Bagaimana Jepang Membangun Sepak Bola Lewat Anime?

Lewat "narasi", sepak bola Jepang tumbuh

Jepang punya banyak pemain berkelas yang tampil di liga tertinggi Eropa. Nama seperti Nakamura, Kagawa, Honda, sampai Minamino sudah tidak asing. 

Jika dibanding dengan pemain Asia lain, Jepang paling banyak memberangkatkan para pemainnya ke liga Eropa.

Puncaknya, ketika Jepang melawan Belgium di Piala Dunia 2018. Skuat timnas Belgium kala itu diisi posisi bintang yang sedang naik di liga eropa, seperti Courtuis, Kompany, Witsel, De Bruyne, Hazard, sampai Lukaku. Bisa di bilang ini generasi emas. 

Jepang berani tampil menyerang. Meski sempat unggul dua gol, Jepang tetap berusaha tampil menyerang. 

Meski akhirnya Jepang kalah, namun publik tau, Tim Samuarai biru itu sudah mati-matiaan dan patut dapat sanjungan yang amat besar. 

Sudah masuk babak 16 besar, manjadi capaian yang luar biasa. Sebab Jepang, bisa dibalang "baru" saja membangun sepak bola mereka. 

Terhitung, liga utama mereka resmi dijalankan tahun 1992, sampai timnas Jepang masuk piala dunia tahun 1998. Proses itu termasuk baru, jika dibanding dengan negara-negara eropa lain.

Menariknya, tidak seperti di Indonesia, tahun 1980an sepak bola sebenarnya bukan olahraga yang populer di Jepang. Mungkin, bisa dibilang sampai sekarang malah kalah populer jika dibandingkan dengan bisbol dan sumo. 

Sepak bola sulit berkembang tanpa dukungan masyarakat. Sebelum bermimpi sepak bola Jepang bisa maju, mereka harus terlebih dahulu mendapat dukungan dari masyarakat. 

Masalahnya, bagaimana menaikan pamor sepak bola di tengah masyarakat yang tidak terlalu minat. Membuat orang jatuh cinta secara instan cukup sulit dilakukan. 

Yang lebih penting, bagaimana mereka mengedukasi masyarakat tentang apa itu sebenarnya “sepak bola”?

Salah satu yang dilakukan Jepang adalah membangun “narasi”. Narasi itu penting untuk menggerakkan orang mencintai sesuatu. 

Termasuk menggerakkan anak-anak kecil bermain bola dengan filosofi yang jelas. Juga menggerakkan hati para orang tua untuk mendukung anaknya bermain sepak bola dengan benar. 

Jepang, berhasil membangun narasi itu—salah duanya—melalui anime berjudul Captain Tsubasa (1983) dan Ao Ahshi (2022). Mari kita bahas.

Captain Tsubasa (1983)

Cover serial TV Captain Tsubasa, rilis pertama 1983

Anak-anak Indonesia yang tumbuh tahun 90an, dan awal 2000an hampir pasti menonton serial anime Captain Tsubasa. 

Jujur saja, saya yang waktu itu masih bocah SD, sampai bercita-cita menjadi pemain sepak bola gara-gara Tsubasa. 

Captain Tsubasa sebenarnya sudah ditulis dalam bentuk manga sejak 1981. Serial ini terbit di majalah mingguan Shonen Jump. 

Dua tahun setelahnya, tahun 1983 serial Captain Tsubasa diadaptasi menjadi anime. Perlu diingat kembali, tahun 80an Jepang belum memiliki sepak bola segemilang sekarang. Di tahun-tahun ini, bahkan liga profesional Jepang, J1 Laague belum ada. 

Salah satu yang membuat sepak bola Jepang seperti sekarang adalah Captain Tsubasa. Anime ini turut membangun narasi sepak bola. 

Jika kita perhatikan, lalu menonton lagi serial ini dari awal. Narasi yang dihadirkan dalam Captain Tsubasa adalah kecintaan terhadap sepak bola sejak kecil. 

Tokoh utama dalam serial ini, Tsubasa Ozora, dibuat sebagai anak ajaib yang mencinta sepak bola. Ia sejak kecil sudah tumbuh bersama bola. Salah satu kata-kata ikonik yang ditekankan dalam serial anime itu adalah “bola adalah teman”.

Kecintaan Tsubasa Ozora terhadap sepak bola, memiliki efek yang sanggup mempengaruhi orang banyak. Apalagi serial ini ditonton anak-anak usia SD. 

Bisa jadi, setelahnya banyak yang mulai bercita-cita menjadi pemain bola. Lalu kelak anak-anak yang tumbuh dewasa itu akhirnya mencintai sepak bola, dengan menjadi pemain, atau minimal menjadi suporter.

Jika dipikir-pikir kembali, anime ini tidak masuk akal. Dibuat dengan menambahkan bumbu fantasi. 

Memang sejak awal anime ini membawa narasi yang bertujuan agar anak-anak tertarik terlebih dahulu dengan sepak bola. Termasuk menanamkan mental bermain. 

Dalam banyak episode, mental yang ditanamkan adalah “pantang menyerah”, ini tergambar ketika tim dalam keadaan kalah. 

Tidak selalu tim Tsubasa unggul. Malah lebih banyak kalah di awal babak. Dengan mental “pantang menyerah”, keadaan berbalik dan tim Tsubasa akhirnya menang. 

Setidaknya dua narasi ini—mencintai sepak bola dan mental bermain—yang paling dominan di ceritakan dalam serial Captain Tsubasa pada tahun 1980an. 

Bisa dibilang garis besarnya memang “hanya itu”, anime ini tidak sampai menyentuh dan memperkenalkan teknik-teknik dasar sepak bola. Memang kebutuhannya, sekali lagi, yang penting cinta dulu dengan sepak bola. 

Sapai akhirnya, animo sepak bola Jepang semakin meningkat. Secara resmi, tahun 1993 Jepang memiliki liga pro bernama J League. 

Hanya butuh 5 tahun, tepatnya 1998 Jepang sudah masuk piala dunia. Prestasi timnas Jepang ini berkat kualitas liga yang bagus. 

Dan salah satu yang membuat J League sukses adalah, narasi sepak bola yang dibawa Captain Tsubasa di tahun 80-an.  

Iya, Jepang membangun sepak bola mereka dari nol besar. Dari menyiapkan narasi agar masyarakat mencintai dan mendukung sepak bola, sampai membuat liga dengan solid, berbuah timnas Jepang masuk piala dunia. 

Tentu saja masih banyak yang dilakukan, kontribusi anime Captain Tsubasa hanya salah satunya.

Ao Ashi (2022)


Ao Ashi, rilis pertama 2022

Setelah selesai dengan serial Captain Tsubasa. Studio anime di Jepang terus meproduksi serial bertema sepak bola. 

Dari sekian banyak serial itu, ada anime menarik yang mengusung narasi serupa dengan Captain Tsubasa, namun ada sedikit perbedaan. 

Jika Captain Tsubasa bertema sepak bola dengan bumbu fantasi. Sebaliknya, anime Ao Ashi (2022) ini dibuat sangat realistis. 

Narasi besar yang dihadirkan adalah bermain sepak bola dengan “benar”. Sehingga anime ini lebih bersifat sebagai edukasi plus hiburan. 

Hiburannya terletak pada drama dan konflik perjalanan si tokoh utama menjadi pemain profesional. 

Edukasinya terletak pada bagaimana menampilkan teknis dasar bermain bola dengan sangat detail, dari mulai kontrol, dribble, passing, sampai shooting. Bakan filosofi bermain dan sisi taktikal juga disinggung dalam anime ini. 

Anime ini memang dimulai dari tokoh bernama Ashito Aoi yang sangat mencintai sepak bola. Berbeda dari Tsubasa, Aoi digambarakn tidak memilki teknik dasar yang baik, dia tidak bisa menguasai bola, bahkan sekedar mengontrol bola. 

Ini karena Aoi tinggal di pelosok desa Ehime bersama keluarganya yang miskin. Ia tidak memiliki kesempatan ikut akademi karena tidak punya uang. 

Ia hanya bisa ikut ekskul sepak bola di SMP yang tidak begitu bagus untuk sekedar belajar teknik dasar.

Tidak hanya teknik dasar, pemahaman taktikal Aoi benar-benar nihil. Ia tidak tahu bagaimana memposisikan diri di lapangan. 

Ia adalah tipe penyerang egois, yang hanya memikirkan bagaimana mencetak gol sendirian. 

Filosofi bermain seperti itu membuat dirinya sangat tertinggal, dan tidak menyatu dalam tim. Hingga, akhirnya ia belajar sepak bola dengan “benar” di akademi sepak bola Tokyo City Esperion.

Apa yang membuat menarik adalah narasi anime Ao Ashi (2022) seakan menjadi lanjutan dari anime  sebelumnya, Captain Tsubasa (1983)

Jika Captain Tsubasa  membuat orang ingin bermain sepak bola, maka anime Ao Ashi membuat orang belajar bagaimana bermain sepak bola dengan benar. 

Lebih dari itu, juga menampilkan bagaimana pemain amatir berproses menjadi pemain pro. Selama berproses menjadi pemain pro, anime ini juga menampilkan detail kecil. 

Seperti bagaimana pemain harus menjaga pola makan sehat, pola tidur yang cukup, dan latihan dengan kurikulum terstruktur. 

Anime ini juga menggambarkan bagaimana akademi sepak bola seharusnya bekerja sebagai sebuah organisasi. Dari mencari pemain, sampai memandu bakat pemain. 

Semuanya diceriakan sangat detail dan realistis lewat penggambaran akademi Tokyo City Esperion. Tatsuya Fukuda, sebagai pelatih tim muda, bersama tim akademi binaannya berambisi menguasai sepak bola level dunia. 


Akhirnya, narasi yang dibangun melalui anime, meski bukan faktor utama, turut membantu Jepang membangun sepak bola mereka sebagus sekarang.

Jika ada yang berfikir sepertinya berlebihan mengaitkan  anime dengan kemajuan sepak bola Jepang. Saya rasa tidak. 

Sebab kekuatan "narasi", entah medianya apa bisa menggerakan orang melakukan apapun dengan sepenuh hati.

Dulu, zaman perang pasifik, Jepang melakukan hal serupa ke masyarakat Indonesia, lewat propaganda Nippon Cahaya Asia. 

Hasilnya, banyak yang simpati menjadi tentara sukarela, sebab banyak yang percaya Jepang akan menjadi pelindung dari kolonialisme barat.

Jadi, sekali lagi, lewat narasi dalam anime, Jepang membangun sepak bola dari masyarakatnya yang  tidak cinta menjadi cinta. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia yang sejak dulu mencintai sepak bola, yang liganya lebih dulu ada ketimbang Jepang?

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain