Delimatis Skripsi (1)



Setelah satu tahun lalu saya mengusulkan judul dan outiline penelitian, akhirnya saya mengajukan ujian proposal penelitian Skipsi.

Ketika proposal saya ditanggapi oleh penguji dua, tidak lain adalah dosen saya sendiri, ia memberikan masukan yang menarik sekaligus menantang bagi saya. 

Masukan itu terkait teori yang akan digunakan, sekaligus topik penelitian, yaitu "representasi perempuan".

Penelitian saya mengenai simbol budaya, lebih spesifik lagi, 'simbol-simbol di masjid agung surakarta. 

Awalnya tentu saja, karena Masjid Agung adalah objek budaya, teori yang saya gunakan adalah komunikasi budaya, lalu menggunakan metode semiotika. Artinya, jika saya mengamini usulan penguji, saya harus beralih dari teori budaya ke toeri gender. 

Usulan itu menjadi menarik kerena beberapa alasan. Pertama, saya cukup lama tertarik dengan isu perempuan, gender, dan gerakan feminisme. 

Meski, saya memilih berjarak dari topik itu. Dari sekian banyak tulisan yang saya publikasi di blog, facebook, maupun media massa, seingat saya cuma dua yang berkaitan langung dengan perempuan, yaitu tulisan yang menyoal kecantikan pada perempuan dan soal kasus pornografi yang menimpa artis GA

Kedua, ini berangkali cukup emosional dan sentimentil, sebab beberapa kali saya mendengar kawan soal dirinya yang dilecehkan. 

Pernah dulu, sekitar di pertengahan semester 5, saya berbincang dengan kawan SMA, yang menurut hematnya, ia di lecehkan secara verbal, dan meresa tidak nyaman. Beberapa orang mungkin menggangapnya guyon biasa, cuma dalam kasus tertentu jikalu keblabasan, tentu bisa berbahaya. Kata 'berbahaya' saya pilih dengan alasan. 

Saya mendapat cerita lanjutan, ini juga pernah saya singgung sedikit di blog. Kawan saya satu jurusan mendapati beberapa kasus pelecehan. Dan itu dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa, bayangkan ini pola relalasi kuasa yang sulit dihindari oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa perempuan (Dhima 2021).

Yang lebih ekstrem cerita kawan perempuan yang juga dilecehkan. Ketika ia naik bus untuk tujuan ke jogja, ia berbincang dengan laki-laki yang ternyata kuliah di tempat yang sama. Ketika kawan saya ini tidur, bagian tubuhnya diraba, ia tidak cerita detail bagaimana ia dilecehkan, sebab ia sampai mual dan muak menceritakannya. Saya pun tidak mau ia cerita terlalu detail, saya tidak mau merusak moodnya. 

Alasan kedua ini sekaligus menjadi tanda bahwa kebanyak orang, terutama laki-laki memandang perempuan sebatas sebagi 'objek' seksualitas.

Waktu saya menulis tulisan ini, secara mendadak saya diajak saudara saya camping di daerah tawangmangu. Di sana, secara kebetulan kami berinterkasi dengan dua orang yang relatif seumuran. Kita sama-sama berasal dari karisedenan Surakarta. 

Pembahasan kami mengaril di tengah hujan dan hawa dingin. Karena hujan pula kita duduk duduk di gubuk kecil, pembahasan menjadi penuh candaan. Yang dibercandakan adalah soal perempuan yang kebetulan juga berkemah di tempat yang sama. Cadaannnya kadang terdengar fulgar, dan terasa sexis. 

Pembicaraan yang seperti ini, dan bahan candaan yang sexis selalu saya temui di setiap pemberhentian. Saya juga mampir makam soto di warung. Ketika makan, saudara saya itu membahas topik mengenai semarang, mereka sama-sama tau semarang, yang satu pernah bekerja di semarang, yang satu lagi memang orang semarang. 

Pembahasannya tidak lain soal portitusi, tempat karauke atau semacamnya. Terkadang di sela sela perbincangan yang cair itu, ada sela-sela guyonan yang sexis, dan terkesan objek candaan nya adalah tubuh perempuan. Tentu saja saya tidak mau menghakimi, poinnya bukan soal benar atau salah. 

Namun, yang ingin saya tekankan adalah, perempuan, di hampir tempat tongkrongan, terutama laki-laki, menjadikan sebagi objek candaan--kalau tidak mau disebut olok-olok-- bahkan lebih parahnya objek seksual semata. 

Dua alasan itu, cukup bagi saya untuk mengamini usulan dosen. Bukan karena merasa punya kekuatan untuk menjadi hero, lalu sok bisa membela perempuan. Dalam hal ini para feminis perempuan lebih banyak yang mumpuni. 

Justru, terutama karena alasan kedua yang lebih berdasar keresahan, dan pengalaman sehari-sehari. Makanya, penelitian mengenai topik perempuan terasa dekat dengan saya, sekaligus menjadi menarik.

Namun saya menemui banyak delimatis. Kerap kali kritik terhadap subkoordinasi perempuan itu disasarkan pada produk budaya. Singkatnya, patrialki dan turunannya dibentuk secara terus-menerus sampai membentuk dan melekat di budaya baik berpa sosiofak, mentifak, sampai di arterfak. Masjid agung yang merupakan objek penelitian saya itu, merupakan arterfak.

Ketika saya menyusuri topik terkait di googlescolar, saya bermaksud mencari apakah ada peneltian terkait. Saya menemukan makalah yang membahas mengenai pawastren. Pawastren adalah tempat sholat khusu perempuan, biasanya pawastren ada di masjid-masjid tradisional, seperti masjid agung di lingkungan keraton. 

Bersambung.....

Penulis/Jurnalis

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar
© Dhima Wahyu Sejati. All rights reserved. Developed by Jago Desain