarkan data dari Yale Program on Climate Change Communication (2021), tingkat pengetahuan orang Indonesia tentang pemanasan global masih sangat timpang.
Fakta mengejutkan menunjukkan bahwa hanya 2% masyarakat Indonesia yang mengaku mengetahui banyak tentang isu ini.Sebagian besar, yakni 55%, hanya mengetahui sedikit, dan 20% bahkan tidak pernah mendengarnya sama sekali.
Data ini memberikan sinyal keras bagi redaksi: jurnalisme kita tidak boleh terlalu rumit. Kita harus kembali ke dasar. Membuat liputan dengan penjelasan singkat dan sederhana menjadi krusial karena kita berbicara kepada audiens yang mayoritas masih awam.
Tugas utama jurnalis adalah menyederhanakan isu lingkungan yang rumit menjadi bahasa yang dapat dicerna semua orang.
Proximity
Kendala utama mengapa isu lingkungan seringkali "meleset" dan tidak sampai ke hati pembaca adalah masalah proximity atau kedekatan. Selama ini, narasi yang dibangun seringkali berkutat pada pencairan es di kutub utara atau beruang kutub yang kehilangan habitat.
Bagi orang Indonesia di garis khatulistiwa, isu itu terasa sangat jauh—sebuah konsep psikologis yang disebut Distance. Isu yang jauh secara geografis maupun psikologis tidak akan menggugah kepedulian.
Selain jarak, musuh terbesar keterbacaan adalah nada pemberitaan itu sendiri. Audiens hari ini, terutama pasca-pandemi, merasa lelah dengan berita suram (doom) yang terus-menerus mencekam.
Hal ini memicu fenomena news avoidance atau penghindaran berita. Data dari Reuters Institute (2023) menegaskan bahwa 78% audiens menginginkan berita yang menawarkan solusi, dan 76% menginginkan cerita positif yang membantu mereka memahami kompleksitas masalah tanpa merasa putus asa.
Belajar dari Kampanye Air: Kekuatan Pengaruh Sosial
Jika narasi ketakutan tidak bekerja, lalu apa yang efektif? Kita bisa belajar dari sebuah eksperimen sosial tentang kampanye hemat air. Ketika pemerintah kota mencoba berbagai pesan, ternyata himbauan moral soal lingkungan atau uang tidaklah yang paling ampuh. Pesan yang paling efektif justru berbunyi: "Ayo hemat air karena tetangga Anda juga melakukannya".
Ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mudah terpengaruh oleh perilaku orang lain. Dalam konteks media digital, prinsip ini sangat relevan untuk diterapkan di media sosial atau berita arus utama. Konten yang menunjukkan gerakan kolektif atau tren positif akan lebih mudah viral dan diterima ketimbang konten yang menghakimi.
Gen Z
Pendekatan khusus perlu diambil ketika bicara soal Gen Z. Mereka adalah generasi yang sangat melek politik dan peduli isu lingkungan, namun mereka juga yang paling rentan terkena eco-anxiety.
Secara psikologis, terlalu banyak mengonsumsi berita doom membuat mereka merasa hopeless dan tidak berdaya. Muncul pertanyaan di benak mereka: "Masalah ini terlalu kompleks, negara dan korporasi harus terlibat, lalu gua sendirian bisa apa?"
Untuk merangkul Gen Z, jurnalisme harus menyuntikkan harapan. Alih-alih hanya memaparkan kehancuran, kita perlu mengangkat profil anak muda yang membuat inovasi bahan bangunan ramah lingkungan, atau startup yang mengolah sampah plastik.
Kisah-kisah inspiratif seperti ini membuktikan bahwa masih ada harapan dan memvalidasi bahwa tindakan kecil mereka bermakna.
Visual, Kreatif, dan Membumi
Untuk menerjemahkan strategi ini ke dalam aksi, ruang redaksi harus beradaptasi. Tulisan panjang (long-form text) saja tidak cukup.
Kita membutuhkan newsroom yang terintegrasi, di mana data yang rumit diterjemahkan menjadi infografis, video, bahkan news game.
Era digital memberikan kanvas luas untuk bereksperimen secara kreatif—sedikit "nakal" dalam penyajian visual justru bisa menjadi kunci untuk menarik perhatian.
Akhirnya, dalam mencari angle berita, jurnalis harus membumi. Gunakan pendekatan "Temukan Mangga-mu". Istilah ini merujuk pada kasus nyata di mana perubahan iklim mengubah rasa dan kualitas buah mangga (seperti kasus di Mesir).
Carilah "mangga-mangga" lain di daerah kita—hal-hal keseharian yang berubah karena iklim. Selain itu, pantau "event tahunan" seperti banjir rob di Semarang yang polanya selalu sama.
Dengan mengangkat isu yang dekat, memantau pola lokal, dan selalu menyertakan solusi atau ajakan berpartisipasi, kita tidak hanya memberitakan masalah, tetapi juga membangun gerakan perubahan
.jpeg)
