Sastra itu Rasa, Rasa itu Sastra

 

Dari sini saya ingin sampaikan, bahwa kekuatan rasa yang dihasilkan sastra, bahkan mampu merubah tatanan sosial~

Sebelum kita membicarakan perihal sastra, tidak ada salahnya kita membangun satu pengertian yang sama mengenai sastra, supaya kita berangkat dari dasar yang sama. Namun juga bukan untuk membatasi.

Saya ingin berangkat dari pertanyaan ‘apa itu sastra?’ dan menceritakan bagaimana saya bertemu dengen sastra.

Saya mungkin tidak akan merujuk pada satu pendapat ahli atau pendapat buku. Sabab bagi saya, sastra jika didefinisakan sebatas pada pengertian ilmuian itu saklek. Sastra justru menjadi sempit dan terbatas ketika didefinisikan menurut teori. Saya ingin menggunakan pendekatan yang empiris, berdasar pengelaman.

Sebab pengalaman manusia itu unik. Pengalaman itu ibarat sidik jari, semua orang memiliki, numun tidak ada yang sama persis. Mungkin saja memang beberapa orang bertemu di satu garis pengalaman yang sama. Namun toh akhirnya, tafsir dan intrepetasi terhadap pengalaman itu juga akan berbeda. Maka silahkan jawab pertanyaan ‘apa itu sastra?’ dengan story talling masing-masing.

Tentunya mulai dari saya pribadi.

Saya sendiri sebenarnya bukan mahasiswa jurusan sastra, memang sempat ingin ke sana, namun tidak kesampaian. Saya hanya menikmati dan mencintai sastra sebab pertemuan pertama (dengan sastra) saya cukup membekas.

Satu waktu di kelas sepuluh IPA I, ada pelajaran Bahasa Indonseia, diampu oleh guru lulusan Sastra Indonesia UNS. Cara mengajarnya memang kurang, namun hebat soal sastra, bacaanya banyak dan sangat mengapresiasi karya siswanya. Ada satu momen ketika ia menulisakan sebuah puisi yang sangat dalam, ini pertama saya membaca dengan seksama di papan tulis.

Judulnya Aku, milik Chairil Anwar. Ketika membaca judul biasa saja. Namun isinya, rasakan sendiri.  

Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedang itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Puisi ini mengikat mata saya dan membuat merinding. Entah apa, ada semacam rasa yang tersampaikan, kegelisahan di sajak “aku ini binatang jalang…”, rasa menggebu-gebu di sajak “biar peluru menembus kulitku….”, sampai rasa manusiawi di sajak “aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Semua rasa itu hinggap dan campur aduk tak karuan.

Saya tidak berani memberi intrepretasi lebih di sajak ini. Toh, bagi kebanyakan penyair, akan menyerahkan sepenuhnya intrepetasi atau tafsir kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Sapardi Djokodarmono, sajak yang bagus adalah sajak yang memiliki banyak intrepetasi. Dari situlah sebuah sajak akan hidup dan terus dibaca. Satu hal saja yang dapat saya katakan dalam sajak Aku ini, yaitu ada rasa yang menusuk tersampaikan kepada sukma dan relung terdalam.

Saya juga ingin menyampaikan satu puisi milik Sapardi Djoko Damono yang juga sampai ke relung. Saya sebut sajak atau puisi, sama saja. Hanya sedang menyesuikan istilah yang tepat pada masanya.

Aku Ingin 
aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi menganalogikan cinta sederhana dengan sangat baik, sekaligus abstrak, sekaligus rumit walaupun dengan sederhana. Ia memilih diksi dengan matang. Mewakili banyak intrepetasi tentang cinta tanpa membatasi makna cinta itu sendiri. Anda boleh menafsirkan sesuai keadaan hati. Dan satu yang menjadikan istimewa, puisi ini membuat pembaca (saya) merasakan jatuh cinta (lagi), bahkan oleh orang yang sedang patah hati sekalipun.

Sampai sini saya ingin menekankan konklusi sederhana. Jika disuruh menggambarkan dengan satu kata tentang apa itu sastra, maka aku akan menjawab, sastra adalah rasa itu sendiri. Membaca sastra tentang mebaca rasa. Menyampaiakn sastra juga tentang menyampaikan rasa.

Mengubah Tatanan Sosial

Ada momen lagi, ketika di kelas, kali ini kelas XII. Seluruh siswa diharuskan mengambil buku diperpustkaan, yang nantinya akan kita resume. sebenarnya waktu itu mengabil acak. Di bagian rak sastra saya temukan judul novel yang tak asing lagi, yaitu Laskar Pelangi karya Adrea Hirata dan Sayap-Sayap Patah milik Khalil Gibran. Kali ini yang saya ambil adalah karya sastra kontemporer, Laskar Pelangi. Judul ini tidak asing lagi karena memang saat itu sudah difilmkan.

Saya terkesan pada Adrea kerena pemilihan diksinya yang cerdas dan pas untuk saya yang suka mendayu-dayu ala Melayu. Meski di novel Laskar Pelangi banyak diksis yang terlalu hiperbola, namun di bab awal berkali-kali mampu membuat merinding. Andrea selalu konsisten menceritakan orang-orang kampung Melayu, Belitung. Tentunya beserta budaya mereka yang unik.

Tak luput novel ini juga mengkritik PN Timah yang dimotori oleh pemerintah saat itu. Penghasilan dari PN Timah sangat banyak, namun yang didapat rakyar Belitung tidak ada. Sekalipun ada Sekolah Dasar PN Timah, itu hanya untuk orang-orang dari kalangan elit. Hanya anak dari petinggi PN Timah yang bisa mendaftar.

Setelah mencapai penjualan yang luar biasa, novel ini difilmkan. Nama Andrea pun juga melejit.
Ketika difilmkan Andrea juga sempat mengajukan syarat yang cukup idealis. Bahwa tempat take gambar harus di Belitung. Dan juga para pemain film harus dari anak-anak Belitung.

Melalui itu Belitung kini memiliki wajah baru. dikenal sebagai pulau Laskar Pelangi. Menjadi potensi wisata, yang artinya nantinyai juga mendorong perekonomian. Sebab akan banyak wisatawan yang hadir. Entah sekedar menikmati tebing pantai yang ada di film, berkunjung ke museum kata Andrea Hirata, atau malah melihat SD Muhammadiyah yang sudah reot, yang kini menjadi ikon paradoks pendidikan kita. Disisi lain banyak orang yang ingin sekolah, namun fasilitas pendidikan sama sekali tidak memungkinkan.

Melalui sastra mampu merubah wajah Belitung. Dari sini saya ingin sampaikan, bahwa kekuatan rasa yang dihasilkan sastra, bahkan mampu merubah tatanan sosial.

Narasi Perlawanan

Sastra juga melewati momen perlawan. Seperti yang saya sampaikan di awal. Sastra memainkan rasa, termasuk rasa untuk melawan terhadap penindasan. Sastra menyuarakan keadilan, kemerdekaan. Sastra semcam ini minimal dapat ditemui di masa perang sampai di masa kediktatoran Orde Baru.

Di awal kemerdekaan, ada sajak milik Chairil Anwar, judulnya Karawang-Bekasi. Sajak ini oleh H. B Jassin kemudian dimasukan dalam sajak saduran.

Kami yang kini terbaring antara karawang-bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
tapi saiapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegab hati ?
……

Sajak Chairil mungkin adalah satu dari sekian ribu sajak perjuangan yang saya tahu. Sajak-sajak semcam ini mewarnai kejolak perlawan awal kemerdeekaan.

Sajak lain yang paling berpengaruh, adalah pidato Bung Tomo. Menggerakan dan menggetarkan jiwa perlawanan rakyat Surabaya.

Ini sama seperti Novel Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887) seorang pagawai belanda. Ia menulis tentang kekejaman belanda melakukan tanam paksa. Ini adalaha “kisah yang membunuh kolonialisme”. Melalui novel ini belanda merasa ditekan oleh dunia internasional. Lalu keluarlah poltik etis, dengan memberikan pendidikan yang layak untuk rakyat (kalangan elite) sebagai bentuk permintaan maaf.

Termasuk ikon perlawan 98, Wiji Thukul. Sebelum Wiji sebenarnya ada WS Rendra, yang sama-sama gemar mengkritik Orde Baru. Cuma momentum Wiji memang lebih heroik, melalui puisi penfletnya, ia frotal, lugas, dan jelas menyinggung Suharto. 

Sampai sini ada benang merah; menurut saya, inti dari sastra itu rasa, dan rasa itu sastra.

Boyolali, 19 September 2019
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain