terbit di IBtimes.id
ilustrasi: tirto.id |
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan satu bacaan anak berbahasa Jawa, yang terbit tahun 1949. Tujuannya untuk menangkap konteks sosial-politik di masa itu. Buku yang saya maksud berjudul Panggelaran Boedi Djawa I garapan W.Kaizer ini semacam edisi mencari arti hidup, yang kata orang tua kita, “hidup dengan akal budi.”
Istilah itu populer di kalangan
orang-orang tua dulu, setidaknya angkatan siembahku. Berbeda dengan hari
ini, akal budi kalah popular dengan istilah ‘akal sehat’. Padahal dulu akal budi
dipakai oleh Hamka setidaknya tahun 1941, ketika menulis Lembaga Hidup
yang ia maksudkan sebagai bentuk baktinya kepada sang ayah.
Akal budi demikian
penting, Hamka sampai meperingati jika akal tidak punya budi, yang ada di
kepala akan sia-sia, tidak punya arti apapun. “Demikian pula, kalau akal budi
tidak dibentuk menurut mestinya dengan akal budi, walaupun mendapat ilmu, ilmu
itu tidak memberi manfaat, tetapi merusak kemanusiaan.” Hamka keras betul
menulisnya.
Saya malah
jadi penasaran, apa relevansi ‘budi’ bagi kehidupan Hamka, sampai ia
meperingati orang harus punya budi jika ingin tetap menjadi manusia. Hamka juga
menggunkan kata itu beberangan dengan kata ‘hak’, digabung jadinya ‘hak budi’.
Kata itu membuat saya mengerut, sebab aneh, jarang sekali terdengar dan diucap
oleh para aktivis HAM sekalipun.
“Hak Budi
yaitu pemeliharaan Kesehatan diri sindiri, biak dari yang lahir (jasmani)
dengan mengikhtiarkan supaya di tetap sehat, kuat, sigap, dan tangkas. Atau hak
batin hak batin dengan menambah ilmu pengetahuan, menjaga kesopanan,” demikian tulis
Hamka di Lembaga Hidup yang diterbitkan ulang oleh Republika Penerbit
tahun 2015.
Kesehatan Jasmani Terancam
Orang yang berbudi berarti harus sehat jasmani. Itu dulu saja yang ditekankan. Itu saja sudah berat. Ingat kita bicara dengan latar 1950an, semua di masa itu masih sulit. Apalagi soal kesehatan, macam-macam penyakit turut hadir bersama orang-orang di desa dan kebanyakan orang Indonesia.
Penyakit endemik
menghantui, seperti malaria, tuberkulosis, frambusia, dan kusta. Ada lagi
penyakit infektsi menular cacar, wabah pes, dan kolera. Semua siap mengancam kesehatan jasmani.
Ini juga
menjadi pesan tertulis di buku yang sudah saya sebut di awal, Panggelaran
Boedi Djawa I, “Jèn wong-wong pada toemandang kabèh mèloe rèwang-rèwang Negara, enggonè mboedidaja njinakakè lemoed malaria, lan pada ndjaga, soepaja pakarangan-pakarangan kabeh
resik lan garing ora ana panggonan sing djembeg-djembeg, mesti lemoed malaria
maeo soeda, lan wakasanè saja lawas saja moendak tjatjahè wong sing pada bagas koewarasan.”
Kalau ancamannya sudah segawat ini, berarti kesehatan jasmani itu tidak bisa dicapai oleh individu. Negara harus hadir untuk membantu. Nampaknya memang betul, negara menjadikan krisis kesehatan sebagai isu sentral yang musti segera digarab.
Menteri kesehatan saat itu, Johannes Leimena, dalam pidatonya di
peringatan 10 tahun kemerdekaan Indonesia tahun 1955 manyambut tantangan
Kesehatan dengan optimis. Momen ini direkam di buku Memelihara Jiwa-Raga
Bangsa (2017) yang ditulis Vivek Neelakantan.
“Kesulitan-kesulitan
ini dirasakan di semua bidang, termasuk bidang kesehatan masyarakatat, terutama
sebelum pengalihan kedaulatan 27 Desembaer 1949. Namun, dapat dikatakan bahwa
bangsa Indonesia, selama tahap awal kemerdekaan, telah menunjukan tekad kuat
untuk mempertahankan kemerdekaan di tengah berbagai kesulitan dan hambatan, dan
tidak kurang dari itu, menunjukan keberaniannya untuk mengatasi hambatan selama
masa transisi di bidang kemerdekaan.” Begitu terasa bara diucap oleh dokter
sekaligus Menteri Kesehatan era Sukarno.
Pesimisme di Lapangan
Namun selang beberapa waktu. Optimisme di atas mimbar berubah menjadi pesimisme di lapangan. Realitanya tidak semudah yang dikatakan meteri kesehatan.
Negara yang
masih bayi ini tidak memiliki infrastruktur yang memadai, semua hancur pasca
perang, termasuk yang paling parah produktivitas industri mandek, yang juga
berarti perekonomian nasional sedang tidak baik-baik saja. Pesimisme ini jelas
sekali dikatakan Sukarno dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).
“Demikian
akhir dari masa perjuangan kami. Dan itu mengawali perjuangan untuk
mempertahankan hidup. Langkah untuk membangun rumah yang bernama Indonesia
sekarang sepenuhnya berada di tangan kami, tetapi rumah itu sudah sangat rusak.
Banyak sekali yang bocor. Jendelanya, pintu-pintunya, atap dan dindingnya
rusak.”
Saya mengaggap masalah infrastuktur sebenarnya mikro, jika dibanding masalah keungan negara. Perlu dikatahui kita turut menanggung utang yang ditinggal oleh pemerintah kolonial sebelumnya, ini konsekuensi dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar.
Namun itu juga bukan masalah utama, yang menjadi masalah makro,
justru adalah korupsi uang negara. Jelas ini akan menghambat, bahkan
menghancurkan optimisme yang sudah dibangun oleh menteri kesehatan di awal.
Korupsi
Korupsi,
tidak hanya menghambat penanganan krisis kesehatan, malah lebih parah akan
menghambat pembangunan nasional secara umum. Praktik korupsi yang jamak di
dekade 1950an sampai masa orde baru membuat Muh Hatta jengkel, ia sampai
mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya ‘kita’, bangsa Indonesia.
Sebut saja korupsi di dekade awal kemerdekaan, Mr. Djody Gondokusmo Menteri Kehakiman pada kabinet Ali Sastroamidjoyo I, yang juga dari Partai Rakyat Nasional (PRN), yang kemudian dinyatakan bersalah melakukan korupsi oleh Mahkamah Agung.
Masih di kabinet
yang sama, Iskaq Tjokrohadisurjo menjabat Menteri Perekonomian. Modus korupsi
Iskaq hanya memberi lesensi impor kepada yang mau mengucurkan dana ke Partai
Nasional Indonesia (PNI). Lalu kader Partai Masyumi juga turut masuk daftar
koruptor masa awal kemerdekaan, ia adalah Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan yang
ditangkap karena kasus penyalahgunaan wewenang pemberian lesensi kredit.
Sebab korupsi adalah ‘penyakit’ sosial yang menghambat pembangunan nasional.
Setidaknya
korupsi, sudah menjawab segala persoalan mendasar penangan krisis kesehatan
dalam skala nasional. Dikarenakan korupsi, infrasturktur—terutama infrastruktur
Kesehatan—gagal dibenahi. Dan sikap optimisme untuk lepas dari jeratan
kolonialisme berangsur menjadi pesimisme, sebab ternyata pejabat publik masih
mewarisi sikap yang sama dengan kolonialis, yaitu korup dan tamak.
Tiga Modal Penting
Tiga modal penting dalam menghadapi krisis kesehatan; mental optimisme, infratruktur, dan keuangan negara akhirnya ‘hilang’. Melanjutkan apa yang dikatakan Sukarno, “perekonomian kita, pemerintahan, administrasi, sistem transportasi, komununikasi, media, metode produksi, semua rusak. Bahkan secara moral dan mental, kita membutuhkan perbaikan.”
Kerusakan moral dan mental yang dimaksud Sukarno jelas karena praktik kolinialisme yang panjang di Indonesia. Namun menurut saya, lebih dari itu, kerusakan juga diperparah praktik korupsi oleh pejabat publik di awal kemerdekaan.
Maka sebelum melawan segala penyakit epidemi dan penyakit infeksi menular lainnya, mengutip pendapat Leimena, sebagai dokter dan Menteri Kesehatan, ia menganjurkan terlebih dahulu melawan korupsi.
Sebab korupsi
adalah ‘penyakit’ sosial yang menghambat pembangunan nasional. Dengan demikian
segala hak budi, termasuk di dalamnya Kesehatan rohani, moral, dan mental
terpenuhi. Sekian.