Ada yang unik dari sistem pembayaran kelontong ala orang-orang China ini. Sistem pebayaran tersebut adalah mindring. Sederhananya sistem ini mirip seperti sitem bayar kredit seperti sekarang. Mereka bisa membayar kebutuhan sehari-hari secara berangsur.
Misal, orang-orang desa ini
butuh baju, biasnya ia akan membayar secara tunai semampu mereka. Katakanlah
harga per baju 3.000 perak, orang ini hanya mampu membayar 2.000. Kekurangannya
ia bayarkan secara berangsur dalam tempo tertentu, biasanya dianggsur sepuluh
kali dalam sepuluh minggu. Artinya seminggu sekali mereka harus bayar. Tentu
saja ada bunganya, menurut beberapa sejarawan sekitar 5-6 persen, dan hanya 9
persen saja terjadi penunggakan.
Sistem midring seperti ini sedikit banyak menguntungkan kedua belah pihak. Satu sisi para pedagang China ini untuk lebih dari hasil bunga. Sedangkan dari si pembeli mendapat keringanan dalam hal pembayaran.
Selain itu, para pedagang klontong tersebut mendapat keuntungan sosial.
Memlalui interaksi sosial yang intens, tumbuh rasa saling percaya yang tinggi.
Ini menjadi modal penting dalam berbisnis, dari situ pula pelanggan semakin rela
membeli barang yang ditawarkan. Apalagi barang kebutuhan sehari-hari, sudah
pasti terjual.
Saya kitup dari blog.unnes.ac.id bahwa; “istilah mindring berasal dari kata in-mindering yang berarti mengurangi. Istilah sinonim lain yang digunakan adalah Cina mindringan dan toekang renten. Cina merupakan sebuah kategori etnis yang mengacu hanya pada orang Cina saja dan toekang merupakan sebuah istilah fungsional yang digunakan untuk orang-orang non-Cina dengan profesi yang sama. Meskipun bagi masyarkat yang bukan etnis cina melakukan perdagangan mindring, tetap saja masyarakat mengenalnya sebagai mindring hingga saat ini.”
Masyarat pada waktu itu
cukup terbantu dengan adanya sistem ini. Apalagi kebijakan ekonomi pemerintah
kolonial Belanda sangat memberatkan. Jadi, kepercayaan masyarakat terhadap
sistem ini tinggi.
Kelontong, bagi saya adalah kearifan lokal. Proses
kemunculanya murni muncul dari dari budaya dagang masyarkat kita sendiri. Lalu
bagaimana esksistensi toko kelontong saat ini? Tentu saja masih ada, para
bedagang ini ada yang menjelma menjadi ritel modern, ada juga layaknya toko di
pedasaan. Sebutannya tetap sama toko kelontong.
Meski masih banyak para pedagang keturunan China, tidak
jarang juga orang Jawa membuka toko kelonotong. Apapun etnisnya, tidak ada
masalah.
Saya bahakan mengusulkan, nama swalayan modern jangan
disebut ritel. Melainkan ‘Kelonotong Modern’, asik bukan?
Maksud saya, nama kelontong ini tidak ujuk-ujuk ada. Nama
itu telah melalui proses sejarah yang panjang. Dalam rangka itu pula, sebutan
kelontong sebaiknya terus digunakan. Agar semua orang ingat melalui kelontong
pula masyarakat kita akrab dengan orang-orang China. Mereka juga saling diuntungkan
dan akrab melalui proses perdagangan.
Setidaknya nama kelontong mengandung dua nilai; sejarah
dan keakraban sosial. Sejarah kelontong yang menceritakan keakraban sosial
orang china dan wong deso.