Purnawan Basundoro: Pengantar Sejarah Kota (1)

Purnawan Basundoro. Pengantar Sejarah Kota. 2012. Penerbit Ombak | ISBN 978-602-7544-51-2

Desa dan kota selalu dibandingkan, kadang dibenturkan lalu diadu bak tanding ayam. Kota biasanya disimbolkan sebagai lambang kemajuan, sebaliknya desa lambang 'ketertinggalan'. Ini jelas saja jika merujuk buku pegangan kuliah garapan Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota (2012). 

Pembaca dipandu untuk memahami kota, Penulis mengutip pendapat E.E Bergel, pemikir evolusionis. Mengatakan kota yang pada pada mulanya adalah desa. Lalu berkembang menjadi kota kecil, kota besar, metropolitan, sampai megapolitan. Kota maju di masa lalu adalah desa tradisonal dengan segala keterbatasannya. 

Maklum, mungkin saja pemikiran itu juga dipengaruhi Adam Smith, buku The Wealth of Nations garapannya setidaknya mematok produktifitas satu daerah sebagai fitrah. Dengan kata lain perubahan desa ke kota terjadi secara alami, terutama dalam hal ekonomi, lalu mempengaruhi kondisi sosial masyarakat pedesaan. 

Gejala alamiah seperti itu oleh Kalr Marx disebut masyarakat yang kapitalistik. Gejala ini jelas merujuk peristiwa ikonik Revolusi Industri I & II. Marx secara khusus menyebut itu 'alienasi', masyarakat terasing dan diberdayakan oleh pemodal yang mendirikan pusat industri di desa. Lama kelamaan desa yang agraris menjadi kota yang kosmopolit nan kapitalistik. 

Barangkali ada yang pening melihat skema teoritis semacam itu. Namun percayalah, saya tidak sedang bermain-main dengan retorika. Gejala itu juga turut hadir di desa tempat tinggal saya. Dalam satu dekade ini, setidaknya ada sekitar tiga pabrik yang beroperasi di desa. Menempati sawah yang subur. Menggeser sumber air. Meski belum bisa dipastikan kenapa semakin ke sini air semakin sedikit. Di rumah, sumur yang biasanya bisa naik dan cukup untuk sehari hari, kini asat kering. 

Tentu berdampak ke para petani, sumur kecil untuk mengairi sawah milik mereka tidak keluar air. Dilalah, ada inisiatif dari seorang warga desa yang lebih kaya, ia membuat sumur dengan galian yang dalam. 

Para petani kecil tentu butuh air, mereka bisa ambil dari sumur dalam itu. Namun, tidak gratis. Harus banyar per jam. Gelagat seperti itu bukan lagi gotong royong, malah lebih bersifat kapitalistik, kondisi masyarakat yang dikritik pedas oleh Karl Marx tadi. Kiranya, gejala itu adalah gejala menuju 'modernitas', dari masyarakat agraris menuju kosmopolis.

Kiranya begitu, bayangan Basundara mengenai transformasi desa ke kota. Tidak heran banyak orang yang menganggap remeh desa, sebab dianggap perkembangan paling bawah sebelum berubah menjadi kota. 

"Bahkan desa sering kali dijadikan olok-olok untuk orang yang dianggap kurang berpengalaman, lugu, dan tidak mau mengikuti perkembangan," begitu tulis Basundara.


Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain