Pram dan Arsip: dari Skripsi sampai Ironi

ARSIP

Satu kegiatan yang kadang diremehkan: mengarsip. Banyak peristiwa teringat kembali setelah sempat dilupakan publik karena arsip. Lewat arsip kita teringat sejarah, kadang lewat arsip (film, museum, dan buku sekolah) kita mendapat pemahaman yang terframing mengenai peristiwa 30 September dan Orde Baru. 

Atau orang-orang tercengang karena arsip. Paper Pandora misal, itupun kalau kita mau menyebutnya arsip, baru-baru ini membuat publik heboh. Ternyata orang-orang kaya itu pelit mengeluarkan pajak, terlibat skandal pajak. Padahal pajak adalah upaya ekonomi kapital bekerja untuk menekan gab antara yang miskin dan yang kaya. 

Muhidin M. Dahlan pernah bercerita mengenai ingatannya dengan Pram saat mendampinginya di satu daerah. Pram ketika datang langsung membeli koran lokal lalu mengguntingnya. Iya, Pram mengkliping, aku sebut juga mengarsip. Dua istilah itu sama menurutku. 

Ia bercerita, bahwa koran adalah satu-satunya sumber yang menulis mengenai sejarah rakyat. Kalau kita tengok di arsip nasional, yang ada hanya soal sejarah negara, atau sejarah raja-raja. Makanya Pram, kemudian mengarsip koran-koran itu. 

Ini bisa dikonfirmasi lewat wawancara panjang Pram berbentuk Feature dengan Majalah Playboy Indonesia edisi pertama. 


Pram sebenarnya punya proyek menulis Ensiklopedia Indonesia. "Ya, kliping saya sudah 8 meter panjangnya" kata Pram kepada Majalah Playboy Indonesia. Namun proyek itu tidak pernah rampung karena sempat dimusnahkan dan tidak ada biaya melanjutkan.

Muhidin dengan semangat yang sama, dipengaruhi oleh Pram, ia membuat Warung Arsip. Ia dirikan bersamaan dengan Radio Buku, satu tempat berkegiatan bagi orang-orang yang meminati buku dan literasi.

Di Solo, ada Bilik Literasi. Setidaknya tempat itu cukup dikenal, atau bahkan sangat dikenal oleh para pegiat sastra, literasi, sampai tokoh. J.J Rizal sejarawan yang mengasuh Komunitas Bambu itu pernah berkunjung ke Bilik Literasi, yang juga kediaman Bandung Mawardi (BM), seorang esais, kritikus sastra, dan pengasuh banyak kelas kepenulisan. Singkatnya, sebut saja BM adalah aktivis literasi.

BM melakukan hal yang sama dengan Pram, yaitu mengarsip. Entah, apa memang BM terpengaruh dengan Pram, atau yang lain. 

Mungkin juga gara-gara Goenawan Mohamad, mengingat ia bercerita dulu pernah ke perpustakaan UNS, mengambil majalah Tempo, di rubrik Catatan Pinggir ia sobek dengan silet kecil yang sudah ia siapkan. Lalu membawanya pulang, dan ia arsipkan untuk sewaktu waktu bisa dibaca lagi. 

Bisa jadi karena itu BM suka mengarsip. Jika kita lihat di laman FB-nya, setiap hari ia memotret majalah lama, dan mengutip satu paragraf lalu ia beri semacam tafsiran. Ia menulis berdasar tema; kadang iklan, musik, tokoh, dll. Kebiasan ini kadang ia tularkan kepada orang-orang yang belajar di Bilik Literasi. 

Jujur saja, aku pun mulai meminati majalah, koran, dan segala media cetak karena BM. Ada satu keuntungan dari mengarsip majalah-majalah itu, kita jadi tahu kejadian lintas dekade. Aku bisa paham masalah sosial politik masa 80an karena bundel majalah tempo yang aku beli. Apa untungnya tahu itu? Entah, setidaknya manjadi kepuasan bagiku, dan membuatku lebih paham Indonesia dalam rentan waktu yang berbeda. 

Kemudian, sesekali aku ikuti membuat arsip di darwis.xyz. baru dua arsip soal sastra, namun sepertinya aku bulum cukup tekun. Namun setidaknya, aku tahu lewat arsip majalah Basis yang ku tulis, menjadi input sebab aku semakin bisa memahami Umar Kayam dan Mochtar Lubis, juga apa yang menjadi keresahan soal sastra pada masa itu. Berguna? 

Kalau secara praktis, mungkin tidak terlalu. Sekali lagi ini soal kepuasan belajar. And I love it. Aku menikmati setiap momen ketika berkata "ooo ngonooo to..", itu berarti ada pemahaman baru dalam diri. 

SKRIPSI

Sayangnya, personal arsip mengarsip tidak aku lakukan saat menggarap skripsi. Sialnya, lagi laptop semata wayang, yang aku harus bergiliran dengan adek itu rusak. Memang kerusakan tidak sampai membuat laptop mati. Tidak sama sekali. Kerusakan ternyata ada di ruang penyimpanan, mungkin karena terlalu tua, juga terlalu dipaksakan, laptop itu mudah panas dan error. Puncaknya tadi pagi (10/10). 

Setelah diperiksa, ternyata benar, kalau yang rusak adalah ruang penyimpanannya. Ah, ini berarti data yang aku sudah kumpulkan di satu file hilang. 

Kalau boleh mendramatisir mungkin rasanya seperti Pram banyak kehilangan tulisannya karena dibakar oleh tentara. 

"Nggak ngerti saya, orang kok bisa begitu. Dan perpustakaan yang dikumpulkan puluhan tahun, dibakar begitu saja. Saya engga ngerti orang bisa begitu. Belum naskah asli delapan yang belum sempurna, dibakar. Ini engga bisa saya maafkan" kata Pram ketika diwawancarai Majalah Playboy Indonesia. 

Mungkin aku yaa cuma mendramatisir. Tapi aku tidak bisa menyanggah kalau aku sempat frustasi. Sebab aku ikhtiar penuh nulis riset berupa skripsi ini secara serius. Aku tidak pernah sama sekali copy-paste, aku menelusuri buku-buku yang terkait. Aku beli buku bila perlu, lalu aku ketik dari pendahuluan sampai proposal itu sampai jadi. Sekitar 40 halaman atau 60 lebih, aku lupa, dengan spasi 1.5. Langsung hilang karena aku tidak pernah mengarsip. Duhh. 

Yang lebih eman sebenarnya tulisan-tulisan berupa esai ada juga cerpen yang aku kumpulkan di satu file. Tulisan-tulisan itu merupakan esai yang aku tulis sejak semester satu. Banyak yang jelek dan gagal tembus media. Tapi tetep saja, itu menjadi momereble, karena aku berproses belajar menulis.

Termasuk puisi-puisi yang berencana aku terbitkan sendiri (self publishing). Puisi-puisi jelek memang, tapi itu puisi merekam semua keresahan terkait cinta, hubungan pertemanan, sampai keresahan sosial-politik. Asem, ilang, njurr. 

"Sekian hari lalu, mengobrolkan puisi bersama ibu-ibu. Biografi mereka hampir tak berpuisi. Keseharian mengurusi rumah, mengasuh anak, membaca buku, dan beragam peristiwa belum membukakan jalan bagi mereka menjadi penikmat puisi. Babak menjadi murid selama belasan tahun itu momok!" Kata BM dalam Bacaan Malam (88): Momok. 

Iya aku harus akui, sejak SMA aku memposisikan puisi sebagai biografi. Makanya aku menulis pusisi yang tidak terlalu bagus itu. 

Ohh, satu lagi yang juga hilang, kerangka buku.  

Kembali ke soal skripsi. Entah karena terlalu mendramatisir mungkin, cuma aku niatkan sejak awal mengerjakan skripsi sebagai latihan riset kecil-kecilan. Sekaligus menjadi pemanasan, siapa tahu cita-cita sebagai akademisi dan periset tercapai.

Aku tahu memang riset yang aku lakukan tidak seberapa. Kadang terbesit cita-cita kecil buat menerbitkan skripsi itu manjadi buku. Makanya aku serius betul mengerjakannya, terlepas bagaimana nanti hasilnya. 

Heran, kenapa perskripsian selalu ada drama menye-menye. Sejak awal berfikiran, ah lebay. Yah, ternyata ngrasain juga kan. Nguras tenaga. 

Walau, sejujurnya memang aku ingat apa yang aku tulis. Aku bisa mengulangnya lagi. Tapi yaa 40 halaman lo, boyok siap-siap patah. Ditambah, aku harus dengan sabar menjelaskan, bahwa aku hanya mungkin bisa lulus tahun depan. Mengingat ini semua di luar rencana. 

Awalnya berencana ujian proposal bulan ini, lalu pikirku sebelum pergantian tahun aku bisa sidang atau ujian munaqosah. Lalu heppy ending, kan. Tapi ternyata tidak semulus itu. 

Ternyata kebijakan jurusan, jadwal ujian hanya digelar sampai bulan Oktober. Ini berarti tidak mungkin dalam dua minggu selesai penelitian. Minimal aku masih bisa sidang proposal. Eh, ternyata laptop rusak, data hilang belum diarsipkan. Minimal harusnya, aku arsipkan di GoogleDrive. Yahh sudah terlanjur. 

IRONI

Melankolis ini membuat aku pribadi sadar bahwa sebenarnya akan menjadi ironi kalau kita gagal mengarsipkan apapun. Pengalaman paling personal misal, arsip berupa foto keluarga barangkali akan menjadi berharga, minimal kita tidak akan lupa 'asal'. 

Atau pemahaman kita sebagai 'bangsa' tidak pernah utuh kalau tidak ada arsip. Bisa-bisa kita lupa ingatan, apa perwujudan kita sebagai bangsa, lalu lupa sejarah sendiri. 

Ini juga menjadi keresahan Pram. "Lihat bangsa Indonesia itu praktis belum memulai mendokumentasikan sesuatu. Bagaimana tahu sejarah? Wong sumbernya di situ. Mendokumentasikan berita koran, bulum menjadi tradisi. Saya mulai memang, tapi belum jadi tradisi," kata Pram ke Majalah Playboy Indonesia. 

Jurnalis lewat koran dan media cetak lain sejak awal mereka yang membantu kita mencari identitas Indonesia sebagai bangsa. "Bukan tentara" kata Muhidin di Putcast. Kita sering lupa kalau sebagain besar aktivis kemerdekaan kita adalah jurnalis. Dari Sukarno, Hatta, Agus Salim, Tirto Adhi Soerjo , sampai Mas Marco. 

Maka ironi, jika kita tidak mengarsipkan pengalaman personal kita sampai memori kolektif kita mengenai sejarah rakyat, sejarah indonesia sebagai bangsa, juga sebagai negara. 

"Itu bagaimana yang membuatnya saja. Sejarah itu kan, pribadi-pribadi yang bikin. Terserah yang bikin saja. Ya kalau kekuasaan nggak memperhatikan sejarah, publik yang memperhatikan. Itu nggak bisa dilarang, hak publiik. Setiap terpelajar mulailah mendokumentasikan sejarah. Supaya setiap saat punya bahan yang bisa dipakai. Tanpa mendokumentasikan, gerayangan saja. Dan mendokumentasikan itu belum merupakan tradisi Indonesia. Mesti dimulai," Pram dalam hal ini sangat tegas. 

TAMAT

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain