Membaca Itu Meresahkan, Menulis Bikin Lega





Saya bersyukur, mulai menikmati kegiatan membaca, yang ternyata cukup penting. Kenapa penting? yah menimal itensitas membaca (literasi) menjadi indikator masyarkat maju.

Satu dua momen yang menggiring saya untuk membaca. Barangkali pertama kali waktu SD, ada rak kecil di rumah, isinya buku-buku lama. Karena ingin gaya, saya ambil satu, lalu membaca sambil jalan kaki ke sekolah. 

Kebetulan, SD saya hanya berjarak 200 langkah dari rumah, jadi ya lebih enak jalan kaki. Sambil jalan kaki, saya baca buku, pikir saya yang masih anak SD, baca buku sambi jalan itu keren.

Tentu momen itu hanya sekelebat, tidak berjalan lama. Satu kali dua kali, tapi mungkin itu momen pertama saya membaca buku. Bukunya pun lupa apa, yang jelas buku lawas, barangkali cetakan tahun 80an, atau 90an, entah, yang jelas untuk dibaca tahun 2008 itu sudah terlalu lawas.

Tapi baru SMP  ada buku yang benar-benar terselesaikan, adalah Suara Lainnya yang ditulis para personil Pertepan waktu itu. Namanya juga penggemar berat, rasa-rasanya kurang sah kalau belum baca. 

Mencoba Meperbaiki Kualitas Bacaan

Jangan dibayangkan saya membaca juga buku-buku keren semcam Cantik Itu Luka, bukan, kualitas bacaan saya jauh dari itu. 

Waktu itu, saya hanya suka baca buku-buku keajaiban dunia, membaca soal isu bahwa ternyata Indonesia adalah pulau Atlantis yang hilang. 

Kemudian soal Bigfoot, tentang alien, dan isu-isu konspirasi, termasuk New World Order dan Ilmuminati. Intinya yang sensasional, pasti menarik perhatain saya waktu SMP.

Waktu SMA, sedikit ada penigkatan lah. Karena di SMA bertemu Chairil Anwar, Andra Hirata, Mochtar Lubis, Pram, Marah Rosli dengan Sitti Nurbaya, Hamka, Mohammad Haikal, Ahmad Tohari, Majalah Horison terbitan lama, sampai Kahlil Kibran. Bakal panjang kalau dicetikan satu-satu.

Kalau mau pilih salah satu paling berkesan, Novel Laskar pelangi menjadi favorit. Dari situ setidaknya saya mulai timbul rasa kepingin nulis ala Andrea Hirata.

Sebenarnya waktu SMA tak begitu paham pentingnya membaca dan literasi secara umum. Yang saya lakukan hanya lari dari 'pelajaran' kelas yang penat. Sesekali pernah saya bolos pelajaran lalu pergi ke perpus, tempat yang aman. Ketika ditanya petugas perpus, tinggal jawab "jam kosong, mbak".

Membaca waktu itu hanya selingan, sekedar melepas penat, memanjakan imaji melalui puisi Khalil Gibran dan novel Andrea Hirata.

Membaca Itu Meresahkan

Namun sekarang saya sadari satu hal; bahwa membaca itu membuat saya resah dan tertekan, bukan lagi sebagai obat penghilang penat. 

Selayaknya makan dan minum, pasti setelahnya ada kotoran yang harus dibuang. Walaupun ada juga yang menjadi nutrisi dan gizi, menyatu dengan tubuh.

Setidaknya analogi ini sama dengan membaca dan menulis. Membaca punya input yang bagus pada diri sendiri. Di satu sisi, membaca ternyata membuat hati saya gundah. 

Misal, ketika membaca novel Laskar Pelangi milik Andrea Hirata. Ada sisi saya terhibur, namun ada pula sisi dimana saya merasa pendidikan yang digambarkan dalam novel cocok dengan lingkungan saya. 

Kesempatan dan kesadaran sekolah untuk anak kampung ralatif kurang. Ditambah orientasi sekolah kita terlampau materialistik (kapitalis), angka rapot dijadikan bahan pertimbangan, ini anak pintar atau tidak. Kerasahan itu saya dapat dari membaca. 

Keresahan ini mirip kotoran dalam tubuh, harus dikeluarkan, jika tidak malah jadi penyakit. 

Mulai Menulis sebagai Terapi

Akhir-akhir ini saya mulai sadar, bahwa menulis memang membuat lega. Saya sudah singgung di awal, keresahan itu harus dikeluarkan (diungkapkan). Awal kuliah, ketika mulai meminati isu-isu aktual, saya pusing sendiri. Karena waktu itu tidak ada teman diskusi, sekalipun ada sangat jarang.

Sedangkan yang benar-benar ada adalah laptop yang siap digunakan untuk nulis. Singkat cerita, ya sudah tulisa saja. 

Jika niat, saya tulis dalam format panjang (esai) seperti tulisan ini. Jika lagi malas ngetik panjang, saya catat saja dulu (entah di gawai atau di catatan) poin-poinnya. Jika memungkinkan dan menarik dibahas, nanti saya kembangkan ke format tulisan esai.

Setidaknya dari nulis jadi lega, ketika menulis energi untuk marah, senang, geram, dan emosi yang lain tersalurkan. Itung-itung juga melatih otot menulis kan ya? 

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain