Tertatih-tatih

ilustrasi by newsdirectory3


Demokrasi sebagai sistem, mungkin baru tiga puluh tahun diadopsi oleh banyak negara di dunia. Setidaknya setelah masa perang dingin berakhir, bahkan negara-negara yang semula berafiliasi dengan Soviet beralih ke domokrasi ala Amerika.

Sedang di Indonesia kita tahu sejak awal memang diwacanakan akan menggunakan asas demokrasi. Ini juga diucapkan dalam pidato Sukarno di sidang PBB tahun 1960 yang memperkenalkan pancasila, dengan pengucapan sila ke empat oleh Sukarno, "demokrasi." 

Tentu bukan barang baru bagi kita, tapi ini mempertegas posisi politik luar negeri kala itu, bahwa Indonesia sebagai negara menganut sistem demokrasi, sekaligus tidak berdiri membela manapun alias non blok. Mengingat kala itu ada tegangan antara blok timur (Soviet) dan blok barat (Amerika).

Namun tegangan politik di tahun-tahun 50an sampai 60an di Indonesia, membuat demokrasi tidak berjalan semestinya. Nyatanya Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia).

Ditambah ketika Sukarno mengeluarkan dekrit presiden, membubarkan parlemen, dan menyatakan sebagai presiden seumur hidup. Babak demokrasi terpimpin ala Sukarno menjadi penanda Indonesia sedang memasuki permulaan demokrasi tapi rasa otoritarian. Sulit.

Baru tahun 1965, prahara politik sangat teramat ruwet. Beberapa menyebut kudeta PKI ingin berkuasa, dan beberapa ada yeng menyebut kudeta militer (angkatan darat). Sulit untuk mengindikasikan mana yang paling benar. Tapi poinnya di sini demokrasi masuk fase baru. Fase keterpurukan.

Perlu diketahui, Suharto⸺yang mendapat Supersemar dari Sukarno⸺dan angkatan darat didukung penuh oleh aktivis politik kala itu. Asumsinya ketika Sukarno yang terlalu powerfull sebagai presiden, potensi menjadi otoriter sangat mingkin. Kebebasan warga sipil takutnya dibatasi. 

Maka para aktivis, juga politisi eks Masyumi juga mendukung Suharto, dengan harapan hak politik Masyumi itu kembali, dan bisa berdiri lagi. Di sisi lain banyak yang menganggap Suharto dan fraksi angkatan darat ini bakal membawa Indonesia ke arah modernitas, atau dalam bahasa mereka; ke arah 'pembangunan'.

Nahas, Suharto yang memulai pemerintahan baru atau Orde Baru (Orba), punya kecenderungan yang sama dengan Sukarno. Meski membolehkan ada dua partai lain; PDI sebagai perwakilan abangan dan PPP sebagai perwakilan santri. Namun tetap saja posisi partai terkuat adalah Golkar dan Fraksi Abri yang dikuasi 'keluarga Cendana', sebutan untuk politik dinasti Suharto.

Pasca tahun 1965, sudah bisa dipastikan setiap kali pemilihan presiden, yang terpilih adalah Suharto, dengan partai terkuat Golkar. Monopoli kekuasaan ini terjadi 32 tahun, sampai pada pertengahan tahun 1998 atau tepatnya bulan Mei. Reformasi⸺sebagai konsekuensi represi dari pemerintah Orba, meledak juga aksi dan tututan reformis, berupa penghapusan KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) dan Suharto turun makin gencar.

Pasca reformasi⸺setidaknya ditandai kebebasan pers hadir di Indoensia, demokrasi turut membaik. Secara politik, kita punya banyak partai. Secara sosial orang-orang mulai bebas bergerak (tidak ada lagi petrus, misal) dan bebas berpendapat.

Tentu saja bukan berarti gejolak poltik mereda pasca reformasi. Nyatanya tidak banyak berubah soal korupsi. Namun kita boleh sedikit merayakan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di awal 2000-an. Berita mengenai penangkapan sangat jarang terjadi di masa-masa itu.

Meski kematian Munir tahun 2004 menjadi catatan hitam. Munir, seorang aktivis HAM jelas dibunuh secara sistematis ketika ia akan berangkat ke Belanda. Ironisnya ia mati di atas pesawat Garuda, milik negara. Sampai sekarang kasus Munir, beserta sederet kasus serupa yang menimpa aktivis 98 belum juga jelas penyelesaiannya.

Begitu demokrasi, sebagaimana kata Wilson Churchill, dengan jujur mengkaui bahwa sistem ini bukan yang terbaik, namun di sisi lain menurutnya belum ada yang lebih baik. 

Meski ini sistem tidak sempurna, namun kita (sebagai negara) juga masih tertatih-tatih menjalankannya. Penanda yang masih tertatih-tatih itu semakin nampak ketika kita sudah masuk dekade ke-2 reformasi. Pananda itu, mari kita bahas satu-satu.

Penanda pertama: Ruang Ekspresi yang Dipersempit

Jika kita mengingat apa itu demokrasi, maka pengertian dasarnya adalah; dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Dari pengertian itu kita langsung tahu bahwa partsipasi 'rakyat', dalam hal ini juga berarti keterlibatan 'publik' itu menjadi syarat mutlak. Bukan saja hanya sekedar ikut serta pemilu, justru keterlibatan paling penting adalah ikut mengawal.

Mural menjadi ekspresi paling kongkret, bahwa sebenarnya demokrasi kita cukup baik dan berjalan di level bawah. Masyarkat sudi sampai bersuara soal keresahan mengenai masalah sosial yang ia hadapi. Suara itu disalurkan lewat mural. Ini sekaligus menjadi indikasi bahwa sebagian dari civil socity mau terlibat dalam proses demokrasi itu.

Logikanya, ketika ada kelompok masyarkat atau individu menuntut haknya kepada pemerintah. Itu berarti, ia percaya bahwa pemerintah mau mendengar dan percaya bahwa bakal ada setidaknya tindak lanjut. 

Lalu kenapa harus dilarang dan ditanggap, justru ini angin segar bagi demokrasi yang sehat.
Kecuali memang sejak awal soalnya bukan demokrasi, melainkan sekedar politik praktis. Mungkin saja juga karena lupa sejarah. Padahal jika kita tarik ke masa 40-an, jelas tembok-tembok berisi mural yang umum kita ketahui bertulis "meredeka atau mati?".

Penangkapan dan penahan juga terjadi hanya karena poster. Setidaknya dua inseden penangkapan, pertama di Blitar seorang petani mengeluh lewat poster ketika presiden melakukan lewatan. Kedua, sepuluh mahasiswa UNS ditanggap karena membentangkan poster 'santun' ketika presiden juga sedang melewat di Solo.

Baik poster dan mural adalah ekspresi yang jujur. Sudah sewajarnya demokrasi memberi raung (space). Space dan ekspresi itu adalah medium yang sah guna menyampaikan aspirasi publik ke pemerintah. Dan seharusnya tidak dipersempit, apalagi dianggap sebagai ancaman, melainkan 'kepeduian' dan 'dukungan' publik untuk jalannya pemerintahan. Singkat saja. 

Penanda kedua: UU ITE

UU ITE, sedari awal seharusnya melindungi kita dari dunia cyber yang setangah raungnya kita huni ini. Dengan UU ini seharusnya orang yang menyalahgunakan data pribadi kita dihukum. 

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Kita sering mendapat berita soal data bocor, bahkan dijual-belikan. Kemungkinan terburuk dari data yang diperjualbelikan adalah apa yang disebut kejahatan cyber

Skenarionya misal begini, tanpa sengaja email dan pasword kita bocor ke pihak ketiga. Pihak ketiga bisa mengakses data ponsel kita dengan mudah. Apalagi ponsel sekarang, menggunakan email yang terhubung dengan nomor kontak, data penyimpanan, sampai akun media sosial. Bisa saja setelahnya terjadi peretasan di perangkat komputer, hacking, sampai penyebaran konten privasi.

Atau setidaknya, data kita yang bocor disalahgunakan. Misal nomor hp, alamat, dan nama kita digunakan untuk pinjaman online, atau nomor kita digunakan untuk menipu. Untuk kasus yang terakhir sering terjadi, bahkan saya menyaksikan sendiri nomor kawan saya digunakan untuk menipu. Itu terjadi tidak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.

Lalu apa hubungannya dengan demokrasi? tentu saja ada, demokrasi memungkikan relasi antar negara dan warga berlangsung dua arah. Satu sisi negara yang dipegang oleh pemerintahan (dari rakyat) harus dipatuhi. 

Di sisi lain, guna mengimbangi kepatuhan agar tidak terlampau otoriter, negara wajib membuka ruang kebebasan (liberty) dan pemenuhan atas hak warga sebagai individu atau kelompok. Di poin terakhir, secara gamblang negara punya kewajiban untuk melindungi setiap warga dari ancaman⸺dalam konteks ini ada;aj potensi kejahatan cyber.

UU ITE malah berbalik arah, bukannya melindungi warga negara, justru UU ini malah membuat gaduh dengan drama saling lapor antar warga negara. Melalui delik pencemaran nama baik, terjadi dua konflik sekalgus. 

Pertama, konflik horizontal antara korporat dan warga. Kedua, konflik vertikal antara warga dengan warga. Poin pertama misal, kita menyaksikan penggusuran tanah/rumah mukim. Warga yang melawan oleh korporat langsung dibawa ke pengadilan dengan delik aduan pencemaran nama baik.

Poin kedua jelas, kasus teranyar yang menimpa karyawan Kominisi Penyiaran Indonesia (KPI), ia yang melapor karena dirinya dilecehkan, malah dilapor balik dengan delik pencemaran nama baik. Nasib.

UU ITE gagal memfungsikan dirinya sebagai alat untuk menertipkan (law and order), yang terjadi justru berkebalikan, warga malah saling bentrok, begitu juga dengan korporat yang makin ganas dan bringas kapada warga yang menghalangi bisnis mereka. Negara yang bertugas sebagai "stabilisator", malah seakan memfasilitasi konflik itu.

Penanda ketiga: Politik kapital dan Oligarki

Penanda yang paling menonjol adalah kapitalisme dan oligarki. Isitlah yang paling saya suka untuk menyebut hubungan keduanya adalah 'politik kapital', satu istilah yang pernah disebut oleh Donal Faiz, seorang aktivis anti-korupsi.

Politik kapital punya skema yang buruk. Kira-kira skemanya seperti ini: Kapital-Politik-Kapital.
Kapital yang dimaksud itu modal, dalam hal ini tentu pengusaha, katakanlah pengusaha di bidang industri, jika ada yang ingat film Sexy Killer (2019), kasusnya mirip seperti itu.

Ilustrasinya, misal jika ada pengusaha yang berkempentingan melangengkan bisnisnya (terutama di bidang ekstraksi), umunya bisnis seperti ini jelas bermasalah dan berdampak langsung ke lingkungan. Makanya kadang ijin dari pemerintah sulit keluar. Untuk mengakali itu, si pengusaha mensponsori atau mendanai salah seorang politisi, dengan motif agar kepentingan bisnisnya kelak dikabulkan.

Atau opsi kedua, para pembisnis ini terjun langsung ke politik. Jika kita observasi secara kasar saja, banyak diantara politisi kita adalah pengusaha, baik itu pengusaha tambang, pengusaha media, sampai pengusaha mebel. Ini memungkinkan ketika mereka menjabat, bakal bias kepentingan. Sisi lain membawa kepentingan bisnis, sisi lain membawa kepentingan partai. Terus kepentingan warga negara? Entah.

Nah, dari awal politik semacam ini berkepentingan bisnis (baca: kapital) dan tujuan akhirnya juga bisnis. Jika mau mendefinisikan model politik begini, ini adalah model dari rakyat, untuk pejabat, oleh oligark.

Dari ketiga tanda itu tadi, silahkan menduga, sekedar menduga saja, kira-kira demokrasi kita bakal bertahan sampai kapan? 
Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain