Sadari, Kita Ini Masih Hidup di Dunia Analog

sebuah dunia digital/ruang fisik

Kita hidup di dua dunia; dunia analog (ruang fisik) dan dunia digital (ruang maya). Di dunia yang bersifat analog segala warna, suara, bau, berbaur dan menyatu dengan apik, selaras, juga seimbang.

Sedang di dunia digital semua terhimpun lewat komputer juga gawai pintar. Dunia digital hanya sebatas angka-angka biner, tombol ON atau OFF, algoritma, dan perintah iya atau tidak. Sebatas itu. Makanya juga disebut dunia maya, banyak yang semu.

Jadi, tidak semua yang ada di dunia digital merepresentasikan dunia nyata (analog). Misal kita nonton vlog makanan di Youtube; iya memang ada visual makanan di depan mata kita. Tapi apa beneran hadir? Bukankah yang hadir cuma visual, sedang aroma dan rasa tidak bisa kita cium dan kecap.

Aku usul, mari kita pisahkan antara 'yang digital' dan 'yang analog'. Supaya jelas batas-batasnya, hingga pikiran kita tidak rancu buat bedain keduanya. Kerancuan itu sesering kita menafsirkan orang lain lewat story WA; jika ia sering upload buku-oh berarti pinter. Jika ia sering ngepost soal agama-oh berarti religius. Dan seterusnya.

Aduh, andai pemaknaannya sesimpel itu, gak mungkin Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure repot-repot buat logika pemaknaan (semiotika/semiologi), dan orang-orang seperti Roland Barthes, Derrida, dan Umberto Eco misal, tidak akan repot-repot merevisi itu. Intinya, pemaknaan engga se-simpel tanya mbah google gais.


sebuah dunia analog/ruang fisik
 
Aku kasih premis tulisan ini ya; bawah media sosial tidak sepenuhnya sama dengan dunia nyata. Sebab semua itu bisa menjadi bias dan juga sangat bisa dibuat-buat (dikonstruksi). 

Aku yang mematikan centang biru, bukan berarti cuek dan tertutup di dunia nyata. Atau aku yang slow respon bukan berarti menyepelekan kamu. 

Aku yang engga bales chat tapi malah buat story WA, misal, bukan berarti aku tidak menghargai. Justru aku kepengin menyiapkan jawaban terbaik, atau aku lupa, karena memang pelupa. 

Aku yang sering typo bukan berarti engga teliti di dunia nyata. Semua itu masih semu juga masih sangat bias, masih sangat mungkin benar, dan juga sangat mungkin salah.

Apalagi soal-soal kesopanan. Kita tidak bisa hanya sebatas menyimpulkan lewat media sosial yang maya, yang digital itu. Ingat sifat digital itu semu dan bias.

Aku kemarin misal, mendapat email dari dosbing (dosen pembimbing skripsi), ia pake huruf besar semua. Apa itu menandakan kejengkelan, kemarahan? 

Mungkin iya, tapi masih sangat mungkin tidak. Sebab yang hadir di depan mataku cuma kata-kata, bukan rasa, suasana, intonasi, dan mimik wajah. Bagaimana bisa aku mau menyimpulkan bahwa dosenku marah, padahal aku tidak bisa mendengar suara, mimik wajah, dan intonasinya. Jangan-jangan maksudnya tegas.

sebuah pertemuan di ruang fisik (dunia analog)

Pada akhirnya gais, kita tetep hidup di dunia analog atau dunia nyata. Dan ada banyak 'yang analog' tidak bisa diganti dengan 'yang digital'. Seperti membalas rindu lewat video call, tetap akan lebih tuntas jika rindu dibalas dengan pertemuan fisik. Di ruang fisik kita mendengar suaranya, melihat matanya, bahkan mencium bau keringatnya. Itu semua tidak mungkin hadir di dunia digital yang maya nan semu itu, kan?

Usulku sekali lagi, ayo kita bedakan keduanya, dan buat batas yang jelas. Supaya cara kita bergaul tidak rancu, semu, dan samar oleh angka biner dan algoritma. Mosok yo gelem kita dikerjai mesin, gais? Huhuhu~

Ini ajakan berteman secara analog. Dan ajakan serius buat kita sering-sering ngobrol di ruang fisik; entah di angkringan, warung kopi, atau pinggir jalan. Kehangatan ruang fisik lebih berarti ketimbang kita saling ramai di ruang maya. Ngono~
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain