Tertampar, Awal yang Curang



Saya tertampar, sakit hati, sekaligus kecewa. Undangan nyoblos datang berbarengan dengan uang 30rb. Saya, adik, dan ibu masing-masing mendapat satu undangan, artinya kami sekeluarga mendapat 90rb. Uangnya memang tidak seberapa banyak, tapi bukan itu yang menjadi soal. 

Saya berusaha biasa saja dan engga sok idealis, tapi ketika ibu membawa uang dan undangan itu ke meja kamar, dan menceriterakan bahwa yang ini dari kelurahan, kepala bagian belakang langsung terasa berdenyut. Seakan seluruh darah naik ke kepala. Sakit hati betul, miris

Jujur, di perjalan saya mengantar adik jajan tadi, berusaha saya cuek, berusaha saya tidak peduli, tapi kepikiran. Berusaha saya menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, sebab dari tadi, nada suara saya jadi tinggi. Jujur, saya hampir nangis di perjalanan, nafas sesak, mungkin rasanya persis putus cinta

Saya bisa paham perasaan saya disebabkan harapan politik di desa, termasuk pilkada tahun ini berjalan bersih. Minimal tidak ada money politics, tapi ekspektasi dan harapan saya patah, dan sejak awal memang sudah patah. Sebab sedari bulan lalu, panitia sudah mengumumkan mekanisme curang ini.

Lebih sakit hati lagi, ini dibicarakan secara terang-terangan, ini direncanakan melalu struktur desa, melalui kelurahan, RT, panitia kpps, dan dimaklumi oleh masyarakat desa.

Lebih sakit lagi, saya melihat, mendengar nyata di depan saya. Di desa tempat saya tinggal, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada yang lebih sakit, tragis, perih ketika melihat kebatilan di depan mata, dan saya tidak bisa berbuat apa2. Hanya diam, bingung, kikuk, mau aku apakan, mau bagaimana

Saya mau menyalahkan ibu, karena tidak memanggil saya ketika didatangi panitia dan diberi uang suap ini. Tapi, tidak bisa, karena menang ini bukan salah ibu. Sebab ini sistematis, memang direncanakan dari panitia, diamini oleh RT dan Kelurahan, diamini oleh seluruh warga desa Jeron, Nogosari, Boyolali

Andai, andai saya dulu tidak dinasehati guru, bahawa membiarkan kebatilan itu lebih utama ketimbang kamu bertindak lalu hasilnya lebih parah. Sekali lagi saya tidak bisa apa-apa.

Akhirnya, saya hanya menyalahkan diri sendiri. Ini yang paling logis, bahwa saya hanya bisa terbawa arus. Tanpa melawan sedikitpun, hanya sekedar menasehati ibu agar tidak mengambil saja tidak bisa. Saya tertekan, tertampar.

Awal Mula


Saya ceritakan detail bentuk kecurangnnya. Jadi desa saya berada di kecamatan Nogosari, Boyolali. Bulan desember ini, Boyolali merayakan pesta demokrasi, meski pandemi terus meroket, pilkada tetap jalan.

Pilkada kali ini, berbeda dengan sebelumnya, calonnya hanya satu, tidak ada lawan. Meski hanya satu, pihak calon bupati tetap melakukan ekspansi. Mereka menjanjikan uang 10juta untuk masing-masing RT jika bisa mendapat suara minimal 80%. Tentu saja ini menggiurkan,.mengingat kebutuhan masing-masing RT yang harus melunasi hutang ke Bank. Hutang itu lantaran pembangunan gedung gotong royong, sampai sekarang gedung masih belum lunas. Setidaknya dengan uang 10juta itu bisa meringankan beban pengurus RT, sebab mereka bisa meraup uang sebanyak itu hanya dalam waktu satu hari, yang nantinya akan digunakan untuk membayar cicilan di Bank. Masuk akal.

Politisi memang jeli betul memanfaatkan problem, semua serba diuntungkan si calon mendapat suara 80%, masyarkat bisa membayar cicilan bank, beban pun semakin ringan.

Tapi, curang tetaplah curang. Meski berdalih untuk pembangunan, sekalipun digunakan untuk membangun masjid. Suap tetaplah suap, korup tataplah korup, rangkaian kejadian yang curang ini mewarnai proses demokrasi di level desa. Dan ini tidak boleh diamini, apalagi menjadi kebiasaan.

Demokrasi dan undang-undang kita menjamin hak memilih. Menjamin artinya dilindungi dari intervensi dari pihak manapun, termasuk dari calon bupati.

Hak juga tidak bisa dijual belikan. Hak itu ada sejak lahir, ia diberikan oleh tuhan, artinya hak untuk memilih tidak bisa dipindah tangan, apalagi dijual. Hak memilih bukan barang, bukan juga dagangan.

Catatan, 5 Desember 2020


*tulisan ini merupakan serpihan yang sengaja dihapus dari tulisan sebelumnya, Money Politik Arus Bawah
Penulis/Jurnalis

1 comment

  1. Halo, thanks for sharing, Bang. Saya hanya bisa menghela napas dan ikut merenungi apa yang pernah terjadi juga di daerah saya. Kenapa kita sulit untuk menindak tegas kebatilan tsb karena kita berada di posisi minoritas dan belum menemukan solusi yang dapat mengatasi apa yang terjadi.

    Btw, yuk mampir juga website kampusku : walisongo.ac.id thanks :D
Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain