Keluh, Kisah, dan Asa di Tahun 2020



Saya di tulisan ini lebih menggunakan pendekatan personal. Cukup banyak momen yang terlewati selama tahun 2020. Saya coba ingat-ingat sembari membuka tulisan-tulisan lama. Entah tulisan di Facebook, Blog, atau media online. Cuma kepingin cari feelnya.

Dilematis Menggarap Darwis

Ada komunitas yang dibuat temen-temen lama saya. Kebanyakan mereka adalah aktivis di kampus. Entah karena apa, ujug-ujug saya masuk dan diajak bergabung. Saya lupa persisnya, mungkin di tahun 2018. Lalu terhitung tahun 2019-2020, saya mulai menggarap lumayan serius komunitas ini.

Awalnya, diniatkan buat tempat diskusi semata. Saya kemudian merasa eman, kalau-kalau hasil diskusi itu bisa menjadi tulisan kenapa engga. Akhirnya, saya membuat paltform darwisfoundation.com. Niatnya selain menjadi tempat diskusi, Darwis juga kepingin dibuat menjadi tempat belajar menulis, terkusus teman-teman mahasiswa di lingkungan IAIN Surakarta. Jadilah, komunitas ini bergerak di wiliyah literasi. Orang-orang yang ada di dalamnya menjadi aktivis atau pegiat literasi. Sungguh mulia bukan?

Cuma, ada kendala. Pastinya tidak mulus. Saya kekurangan orang, yang mau dan sevisi. Engga usah muluk-muluk cari yang sevisi. Lawong yang mau saja susah. Dari anggota awal yang menggarap sekitar 10 orang kalau saya tidak salah ingat. Yang bertahan hanya empat. 

Malah acara terakhir, Darwis mengadeng komunitas Nyangkruk, satu komunitas pecinta sejarah milik teman. Di acara ini kita nobar film dokumenter The Bajau. Yang ngurus dari Darwis, ya cuma saya. Awalnya, saya tidak masalah, biasa, saya maklum. Saya bereda di lingkungan kampus dunai ketiga hehehe. Entah, ini penilaina subjektif saya semata, bahwa sedikit sekali yang minat bab keilmuan dan literasi ini.

Lawong ada komunitas yang menurut saya bagus, namanya Serambi Kata. Yang ngelola adalah kawan saya, Agus Wedi, seorang penulis esai produktif. Di komunis Serambi kata saja, juga minim peminat. Apalagi Darwis. Makanya saya maklum.

Lambat laun, saya benar-benar meresa sendiri. Yasudah, mending vakum saja. Walaupun delimatis, sebenarnya saya masih kepingin melakukan banyak hal bersama komunitas ini. Tapi kalau melakukannya sindiri, namanya bukan lagi komunitas, kan?

FLP dan Pawon Sastra

Saya paling sulit mengingat tanggal dan tahun. Yang jelas ketika Darwis bekerjasama dengan HMJ AFI, kita berhasil mengundang Mbak Ama (Amanatia Junda) dan Mbak Ratih buat hadir mengisi acara. Waktu itu kita bedah buku Tank Merah Muda, dari kamunitas Perkumpulan Perempuan Menulis.

Saya yang ngurus pendaftaran, dilalah Mbak Impian ikut. Ia adalah penulis cekak bahasa Jawa, cerpenis, dan esais yang produktif. Ia juga tergabung dengan komunitas Pawon Sastra. Pertemuan saya dengan Mbak Impian ini mebuat saya sering ikut acaranya Pawon. Sebab Mbak Im sangat terbuka untuk mengajak saya ke acara diskusi kecil pawon. Waktu itu belum pandemi, jadi masih cukup intens ada diskusi kepenulisan dan sastra.

Dari sini, walau belum begitu akrab dengan teman-teman di Pawon, sedikit mengurangi rasa sendiri saya. Setidaknya ada tempat untuk diskusi, mendengarkan penulis-penulis di Solo yang sudah banyak pengalaman. Mendengar perspektif mereka tentang sastra, dll. 

Selain Pawon Sastra, saya juga cukup dekat dengan FLP. Saya tidak bisa menyebutnya komunitas, karena ternyata FLP adalah organisasi. Kapan-kapan kita bahas detail mengenai FLP. 

Bergabung dengan IBtimes.id dan Jaringanya, Satu Kehormatan

Saya sudah lama tahu IBTimes.ID lewat teman. Bahwa ada media komunitas yang mengusung visi keislaman dan moderasi agama. Sejak awal saya sudah tertarik, selain karena ini media komunitas. Ibtimes juga digarap dengan serius. 

Saya akhirnya bertemu CEO dan tim redaksi di Kulonprogo. Waktu itu acara Madrasah Literasi, saya tertarik karena temanya; Mencari Platform Batu Gerakan. Saya sudah lama memimpikan punya media komunitas, sampai saya membuat darwisfaoundation.com. Namun apa daya, konsep ada tapi SDM tidak ada.

Disana saya ngobrol selepas acara dengan Mas Azaki. Dan saya merasa mempunyai keresahan dan visi yang sama. Saya hanya menyatakan dukungan dan suport media komunitas, dengan harapan kelak menjadi besar dan bisa mewakili suara muslim progresif dan moderat.

Sudah beberapa bulan berlalu, IBtimes ternyata mebuka magang. Akhirnya saya bergabung sekitar tiga bulan. Sampai akhirnya, ditawari, mau lanjut menjadi editor atau tidak. Tanpa pikir panjang, langsung saya iyakan. 

Meski belum bertemu langsung, namun saya cukup beruntung. Satu kehormatan bagi saya. Setelah masuk, didalmnya ternyata banyak orang-orang potensial nan hebat. Gagasan mereka bagus-bagus, dan semangat mereka membara. Saya merasakan admosfir aktivisme yang kuat di sini. Maknya, saya beruntung. Melegakan keresahan saya mengenai media komunitas. Akhirnya ada tempat bagi saya. 

Sentimentil, dan Jiwa Aktivisme Saya Ternyata Masih Ada

Di tengah pandemi yang semakin ganas, tanpa berkesudahan. Ada omnibus law yang mengegerkan para aktivis. DPR tiba-tiba mengesahkan. Banyak yang resah, terutama kawan-kawan pekerja dan aktivis lingkunga hidup. Singkatnya, omnibus law diproyeksikan mempercepat pembangunan ekonomi. Namun disisi lain, merugikan lingkungan hidup. 

Jadilah demo besar-besaran di banyak kota. Bayangkan, pada masa pandemi terburuk abad ini. Demo terjadi dimana-mana, dan orang berkurmun dimana-mana. 

Ada alasan bagi saya untuk tidak ikut. Pertama, saya tidak lagi tergabung menjadi anggota pergerakan mahasiswa. Dulu iya, waktu semester awal. Kedua, ini pandemi, lebih aman bagi saya duduk di rumah. Apalagi saya kalau berangkat, toh tidak ada ormawa yang saya ikuti. Jadi kalau terjadi apa-apa selama aksi, sulit mencari bantuan.

Namun ternyata, saya resah juga. Melihat berita, mlihat mekanisme pengesahan yang ganjil. Semua rentetan keganjilan itu mebludak di kepala saya. Akhirnya, saya berangkat juga. Meskipun atas nama pribadi. Dari sentimen dalam diri, ternyata saya masih punya jiwa aktivisme. Cerita lengkpanya, saya tulis diblog ini, sila disimak.

Menggarap IMJ

Kegabutan akibat pandemi membuahkan hasil, Ikatan Mahasiswa Jeron lahir. 

Memang ini komunitas yang tidak terlalu besar. Tapi kemauan teman-teman di awal buat menggarap komunitas ini yang membuat saya salut. Berawal dari keresahan mahasiswa bisa apa di tengah pandemi ini.

Singkatnya, niatnya, mahasiswa di desa tempat saya tinggal, bisa berkontribusi. Yah, walau sedikit. Kontribusi awal adalah bimbel. Kita punya keresahan, bahwa sekolah daring ini tidak efektif untuk anak SD. Makanya, kita buat bimbel gratis, buat membantu anak-anak SD. Lengkapnya saya sudah cerita panjang lebar, di blog ini.  

Eyang Sapardi, Selamat Jalan

Peristiwa yang menyedihkan datang dari dunia sastra. Penyair idola saya berpulang. Sebagai penggemar, saya punya cita-cita untuk bertemu, setidaknya dalam satu forum. 

Menggemari Eyang Sapardi karena puisi Aku Ingin. Menuruku nafas puisi eyang itu mirip-mirip Chairil Anwar. Itulah kenapa saya merasa cocok. Yang membuat saya juga kagum, ia juga seorang akademisi. Tahu betul soal-soal sastra dan budaya. Makanya, sumbangsihnya terhadap kebudayaan ada. 

Selamat jalan Eyang. 

Rencana 2021

Kalau dibilang rencana, yaa dari dulu sama, saya kepingin menyelesaikan sisa umur dengan baik. Visi besar hidup saya adalah khalifah fil ard, jika dikerucutkan lagi, saya kepingin pakai istilah "membangun manusia" terkesan muluk-muluk memang, tapi memang begitu, saya cuma kepingin bermanfaat. 

Makanya, sejak lama saya meminati dunia kepenulisan, keilmuan, literasi, dan pendidikan. Sebab dari situ, saya bisa mengusahakan, bisa bermanfaat ke banyak orang melalui tulisan. Lalu bisa membantu banyak orang melalui pendidikan. Selamat tahun 2021, semoga kita semua tidak menjadi orang yang rugi.  

***

Sebenarnya masih banyak momen di tahun 2020, cuma hanya itu yang bisa saya tulis. Keterbatasan kemampuan jari saya mengetik menjadi alasan. drijiku kemeng pak~
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain